Realokasi
Subsidi BBM
Fahmy Radhi ;
Peneliti
pada Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada
|
KORAN SINDO, 11 September 2014
Subsidi
bahan bakar minyak (BBM) merupakan permasalahan pelik dan dilematis, yang
dihadapi pemerintah sejak Soeharto hingga pemerintahan SBY. Tentunya
permasalahan subsidi BBM juga akan dihadapi oleh pemerintahan Jokowi.
Selama
ini, hampir setiap tahun pemerintah selalu dihadapkan pada masalah
pembengkakan subsidi BBM pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Selama periode 2011-213, total anggaran subsidi BBM sudah mencapai Rp635,6
triliun. Pada APBN 2014, dari total belanja subsidi sebesar Rp333,7 triliun,
hampir 80 persen di antaranya dialokasikan untuk subsidi BBM yang mencapai
sebesar Rp246,5 triliun. Sedangkan dalam RAPBN 2015, subsidi BBM dianggarkan
sebesar Rp291,1 triliun atau naik sekitar Rp44,6 triliun dibanding APBN
Perubahan 2014.
Kendati
sudah berulang kali menaikkan harga BBM bersubsidi, namun di penghujung
pemerintahannya SBY tidak bersedia lagi menaikkan harga BBM. Bahkan, SBY
tetap kukuh menolak permintaan presiden terpilih Jokowi untuk menaikkan harga
BBM bersubsidi dengan alasan tidak mau menambah beban bagi masyarakat, yang
baru saja menghadapi kenaikan tarif dasar listrik dan gas elpiji 12 kg.
Sementara sikap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), pengusung
Jokowi- JK yang selama hampir 10 tahun “istikamah“ menolak kebijakan penaikan
harga BBM bersubsidi, justru saat ini yang paling getol mendesak SBY untuk
menaikkan harga BBM sebelum lengser pada Oktober 2014. Apakah perubahan sikap
PDIP ini merupakan bentuk inkonsistensi atau memang ada urgensi untuk
menaikkan harga BBM bersubsidi?
Urgensi Realokasi
Subsidi BBM
Barangkali
desakan PDIP untuk menaikkan harga BBM bersubsidi lantaran sempitnya ruang
fiskal RAPBN 2015, yang sudah disusun oleh pemerintahan SBY, sehingga
menyebabkan keterbatasan bagi Jokowi dalam menerapkan program kerakyatan,
utamanya Program Indonesia Pintar dan Indonesia Sehat serta Pembangunan
Infrastruktur Pedesaan, seperti yang dijanjikan pada saat kampanye Pilpres
2014. Memang ada kenaikan total pendapatan negara pada RAPBN 2015 sebesar 10%
atau setara dengan Rp124,7 triliun dibanding APBNP 2014.
Namun,
besaran subsidi BBM juga mengalami peningkatan signifikan sebesar 18,1% atau
setara Rp44,6 triliun pada periode yang sama. Dengan kenaikan subsidi BBM
tersebut, proporsi alokasi subsidi BBM sudah mencapai 21,5% dari total RAPBN
2015. Dari total subsidi sebesar Rp361,1 triliun, 77,8% di antaranya
dialokasikan untuk subsidi BBM, sedangkan subsidi non- BBM hanya kebagian
sebesar 22,2% yang dialokasikan untuk berbagai program. Alokasi subsidi
non-BBM di antaranya subsidi pangan Rp18,9 triliun, pupuk Rp35,7 triliun,
benih Rp0,9 triliun, PSO Rp3,2 triliun, bunga kreditprogramRp2,5triliun, dan
subsidi pajak sebesar Rp8,6 triliun.
Kalau
benar sebagian besar alokasi subsidi BBM selama ini hanya dinikmati oleh
golongan menengah-atas para pemilik kendaraan bermotor, sedangkan alokasi
subsidi pangan, pupuk, dan benih diperuntukkan bagi masyarakat golongan
bawah, tidak diragukan lagi adanya ketidakseimbangan alokasi subsidi pada
RAPBN 2015 antara golongan menengahatas dengan golongan masyarakat bawah.
Oleh karena itu, ada urgensi untuk realokasi subsidi dengan proporsi yang
lebih besar untuk masyarakat golongan bawah ketimbang golongan menengah-atas,
minimal proporsinya berimbang.
Realokasi
subsidi BBM tersebut semakin urgen, jika membandingkan antara pengeluaran
subsidi BBM sebesar Rp291,1 triliun dengan penerimaan dari sektor minyak bumi
dan gas yang dianggarkan hanya sebesar Rp206,8triliun, sehinggaterdapat
defisit sebesar Rp84,3 triliun. Defisit itu menunjukkan bahwa seluruh
penerimaan negara yang berasal dari sektor minyak dan gas tidak mencukupi
lagi untuk membiayai alokasi subsidi BBM, bahkantekor. Datamenunjukkan bahwa
ketekoran tersebut sebenarnya sudah berlangsung dua tahun lalu, terhitung
sejak APBN 2013.
Penaikan Harga BBM
Bersubsidi
Tidak
ada jalan lain yang bisa ditempuh untuk relokasi anggaran subsidi BBM,
kecuali hanya menaikkan harga BBM bersubsidi. Masalahnya selalu muncul dilema
setiap penaikan harga BBM bersubsidi, lantaran menaikkan inflasi. Padahal,
setiap kenaikan inflasi berpotensi menurunkan tingkat kesejahteraan rakyat,
utamanya rakyat miskin yang tidak menikmati subsidi BBM lantaran tidak
memiliki kendaraan bermotor. Penaikan harga BBM dari Rp4.500 menjadi Rp6.000
per liter pada April 2012 telah memicu kenaikan inflasi sebesar 0,93%
sehingga inflasi 2012 mencapai 6,8% per tahun.
Peningkatan
inflasi itu menyebabkan penurunan daya beli masyarakat yang memberikan
kontribusi terhadap peningkatan jumlah penduduk miskin di Indonesia. Selain
itu, selalu muncul resistensi dari Parlemen dan Parlemen Jalanan setiap kali
pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Untuk meminimkan dampak inflasi
penaikan harga BBM bersubsidi dan resistensi dari berbagai kalangan, paling
tidak ada dua langkah yang harus ditempuh oleh presiden terpilih Jokowi.
Pertama, penaikan harga BBM secara bertahap sebesar Rp500 per liter setiap
tiga bulan sekali, dengan total kenaikan Rp2.000 per tahun anggaran.
Penetapan
penaikan harga BBM bersubsidi harus diputuskan pada bulan-bulan yang tingkat
inflasinya secara siklus sedang rendah, pada Oktober, Februari, Mei, dan
Agustus. Upaya ini selain dapat meminimkan efek inflasi dan memberikan
kepastian, juga dapat mencegah adanya resistensi. Para anggota DPR dan
Demonstran barangkali enggan lantaran tidak punya alasan kuat untuk menentang
kebijakan penaikan harga BBM yang ditetapkanhanyasebesarRp500 per liter.
Kedua,
realokasi dana subsidi BBM harus dilakukan secara transparan untuk membiayai
program-program populis. Di antaranya untuk membiayai Program Indonesia PintardanIndonesia
Sehat serta Pembangunan Infrastruktur Pedesaan, utamanya pembangunan jalan
dan irigasi serta mencetak lahan pertanian di pedesaan. Agar lebih berdaya
guna, pembangunan infrastruktur pedesaan harus melibatkan masyarakat pedesaan
setempat, dengan skema jaring pengaman sosial (social savety net). Bantuan dana tunai untuk meringankan beban
akibat kenaikan harga BBM masih perlu dibagikan kepada masyarakat yang
benar-benar miskin.
Mekanisme
penyaluran dana tunai tersebut dilakukan dengan cara mentransfer dana ke
rekening warga yang berhak menerima, yang sebelumnya sudah dibuk akan
rekening bank, sehingga warga tidak perlu berdesak- desakan mengambil dana
tunai. Memang penaikan harga BBM bersubsidi selama ini dianggap sebagai
kebijakan nirpopulis yang menimbulkan resistensi cukup kuat dari berbagai
kalangan. Namun, jika nanti pemerintahan Jokowi dapat merealokasi subsidi BBM
secara transparan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui
program-program populis, tidak diragukan lagi rakyat pasti akan mendukung
kebijakan penaikan harga BBM bersubsidi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar