Kamis, 25 September 2014

Pledoi Anas, Merindu Keadilan

Pledoi Anas, Merindu Keadilan

Ma’mun Murod Al-Barbasy  ;   Dosen Program Studi Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta, Sekretaris Umum Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Cabang Jakarta, Wakil Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah
KORAN SINDO, 24 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Pada persidangan 11 September 2014, jaksa penuntut umum (JPU) telah menuntut Anas Urbaningrum dengan penjara 15 tahun. Anas juga didenda Rp 500 juta subsider lima bulan kurungan dan yang paling dahsyat adalah tuntutan membayar kerugian negara Rp 94.180.050.000 dan USD 5.261.070. JPU juga menuntut agar hak politik Anas dicabut. Tuntutan ini praktis tak berbeda dengan dakwaan, di mana sebagian besar dakwaannya berangkat dari ocehan Nazaruddin dan tidak berbasis pada fakta persidangan. Pada persidangan 18 September 2014, giliran Anas memberikan nota pembelaan (pleidoi).

Kalau mengikuti persidangan secara objektif dan kritis antara tuntutan JPU dan persidangan pleidoi, akan terlihat ada kontestasi “kebenaran” yang saling bertolak belakang. Tuntutan JPU sangat mengejutkan dan bertolak belakang dengan fakta-fakta persidangan. Sebaliknya, pleidoi Anas justru mencerminkan pembelaan yang rasional, objektif, dan mendasarkan pada fakta persidangan.

Pokoknya Anas Harus Salah

Tuntutan JPU yang sulit dinalar akal sehat sebenarnya sekadar penegasan (taukid) bahwa kasus Anas memang bukan murni kasus hukum, melainkan domain politik. Karena politik, apa pun fakta persidangannya tidak penting bagi JPU, yang penting bahwa Anas harus dituntut seberat-beratnya. Ini tergambar dari dakwaan JPU yang tak berbeda jauh (copy paste) dari tuntutan.

Dakwaan JPU benar-benar mengabaikan fakta persidangan. Roh politik menghalalkan segala cara jauh lebih jelas terlihat dari roh penegakan hukum yang hanya menghalalkan kebenaran dan keadilan. Tuntutan JPU menggambarkan kepanikan karena dakwaannya dipatahkan oleh para saksi.

Ternyata kasus yang begitu heboh tak mampu dibuktikan dengan barang bukti yang kuat di persidangan. JPU mengalami kesulitan menemukan alat bukti otentik dan relevan yang sejak awal memang diragukan akan mampu dibuktikan. Sementara “pesan politik”- nya sejak awal sangat jelas bahwa Anas harus dituntut seberat-beratnya.

Kenapa JPU gagal membuktikan dakwaannya? Kasus Anas memang bukan kasus hukum, melainkan kasus politik. Tentu tak mungkin kasus politik didekati dengan pendekatan hukum, pasti akan sulit dibuktikan. Tapi, kalau didekati dengan pendekatan politik, pasti akan dengan mudah dapat dibuktikan.

Sejak awal kasus Anas diyakini dominan motif politiknya. Sebelum ditetapkan sebagai tersangka, banyak peristiwa politik yang mengiringinya. Ada penolakan SBY atas pencalonan Anas sebagai calon ketua umum Partai Demokrat.

Ada permintaan SBY agar Anas mundur sebagai calon ketua umum Partai Demokrat, baik secara langsung di Wisma Negara maupun menyuruh menteri-menterinya yang secara khusus datang ke arena Kongres Partai Demokrat di Bandung. Ada survei SMRC yang menempatkan elektabilitas Partai Demokrat di kisaran angka 8%. Survei SMRC ini menjadi pembenar bagi elite Partai Demokrat untuk meminta Anas mundur. Ada desakan SBY dari Jeddah agar KPK segera “tuntaskan” kasus Anas.

Ada rapat Majelis Tinggi pada 9 Februari 2013 dengan agenda “kudeta” terhadap Anas. Ada acara pengalihan isu kudeta berupa Rapimnas Majelis Tinggi pada 17 Februari 2013 dan peristiwa lain hingga Anas ditetapkan sebagai tersangka pada 22 Februari 2013. Mengaitkan peristiwa-peristiwa politik tersebut dengan penetapan Anas sebagai tersangka tentu sangat korelatif. Apalagi, meski “status tersangka” masuk ranah hukum, KPK pun masih “teledor” dengan tersebarnya sprindik Anas yang (di)bocor(kan) oleh orang kepercayaan Abraham Samad (sebagaimana hasil sidang Komisi Etik KPK terkait kebocoran sprindik Anas).

Berani Adil Hebat

Kasus Anas ini benar-benar akan menjadi ujian tersendiri bagi majelis hakim dalam membuat putusan. Satu sisi, ada tuntutan JPU yang irasional, tidak objektif, dan mengabaikan rasa keadilan serta telah benar-benar menafikan fakta-fakta persidangan. Di sisi lain, ada fakta-fakta persidangan, ada kesaksian para saksi berjumlah 96 yang menyangkal dan mematahkan dakwaan JPU terhadap Anas.

Ujian lain bagi majelis hakim, selama ini ada opini yang berhasil dibangun bahwa KPK tidak pernah salah dalam menersangkakan orang. Tidak ada orang yang menjadi tersangka KPK memperoleh vonis bebas murni. Sepertinya opini ini dibangun untuk menjadi “tameng hukum” yang antisipatif bagi KPK. Kalaupun faktanya salah dalam menersangkakan orang, KPK tetap akan mendapat pembelaan publik. Bangunan opini ini diyakini akan menyulitkan posisi majelis hakim. Kalau membebaskan Anas, akan dicap sebagai hakim yang tidak propemberantasan korupsi.

Sementara kalau menghukumnya, nurani majelis hakim tentu sulit menerima karena fakta di persidangan justru dakwaan JPU terbantahkan. Praktis hanya Nazaruddin, Neneng, dan dua sopir Nazaruddin yang mengamini dakwaan-dakwaan JPU. Secara teologis, dalam kaitan penegakan hukum, posisi hakim adalah “wakil Tuhan” di muka bumi. Sebagai “wakil Tuhan”, tentu menjadi keharusan bagi hakim untuk menghadirkan nilai-nilai dan sifat-sifat ilahiah yang salah satunya keharusan untuk berlaku adil (al-(al-adalah) dalam penegakan hukum.

Saya meyakini bahwa majelis hakim yang menangani kasus Anas pun menyadari akan posisinya sebagai “wakil Tuhan” dan akan memberikan putusan secara proporsional ((adil). Semua orang yang mempunyai perkara hukum tentu berharap kehadiran hakim yang betul-betul menyadari posisinya sebagai “wakil Tuhan”, tak terkecuali Anas. Dia tentu sangat merindu dan mendamba keadilan dalam kasus yang membelitnya. Apalagi kasus Anas jelas berbeda dengan kasus korupsi lain.

Jauh sebelum ditetapkan sebagai tersangka hingga masuk persidangan, kasus korupsi yang disangkakan dan didakwakan ke Anas sangat sumir, tidak jelas, kontroversial, dan terkesan dipaksakan. Terjadi pro dan kontra di masyarakat. Sejak kasusnya memasuki persidangan bahkan mulai ada opini yang berubah dan meyakini bahwa kasus Anas bukan kasus hukum, tapi kasus politik.

Seakan ingin mempertegas bahwa kasusnya hanya sebuah rekayasa politik, Anas menutup pleidoi-nya dengan mengutip “ayat politik”: Wamakaru wamakarallah, wallahu khairul makirin, Mereka boleh saja membuat rekayasa (politik), tapi ingat bahwa Allah sebaik-baiknya pembuat rekayasa (QS Ali Imran: 54).

Anas juga menutup pleidoi dengan sebuah pantun sindiran kepada JPU dan keyakinan bahwa majelis hakim akan memutus perkaranya dengan hati nurani: “Dari Pakanbaru ka Siamang Bunyi, Singgah sabanta di Muaro Beti Bialah JPU bakahandak sasuko ati Ambo picayo Majelis Hakim mamutuih jo hati nurani.” Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar