Rakyat
Dukung Ahok
Hendra Kurniawan ;
Dosen
Pendidikan Sejarah FKIP
Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta
|
KORAN
JAKARTA, 15 September 2014
Keputusan
Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), mundur dari Partai
Gerindra patut diapresiasi karena tidak sejalan dengan partainya yang
mendukung pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota oleh DPRD.
Ahok
berhasil memimpin Belitung Timur dan DKI Jakarta karena dipilih rakyat. Ahok
yakin, apabila saat itu pilkada diselenggarakan melalui DPRD, dia tidak akan
menjadi bupati atau wakil gubernur DKI. Suara hati memang tidak dapat
berbohong. Pemimpin yang memikirkan rakyat akan menolak pilkada tidak
langsung.
Sistem
pilkada langsung merupakan wujud keberhasilan demokrasi Indonesia. Dunia
internasional juga mengakui bahwa Indonesia sekarang menjadi negara unggul
kehidupan demokrasinya. Menjadi sangat ironis tatkala partai-partai politik
dalam Koalisi Merah Putih mengusulkan pilkada kembali sebelum reformasi.
Ini
bukan semata-mata kemunduran demokrasi. Pilkada lewat DPRD juga rentan
menimbulkan korupsi terstruktur, sistematis, dan masif. Dalam Pasal 10 UU
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, disebutkan bahwa tujuan umum
partai politik adalah mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila
dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Selanjutnya
juga disebutkan tujuan khususnya meningkatkan partisipasi politik anggota dan
masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan.
Maka, sangat ironis ketika mayoritas partai politik legislatif justru
bersama-sama melahirkan wacana meniadakan pilkada langsung.
Pilkada
melalui DPRD jelas mencederai asas kedaulatan rakyat dan mereduksi
partisipasi politik masyarakat. Rakyat kehilangan hak turut serta dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
Apabila
RUU yang mengatur pilkada tidak langsung disahkan, fungsi partai akan
terdegradasi. Dia sebagai sarana pendidikan politik masyarakat tidak akan
berperan. Fungsinya dalam menyerap, menghimpun, dan menyalurkan aspirasi
masyarakat akan selalu dipertanyakan karena bisa menjadi bias saat warga
tidak lagi memilih pemimpinnya secara langsung.
Partai
juga dapat mengalami stagnasi dalam proses perekrutan politik untuk pengisian
jabatan karena hanya mereka yang memiliki kedekatan dan mampu memberi
“keuntungan” partai diangkat. Yudi Latif (2011), dalam Negara Paripurna:
Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, menegaskan negara yang berkedaulatan
rakyat mengandung cita-cita kerakyatan dan permusyawaratan.
Berdasarkan
sila keempat, suatu keputusan politik harus didasarkan pada asas rasionalitas
dan keadilan, didedikasikan bagi kepentingan banyak orang, berorientasi jauh
ke depan. Dia bukan karena kepentingan jangka pendek yang destruktif dan
mempertimbangkan pendapat semua pihak.
Atas
berbagai dasar ini, benarkah wacana pilkada tidak langsung yang kini menuai
protes rakyat dianggap lebih memenuhi prinsip sila keempat? Dalam prinsip musyawarah
mufakat, keputusan tidak didikte golongan mayoritas ataupun minoritas elite.
Masyarakat harus diberi akses dalam proses pengambilan keputusan.
Untuk
itu, demokrasi Pancasila menekankan pelaksanaan kedaulatan rakyat bahwa
rakyatlah yang berkuasa secara mutlak, maka tugas perwakilan (DPR maupun
DPRD) ialah memperhatikan dan menyalurkan harapan masyarakat.
Orientasi
etis dalam sila keempat bahwa kerakyatan itu dipimpin oleh
hikmat/kebijaksanaan mensyaratkan kearifan. Para wakil rakyat harus bijak agar
bisa merasakan dan mengetahui aspirasi rakyat sehingga dapat mengambil
keputusan benar untuk negara.
Pertanyaannya,
sudahkah wakil rakyat menunjukkan kearifaannya apabila wacana pilkada tidak
langsung yang semakin panas pascapilpres ini ternyata sarat kepentingan dan
sentimen politik tertentu?
Tidak Sendiri
Terkait
penolakan pilkada oleh DPRD ini, banyak kepala daerah mundur dari partai
karena tidak sejalan. Salah satunya Wakil Gubernur DKI Jakarta tadi. Sikap
Ahok yang tidak mementingkan diri sendiri tak berarti kutu loncat. Ini karena
bukan persoalan partai yang paling menguntungkan secara finansial baginya.
Ahok
mundur karena berpihak pada rakyat. Ini justru dapat menjadi bahan refleksi
bagi Gerindra maupun politisi lain sebagai momentum untuk sadar dan segera
kembali mendekatkan diri pada (kepentingan) rakyat. Kemunduran Ahok, cepat
atau lambat, segera diikuti kader partai lainnya yang juga berjiwa berani dan
tegas.
Ahok
dan beberapa pemimpin daerah lain yang progresif dan mengutamakan rakyat merupakan
produk pilkada secara langsung. Saat ini saja ratusan kepala daerah yang
tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dan
Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) dengan tegas menolak
pilkada tidak langsung.
Apalagi
mereka itu notabene juga dipilih secara langsung rakyat. Mereka meyakini
bahwa tidak ada korelasi antara tingginya angka korupsi dan sistem pilkada
langsung. Sekarang hanya perlu penyempurnaan teknis pelaksanaan pilkada. UUD
1945 telah menjamin bahwa rakyat memiliki hak fundamental untuk menentukan
pemimpin daerahnya sendiri.
Tak
urung sikap Ahok ini justru semakin meningkatkan simpati masyarakat padanya.
Dukungan pun terus mengalir, terutama melalui media sosial. Beberapa akun di
jejaring sosial dibuat untuk menampung berbagai komentar dan simpati
masyarakat. Penolakan RUU mengenai Pilkada Tidak Langsung juga ditunjukkan
para aktivis 1998. Mereka menilai demokrasi yang telah diperjuangkan di masa
Reformasi guna melawan rezim Orde Baru sudah dilupakan karena emosi politik
sesaat. Perpecahan politik akibat pilpres kemarin menuntut tumbal yang
terlalu besar.
Sangatlah
bijak apabila Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di akhir masa
pemerintahannya, segera turun tangan menyelesaikan kegelisahan soal RUU Pilkada.
SBY memiliki kekuatan membatalkan RUU Pilkada sehingga kembali pada UU lama.
Jangan sampai RUU Pilkada baru menjadi motif bagi-bagi kekuasaan di daerah.
Pilkada
melalui DPRD berarti hilangnya suara rakyat dan memberikan kekuasaan kepada
sejumlah elite. Ini tidak hanya mencederai demokrasi rakyat, namun juga akan
melahirkan penguasa-penguasa daerah dari kalangan elite partai yang
sekali-kali tidak akan merasa berdosa apabila mengabaikan kepentingan rakyat.
Sikap
rakyat yang sedia pasang badan dan berdiri di belakang Ahok menunjukkan bahwa
keteladanan pemimpin seperti dia saat ini dibutuhkan bangsa. Ahok tidak
sendiri. Keputusannya didukung rakyat. Rakyat menanti kemunculan “Ahok-Ahok”
lain di berbagai daerah. Kalau toh tetap ada yang menyatakan bahwa sikap
kepala daerah yang tidak sejalan dengan partai pengusungnya dianggap
berkhianat, biarkan saja. Yang lebih penting, mereka tidak berkhianat pada
rakyat, pemilihnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar