Menolak
Pilkada Tidak Langsung
Bawono Kumoro ;
Peneliti
Politik The Habibie Center
|
JAWA
POS, 12 September 2014
BEBERAPA
hari terakhir, diskursus tentang masa depan pemilihan kepala daerah (pilkada)
secara langsung di Indonesia kian ramai diperbincangkan dan diperdebatkan.
Hal itu dipicu rencana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan rancangan
undang-undang (RUU) pilkada untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Bila disahkan akhir bulan ini, regulasi itu
akan digunakan sebagai dasar hukum pelaksanaan pilkada di Indonesia mulai
Januari 2015.
Salah
satu isu krusial dalam RUU pilkada yang mengundang pro-kontra adalah gagasan
untuk mengembalikan pilkada melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD),
baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Proposal
perubahan itu disokong Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat,
Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai
Persatuan Pembangunan (PPP). Enam partai politik itu tergabung dalam Koalisi
Merah Putih pendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam pemilihan
presiden (pilpres) lalu.
Di
kubu berseberangan, partai-partai politik penentang pilkada kembali ke DPRD
adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan
Partai Hanura.
Sejak
awal pembahasan RUU pilkada, isu tentang tata cara pilkada memang telah
memunculkan pro-kontra. Pada masa-masa awal pembahasan RUU pilkada, pemerintah
mengintroduksikan dua hal, gubernur dipilih DPRD dan bupati/wali kota dipilih
secara langsung. Alasan pemerintah mengajukan proposal itu, ongkos politik
pemilihan gubernur terlalu mahal dan tidak sebanding dengan kewenangan
gubernur yang sangat terbatas.
Namun,
proposal pemerintah tersebut mengundang kritik dari sejumlah pihak. Bila
memang mahalnya ongkos politik menjadi alasan, mengapa bukan bupati/wali kota
saja yang dipilih DPRD, mengingat jumlah kabupaten dan kota mencapai 505
kabupaten/kota, sedangkan jumlah provinsi hanya 34 provinsi? Demikian pula
soal keterbatasan kewenangan gubernur, mengapa tidak dicarikan jalan keluar
dengan memperkuat kewenangan melalui revisi Undang-Undang Pemerintahan
Daerah?
Merespons
kritik itu, pemerintah kemudian berubah sikap dengan merevisi proposal
menjadi gubernur dipilih secara langsung dan bupati/wali kota dipilih DPRD.
Bahkan, saat itu ketika Koalisi Merah Putih belum terbentuk, partai-partai
seperti Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, PAN, PKS, dan PPP
tetap menginginkan seluruh pilkada dilaksanakan secara langsung.
Jadi,
bila dirunut dari masa-masa awal pembahasan RUU pilkada, tidak ada pemikiran
untuk menghapus sama sekali pemilihan kepala daerah secara langsung sebelum
kemunculan Koalisi Merah Putih di langgam politik nasional.
Kini
seiring kian intensifnya konsolidasi politik di antara partai-partai politik
dalam Koalisi Merah Putih, pilkada langsung terancam dihilangkan untuk
kemudian dikembalikan melalui DPRD sebagaimana pada masa Orde Baru. Mereka
berdalih pelaksanaan pilkada selama ini sangat mahal (high-cost politics) dan rawan konflik horizontal.
Namun,
sulit juga untuk tidak mengatakan kemunculan gagasan untuk mengembalikan
pilkada kepada DPRD tersebut didasarkan pada kalkulasi politik tertentu dari
Koalisi Merah Putih. Dengan asumsi koalisi berjalan solid melalui penguasaan
kursi mayoritas di DPRD provinsi/kabupaten/kota seluruh Indonesia, bukan hal
sulit bagi Koalisi Merah Putih untuk merebut posisi kepala daerah.
Karena
itu, tidak sedikit pihak yang bereaksi keras terhadap gagasan untuk
mengembalikan pilkada kepada DPRD karena dinilai sebagai langkah mundur bagi
kehidupan demokrasi di Indonesia. Pengembalian pilkada melalui DPRD menabrak
konstitusi, yakni kedaulatan rakyat memperoleh penghormatan tertinggi.
Mekanisme
pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan salah satu bentuk
pengejawantahan dari penghormatan terhadap kedaulatan rakyat tersebut. Selain
itu, pengembalian pilkada melalui DPRD tidak sejalan dengan agenda besar
demokrasi Indonesia berupa penguatan sistem presidensial, baik di tingkat
nasional maupun lokal.
Argumen
pelaksanaan pilkada langsung yang telah mengakibatkan politik biaya tinggi
sangat dapat diperdebatkan. Bukankah jika pilkada dikembalikan kepada DPRD,
para calon kepala daerah yang hendak maju dalam pemilihan harus melakukan
berbagai pendekatan lebih dahulu kepada anggota-anggota DPRD yang justru
rawan memunculkan politik transaksional dan politik uang berjamaah?
Lebih
lanjut, pilkada melalui DPRD dikhawatirkan membuat jabatan
gubernur/bupati/wali kota dikuasai figur-figur dengan akses uang dan akses
politik besar saja, bukan figur-figur kompeten dan berprestasi seperti
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja
Purnama, Bupati Kubu Raya Muda Mahendrawan, Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah,
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, dan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil.
Kemudian,
alasan lain partai-partai politik Koalisi Merah Putih bahwa pilkada langsung
selama 10 tahun ini memiliki tingkat kerawanan sosial tinggi berupa konflik
horizontal juga bisa diperdebatkan. Memang benar kontestasi politik harus
diimplementasikan secara damai sebagai hal penting bagi kelangsungan
kehidupan demokrasi di suatu negara. Tetapi, hal itu tidak lantas diartikan
dengan meniadakan sama sekali potensi konflik horizontal.
Hal
paling penting yang harus dipahami bukan bagaimana cara memusnahkan konflik,
tapi bagaimana cara mengelola konflik tersebut. Konflik sebagai konsekuensi
gesekan kepentingan dalam sebuah kontestasi politik bukanlah hal tabu. Yang
terpenting bagaimana konflik itu dituntaskan secara terlembaga, tidak melalui
cara-cara kekerasan.
Singkat
kata, high-cost politics dan
konflik horizontal tidak bisa dijadikan yustifikasi bagi Koalisi Merah Putih
untuk mengembalikan mekanisme pilkada melalui DPRD. Konflik horizontal dan
high-cost politics sangat tidak sebanding dengan risiko pelaksanaan pilkada
tidak langsung berupa terpilihnya kepala daerah yang minim track record, tidak mumpuni, serta
tidak memenuhi ekspektasi publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar