Kamis, 25 September 2014

Horor Pendidikan Tinggi

Horor Pendidikan Tinggi

Teuku Kemal Fasya  ;   Antropolog dan Pendidik;
Anggota Asosiasi Antropologi Indonesia
KOMPAS, 24 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

KASUS bunuh diri mahasiswa kedokteran Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh (Serambi Indonesia, 24/8/2014) membuka mata kita bahwa pengelolaan pendidikan tinggi masih bermasalah. Kasus serupa terjadi di Kendal, Jawa Tengah: mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan bunuh diri karena skripsi tidak kunjung selesai (Kompas.com, 14/4/2014).

Kasus di atas, meskipun ada banyak motif lain yang bisa dianalisis terkait pilihan bunuh diri, adalah akumulasi dua hal: tingginya biaya pendidikan dan tekanan saat menempuh pendidikan.

Problem komersialisasi pendidikan bukan hanya milik perguruan tinggi swasta, melainkan juga perguruan tinggi negeri. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menyederhanakan satuan pembiayaan kuliah, disebut uang kuliah tunggal (UKT), ternyata bukan jawaban tuntas.

Istilah UKT digunakan untuk pembiayaan kompleks dengan sistem yang dikatakan subsidi silang. Masyarakat mampu menyubsidi yang tidak mampu dengan membayar lebih mahal dan sebaliknya ada yang tidak mampu. Betulkah begitu praktiknya?

Komersialisasi

Beberapa waktu lalu saya mengajar di prodi kedokteran untuk mata kuliah Komunikasi Lintas Budaya dan Etnik. Saya iseng mengecek, berapa banyak siswa di kelas tersebut yang membayar uang kuliah termurah (Rp 500.000). Hanya seorang yang tunjuk tangan.

Untuk level kedua termurah (Rp 1 juta) kurang dari lima. Demikian pula untuk UKT Rp 5 juta. Yang terbanyak membayar pada level tinggi (Rp 8 juta) dan tertinggi (Rp 12,5 juta). Dengan biaya kuliah yang hampir setara program doktoral, keriangan apa lagi yang diharapkan oleh mahasiswa-mahasiswa itu?

Mahalnya biaya pendidikan tinggi membuat mahasiswa kurang waktu untuk mengembangkan karakter dan pendewasaan intelektual di luar kampus. Tujuan kuliah akhirnya menjadi sangat miopis-pragmatis-teknokratis. Lulus.

Masalah lain adalah hilangnya karakter pengajaran dan tradisi pedagogi. Pedagogi bukan saja penting bagi pendidikan dasar dan menengah, melainkan juga pendidikan tinggi. Pedagogi menautkan hubungan dosen dan mahasiswa, tidak hanya di dalam kelas, tetapi juga di luar kelas. Sistem pedagogi yang baik akan menjadi perjumpaan yang memperkaya intelektualisme dan psikologi sivitas akademika.

Faktanya, hubungan dosen dan mahasiswa kerap feodalistis dan militeristis. Dosen menjadi sosok ”pembunuh” (the killer), merasa serba tahu, sedangkan mahasiswa adalah prajurit tamtama yang siap menjadi kelinci percobaan.
Masa pembimbingan, seminar, dan ujian skripsi termasuk momentum paling horor bagi mahasiswa. Tak jarang dosen berkata kasar. Mahasiswa tidak boleh berpandangan berbeda.

Saya mencurigai dua hal. Pertama, sang dosen memang kurang memiliki keterampilan pedagogi sehingga iklim untuk berdialog dan membangun kebebasan akademik tidak terjadi. Kedua, ia memang tidak hidup dalam dinamika keilmuan yang terus berkembang.

Gabungan kedua hal itu, komersialisasi dan arogansi pendidik, melahirkan iklim dunia pendidikan tinggi yang buruk, horor, dan jauh dari kata bahagia.

Khitah yang hilang

Pada tahun 2010 Mahkamah Konstitusi mencabut UU No 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). BHP dianggap memancing komersialisasi dan liberalisasi pendidikan tinggi. Pencabutan itu memang merontokkan peraturan organik lainnya sehingga akhirnya pemerintah menghadirkan UU pengganti (UU No 12/2012).

Namun, praktiknya, UU hanya jadi rumah bambu normatif. Residu komersialisasi masih saja terjadi dengan nama baru, seperti Badan Layanan Umum (BLU) dengan dalih otonomi perguruan tinggi. Bahkan, mekanisme penerimaan mahasiswa baru pun berlogika komersialisasi.

Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), misalnya, yang seharusnya menjadi proses paling ”proletar” pun tidak terjadi. Hanya ada kuota 20 persen untuk biaya pendidikan termurah bagi mahasiswa miskin berprestasi. Kuota dengan ”tarif atas” sebesar 60 persen hanya bisa ditanggung oleh kelas elite ekonomi atau berutang. Ini belum lagi seleksi lain, seperti Seleksi Mahasiswa Baru Jalur Mandiri (SMBJM) yang memang sangat ”borjuistis” dan tak jarang memerangkap kalangan ekonomi menengah (ke bawah).

Cita-cita UU pendidikan tinggi yang mensyaratkan aspek keterjangkauan, pemerataan, dan keadilan hanya legenda. Khitah itu hanya menjadi catatan normatif, pelan-pelan hilang terbawa angin.

Mendidik adalah proses kultural yang hanya akan berhasil jika memiliki kelengkapan pedagogi yang mencerahkan, emansipatif, dan penuh harapan. Etika pendidikan yang afektif dan simpatik terhadap setiap insan sivitas akademika harus dijadikan prinsip.

Masalahnya, problem pendidikan tinggi ini tidak bisa diselesaikan dengan instan. Perbaikannya jelas memerlukan waktu dan kerja saksama. Maka, yang layak menjadi menteri pendidikan tinggi, riset, dan teknologi ke depan tetap seorang pendidik.

Ia harus bisa mempersiapkan kurikulum yang lebih sederhana dan aplikatif bagi seluruh guru se-Nusantara. Kata Bertrand Russel, filsuf Inggris, the pedagogical discoveries involved have required genius, but the teachers who are to apply them do not require genius.

Pencerdasan peserta didik sangat tergantung pada iklim pendidikan yang dibangun. Karena itu, investasi yang penting bukan hanya untuk infrastruktur, melainkan juga pengembangan sumber daya dosen dan insentif kepada mahasiswa dalam bentuk beasiswa dan biaya kuliah terjangkau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar