Pilkada
dan Makna Demokratis
Sulardi ;
Dosen
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas
Muhammadiyah Malang
|
REPUBLIKA,
15 September 2014
Artikel S ini hampir sama dengan artikelnya yang dimuat di SINAR HARAPAN 12 Sept 2014
Artikel S ini hampir sama dengan artikelnya yang dimuat di SINAR HARAPAN 12 Sept 2014
Sebelum
terselenggaranya Pilpres 9 Juli 2014, pembahasan RUU Pemilukada mengarah pada
keinginan untuk mempertahankan pilkada kabupaten/kota dipilih secara
langsung. Namun kini yang berkembang di DPR periode 2009-2014 pada masa akhir
jabatannya adalah pilkada dilakukan oleh DPRD. Perubahan arah ini tentu
sangat mengejutkan bagi pegiat demokrasi dan bagi perkembangan demokrasi di
Tanah Air.
Mesti
dipahami bahwa penyelenggaraan pemilukada berdasarkan pada Pasal 18 ayat (4)
UUD 1945 yang berbunyi, "Gubernur, Bupati, Wali Kota dipilih secara demokratis."
Terhadap ketentuan ini kemudian di-breakdown ke dalam UU No 22 Tahun 1999
tentang Pemerintah Daerah menjadi "Pemilihan kepala daerah yang kemudian
disebut gubernur, bupati, dan wali kota sepenuhnya menjadi kewenangan DPRD.
Pemerintah pusat hanya melantik dan mengesahkan hasil pemilihan kepala daerah
yang sepenuhnya dilakukan oleh DPRD".
Berdasarkan
UU No 22 Tahun 1999, sesungguhnya telah terjadi kemajuan dalam hal pemilihan
kepala daerah yang semula sentralistik menjadi desentralisasi oleh DPRD. Namun,
pergeseran dari sentralistik ke desentralisasi ini belum memberikan jaminan
bahwa pelaksanaan pemilihan kepala daerah akan berjalan lebih baik. Justru
berdasarkan UU ini, pelaksanaan pilkada banyak masalah serius, antara lain,
distorsi antara siapa yang diinginkan rakyat dengan pilihan anggota DPRD.
Hal
tersebut terjadi karena masih kuatnya dominasi pimpinan partai politik (DPP)
yang memberikan restu kepada calon yang boleh diajukan dalam arena pilkada.
Dalam hal ini DPP partai politik dalam pelaksanaannya turut menentukan calon
dan yang akan dipilih.
Sayangnya
anggota DPRD lebih mendengarkan suara elite politik di partainya ketimbang
suara rakyat yang diwakilinya. Juga terjadi politik uang pada proses
pendaftaran hingga pemilihan kepala daerah oleh anggota DPRD mengingat
penentu yang diterima dan tidak sebagai bakal calon adalah fraksi di DPRD.
Beberapa
masalah itu kemudian digagas pilkada secara langsung oleh rakyat yang
dikonkretkan dengan terbitnya UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Perubahan
hukum pilkada terjadi pada cara memilih kepala daerah. Semula pilkada
dilakukan atas dasar pencalonan fraksi-fraksi di DPRD dan dipilih oleh
anggota DPRD menjadi dicalonkan oleh partai politik yang memperoleh suara 15
persen dari jumlah kursi DPRD kemudian dipilih secara langsung oleh rakyat.
Dominasi
pemerintah pusat memang berkurang, tapi semangat sentralistik masih terasa.
Hal itu masih dirasakan cara partai politik mengajukan calon gubenur, bupati,
atau wali kota masih menggunakan restu-restuan dari DPP partai politik yang
berkantor di Jakarta.
Harus
dipahami juga, jika gagasan ini disetujiui DPR dan disahkan Presiden, maka
akan terjadi perubahan konsekuensi pertanggungjawaban. Sebab, jika
bupati/wali kota dipilih oleh rakyat, maka bupati/wali kota bertanggungjawab
kepada rakyat. Dengan demikian jika dipilih oleh DPRD, maka bupati/wali kota
bertanggung jawab kepada DPRD. Pengalaman tahun tahun lalu, ketika
bupati/wali kota dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD, bupati/wali kota
cukup repot menghadapi manuver politik anggota DPRD saat bupati/wali kota
menyampaikan laporan pertanggungjawaban per tahunnya. Tentu saja hal ini
cukup mengganggu jalannya pemerintahan.
Selain
itu, pemilihan pilkada oleh DPRD mengandung beberapa kelemahan, yakni terjadi
ketidakseimbangan dan ketidaksetaraan antara kepala daerah selaku
penyelenggara kekuasaan eksekutif dan DPRD sebagai lembaga legislatif. Dapat
dipastikan akan terjadi model pemerintahan yang berbentuk legislative heavy
karena kepala daerah bertanggung jawab kepada pemilihnya, yakni DPRD.
Jika
ini yang terjadi, justru bertolak belakang dengan gagasan demokratisasi yang
menghendaki adanya check and balances berbasis trias politica. Kepala daerah
akan diperlakukan sebagai "bawahan" DPRD dan dipermainkan oleh DPRD
jika kepala daerah tidak mengakomodasi kepentingan politik anggota Dewan
Perwakilan Daerah. Kondisi ini akan mempersempit kebebasan kepala daerah
dalam berinovasi membangun daerahnya.
Makna Pasal 18 (4) UUD
1945
Merujuk
pada dua ketentuan yang termuat dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dan Pasal 56
ayat (1) UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, tidak ditemukan satu
kata pun bahwa pilkada diselenggarakan secara langsung. Yang ditemukan adalah
kata dipilih secara demokratis.
Maka
perlu dikupas lebih jauh makna kata demokratis. Sebab, demokratis bisa
dimaknai demokrasi secara langsung, demokrasi secara perwakilan, atau bahkan
secara progresif dapat diartikan disetujui oleh seluruh rakyat secara
aklamasi, pun juga cara yang tidak kurang nilai demokratisnya.
Maka,
pemilihan gubernur, wali kota, dan bupati yang sejak berlakunya UU No 32
Tahun 2004 diselenggarakan secara langsung saja, tapi bisa dilakukan dengan
tiga cara: demokrasi perwakilan oleh DPRD, demokrasi secara langsung oleh
rakyat, atau secara aklamasi.
Khusus
untuk pemilihan gubernur, bisa dengan alternatif gubernur dipilih oleh
anggota DPRD provinsi dan anggota DPRD kota/kabupaten dalam wilayah provinsi,
tapi pertanggungjawaban tetap pada rakyat. Dengan demikian gagasan ini bisa
dijadikan jalan lain antara pemilihan
gubernur oleh DPRD dan secara langsung oleh rakyat atau secara penetapan oleh
DPRD, (contoh gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta). Cara-cara tersebut tidak
melampau makna dipilih secara demokratis sehingga tidak melanggar ketentuan
UUD 1945.
Untuk
menentukan pilihan apakah dilakukan secara langsung, dipilih oleh DPRD atau
penetapan oleh DPRD dikembalikan kepada kemauan dan kesiapan daerah masing
masing. Selama ini, pemilukada yang diselenggarakan secara langsung sudah berjalan
baik, maka terus diselenggarakan secara langsung. Sedangkan yang masih
berujung konflik masif, perlu dipikirkan pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
Pemerintah
daerah bersama DPRD dan segenap komponen masyarakat diberi kebebasan
menentukan apakah penyelenggaraan pilkada dilakukan secara langsung,
perwakilan atau penetapan oleh DPRD. Sedangkan, untuk pemilihan gubernur bisa
dilakukan dengan dipilih oleh anggota DPRD provinsi dan anggota DPRD
kota/kabupaten dalam wilayah provinsi setempat.
Penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah yang berdasarkan pada kemauan dan kesiapan masing
masing daerah, maka dapat dipastikan penyelenggaraan pilkada akan dapat
berlangsung lebih khidmat dan tidak kehilangan nilai demokrasinya. Sekarang
tinggal daerah mana yang mencoba pilkada sesuai kondisi masyarakat setempat.
Karena pada hakikatnya, rakyat Indonesia menghormati dan menghargai
keanekaragaman, termasuk dalam hal berdemokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar