Menakar
Diskursus Wagub DKI
Hendra Kurniawan ; Dosen Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta
|
KORAN
JAKARTA, 02 September 2014
Gubernur
DKI Jakarta, Joko Widodo, telah resmi menjadi presiden RI periode 2014–2019.
Belum dua tahun dia menjabat gubernur, rakyat menghendaki lain. Jokowi
didaulat untuk segera pindah dari Medan Merdeka Selatan ke Medan Merdeka
Utara. Ini suatu prestasi yang luar biasa karena hanya dalam waktu beberapa
tahun karier politiknya melesat.
Dia
bergerak dari wali kota Solo menjadi gubernur DKI Jakarta, dan kini berhasil
meraih posisi orang nomor satu di negeri ini. Akan tetapi, untuk duduk di
kursi kepresidenan, Jokowi harus menempuh jalan panjang yang terjal dan penuh
liku.
Sejak
pencalonannya sebagai presiden, Jokowi harus menghadapi kampanye negatif yang
menyerangnya bertubi-tubi. Setelah pemilihan presiden (pilpres) 9 Juli lalu,
kemenangan Jokowi terganjal persoalan saling klaim mengenai hasil hitung
cepat hingga akhirnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkannya sebagai
presiden terpilih.
Belum
cukup sampai di situ, kepastiannya untuk dilantik sebagai presiden masih
harus menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Akhirnya penantian ini
berakhir saat MK memutuskan untuk menolak seluruh gugatan pasangan Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa. Dengan demikian, pasangan Jokowi-JK benar-benar sah
untuk dilantik selaku presiden dan wakil presiden bulan Oktober mendatang.
Sekalipun
demikian, tidak berarti aral akan berakhir bagi Jokowi. Pengunduran diri
Jokowi dari jabatannya selaku gubernur Jakarta bisa saja terganjal di DPRD
DKI. Belum lagi batu sandungan lain berupa revisi UU MD3. Kemudian, ke depan,
Jokowi harus benar-benar taktis menghadapi kubu oposisi di DPR.
Eskalasi
politik saat ini, mau tak mau, juga memengaruhi perubahan kepemimpinan di DKI
Jakarta nantinya setelah Jokowi resmi mundur. Wakil Gubernur Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok) akan naik menjadi gubernur DKI Jakarta. Konsekuensinya, Ahok
memerlukan pasangan baru untuk mengisi kursi wakil gubernur yang kosong.
Jalan terjal bakal menjadi bercabang karena pasangan Jokowi-Ahok ketika itu
didukung PDIP dan Partai Gerindra. Sementara dalam pilpres kemarin, kedua
partai tersebut harus bersimpang jalan. PDIP mengusung Jokowi-JK, sedangkan
Partai Gerindra menyokong Prabowo-Hatta.
Dalam
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua UU Nomor 32 Tahun 2004, disebutkan apabila posisi
wakil gubernur kosong, gubernur terpilih mengajukan dua nama dari partai
pendukung pasangan gubernur-wakil gubernur, yang kemudian akan dipilih DPRD.
Dalam
situasi saat ini, tidak menutup kemungkinan PDIP dan Gerindra sama-sama
bersikeras mengajukan calonnya masing-masing. Pernyataan Ahok menyikapi
kemungkinan ini sangat menunjukkan sikap kenegarawanan dan keberpihakannya
pada kepentingan rakyat. Ahok menegaskan kesiapannya untuk sendirian, tanpa
wakil dalam memimpin DKI Jakarta, apabila kedua partai pengusung justru terus
berbenturan.
“Single Fighter”
Barangkali
secara prosedural memang pernyataan Ahok ini kontroversial, namun tidak
demikian bagi dinamika pemerintahan di DKI Jakarta mendatang. Ahok
membutuhkan pasangan yang mampu bersinergi dan bisa mengimbangi gaya koboi
yang selama ini sudah melekat pada dirinya.
Tentu
tak bisa sembarangan orang. Pemimpin yang masih bergaya feodal tidak akan
betah dan justru bakal menjadi pengganjal bagi Ahok. Lord Acton (1907)
mengungkapkan bahwa kekuasaan cenderung menjadi korup, dan kekuasaan absolut
akan melakukan korupsi secara mutlak.
Untuk
itu, sangat beralasan apabila Ahok menghendaki pasangan yang sudah teruji
sebagai kepala daerah. Menurutnya, ini penting karena sifat dan watak asli
seseorang akan terlihat saat sudah diberi kekuasaan, termasuk soal
kemungkinan perilaku koruptifnya.
Sembilan
puluh persen pasangan kepala daerah pada akhirnya bercerai karena bermacam
sebab. Pola kepemimpinan Ahok yang progresif ditambah sekian kriteria yang
diharapkan dimiliki pendampingnya kelak perlu mendapat perhatian serius.
Calon wakil gubernur yang diajukan harus memiliki chemistry dengan Ahok.
Ini
penting agar kinerja pasangan baru bisa optimal. Gubernur dan wakilnya harus
sejalan dan saling mendukung. Untuk itulah figur calon wakil gubernur harus
bisa mengimbangi karakter Ahok. Kompetensi dan kapabilitasnya harus bisa
menopang kerjanya.
Dibutuhkan
pembicaraan masak-masak antara PDIP dan Partai Gerindra untuk membuahkan
keputusan yang cermat dan tepat, bukan semata-mata karena kepentingan politik
masing-masing. Tanggalkan egoisme politik yang saat ini masih sangat
terpolarisasi. Kembalilah pada tekad bersama saat mengusung pasangan
Jokowi-Ahok untuk memajukan Jakarta.
Jika
itu tidak mungkin diwujudkan, kesiapan Ahok menjadi single fighter di DKI Jakarta merupakan keputusan yang lebih
tepat. Untuk apa ada pembantu kalau akhirnya hanya mengganggu kinerja dan
bahkan menghambat memajukan Jakarta? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar