Laut
Cina Selatan : Perekat atau Pengganjal ASEAN?
Mohammad Abriyanto ;
Wartawan
Freelance, Tinggal di Jakarta
|
SATU
HARAPAN, 11 September 2014
Beberapa
waktu lalu Presiden SBY bertolak ke Singapura untuk menandatangani kerjasama
bilateral terkait batas wilayah. Beberapa saat sebelumnya, masih di tahun
2014, Presiden SBY juga melakukan hal serupa dengan Filipina menyangkut
perbatasan kedua negara. Langkah SBY begitu tepat sasaran mengingat di
lingkup organisasi regional seperti ASEAN ini, sebenarnya masih banyak
masalah perbatasan – baik di daratan, lautan atau udara – yang mengganjal
sesama anggotanya sendiri yang kini berjumlah 10 (Indonesia, Thailand,
Filipina, Malaysia, Singapura, Brunei, Vietnam, Kamboja, Laos dan Myanmar).
Salah
satu masalah terkait perbatasan di laut yang terus diributkan adalah klaim di
Laut Cina Selatan. Di kawasan ini ada banyak pulau, dan persengketaan banyak
mencuat berada di kepulauan Spartly dan Paracel. Di kepulauan ini, tak
tanggung-tanggung yang mengklaim: enam negara seperti Cina, Vietnam, Taiwan,
Filipina, Malaysia, dan Brunai Darusalam. Cina dan Taiwan memang bukan
anggota ASEAN.
Beban Sejarah dan Ego
Pemimpin
Rata-rata
klaim di kepulauan yang berada di Laut Cina Selatan itu menyodorkan bukti
sejarah bahwa di masa lalu kawasan tersebut masuk dalam teritorinya.
Masalahnya menjadi kian rumit, tatkala para pemimpin atau kepala negaranya
bersikukuh tanpa kompromi bahwa klaimnya sudah pasti benar di Laut Cina
Selatan.
Indonesia
pun, bila kita menengok masa silam, di jaman keemasan Majapahit, wilayah
kekuasaanya begitu besar hingga mencapai Kamboja. Tetapi kalau semua
mengandalkan fakta sejarah belaka tanpa mengindahkan aturan hukum
internasional yang berlaku sekarang, akan sulit menyelesaikan masalah
perbatasan dengan negara tetangga.
Kerumitan
dalam proses negosiasi sekitar Laut Cina Selatan menjadi bertambah lagi
tatkala diketahui kandungan kekayaan alam disekitar teritori yang diklaimnya
sangat besar. Salah satunya adalah potensi gas dan minyak buminya. Talisman Energy Inc, Perusahaan migas
milik Kanada yang sudah mendapat izin dari Pemerintah Vietnam misalnya, sudah
bersiap mengebor dua sumur eksplorasi minyak di wilayah ini.
Pada
saat bersamaan, belum lama berselang, kapal patrol Vietnam bersitegang dengan
coastguard Cina. Kedua kapal patrol
mereka saling bersenggolan, dan mengarah ke bentrok militer. Di sinilah forum
seperti ASEAN sangat diperlukan untuk meredam konflik di sekitar Laut Cina Selatan.
Secara
geografis, wilayah yang dipersengketakan ini jauh lebih dekat ke wilayah
Indonesia, yakni sekitar 500-an kilometer dari Provinsi Kalimantan Utara.
Sedangkan ke Cina sekitar 1000an kilometer. Kepulauan ini memiliki luas
244.700 Km² dan terdiri dari sekitar kurang lebih 350 pulau
(http://inmysmallworld.blogdetik.com/files/2011/06/spratly.gif).
Peran Indonesia
Di
saat ASEAN berdiri pada 1967, peran Indonesia begitu mengemuka. Di bawah
kepemimpinan Presiden Soeharto, ASEAN dalam beberapa dekade berada dalam
kondisi kondusif dalam masalah perbatasan diantara anggotanya. Kalau toh
muncul masalah, di saat pertemuan rutin tahunan antar kepala negara atau
sesama menteri luar negeri dan yang terkait, masalah tersebut bisa
diselesaikan dengan baik.
Sejak
Soeharto lengser, peran Indonesia di lingkup ASEAN bisa dikatakan redup. Para
kepala negara purna Soeharto (Habubie, Abdurahman Wahid, Megawati), cenderung
membenahi dalam negeri dan hubungan luar negeri diatur tidak serapih di masa
Soeharto. Baru di masa Presiden SBY, ketertataan hubungan luar negeri sesuai
skala proritas lebih terlihat.
Di
lingkup ASEAN, Presiden SBY mulai menunjukkan kepiawaiannya dalam membina
hubungan regional. Masuk Myanmar misalnya sebagai anggota ASEAN, tak terlepas
dari peran Indonesia dalam hal ini kepemimpinan SBY yang memberikan
keyakinan di internal ASEAN maupun ke
negara-negara besar yang berpengaruh di Asia Tenggara (Amerika Serikat, Cina,
Jepang, Rusia).
Kembali
ke soal masalah di Laut Cina Selatan, perlahan Indonesia di bawah
kepemimpinan SBY juga membina hubungan dengan baik di semua negara yang
memiliki klaim. Meski teritori Indonesia juga bersinggungan dengan Laut Cina
Selatan, tetapi secara langsung tidak ada konflik klaim wilayah yang dihadap
Indonesia di perairan tersebut.
Sengketa
di perairan ini mulai mencuat secara terbuka sejak 1979, kemudian mendingin
kembali. Lalu pada 2009 kemarin hingga kini, eskalasi konflik kembali
memanas. Saat menadatangani kerjasama perbatasan dengan Filipina beberapa
waktu lalu, Presiden SBY sudah membuka diri untuk bertindak pula sebagai
mediasi dalam menyelesaikan konflik di Laut Cina Selatan.
Indonesia
sepertinya ingin memainkan peran dalam forum dialog di “ASEAN plus Three”, di
mana negara luar seperti Cina, Jepang dana Korea Selatan memang diajak untuk
membahas masalah strategis di sekitar kawasan Asia Tenggara. Sebagai negara
yang memiliki geografi paling besar diantara anggota ASEAN, memang sudah
sepantasnya Indonesia memiliki peran strategis yang juga besar.
Secara
geopolitik posisi Indonesia juga begitu vital. Asean yang memang dibangun
bukan untuk kerjasama di bidang militer, tetapi kemauan politik para kepala
negaranya bisa dipersatukan apabila sering diasah untuk berdialog dalam
membangun suasana saling menguntungkan
di kawasannya sendiri.
Menghadapi
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, di mana batas wilayah sudah tidak lagi
menjadi rintangan dan perdagangan maupun jasa kian merekat, pada sudah
sepantasnya Indonesia mempersiapkan segala potensinya untuk menjadi pemimpin
sekaligus fasilitator yang tangguh dalam menyelesaiakan banyak hal di lingkup
Asia Tenggara.
Itu
sebabnya untuk menyelesaikan berbagai masalah penting, seperti halnya di Laut
Cina Selatan yang setiap saat bisa meningkatkan eskalasinya, banyak kerjasama
bisa dikembangkan secara gotong royong. Dan ini menjadi pekerjaan rumah besar
untuk kepala negara yang baru terpilih di Pilpres kemarin (Pasangan Joko
Widodo dan Jusuf Kalla).
Kerjasama
di bidang penanggulangan bencana dan kepariwisataan misalnya, adalah sebuah
bentuk kegiatan yang sangat menguntungkan banyak pihak. Potensi dan
keberadaan Laut Cina Selatan sendiri, begitu besar pesona wisatanya yang bisa
ditengok. Untuk teritori Indonesia, perairan di Kepulauan Riau seperti Batam,
Bintan, Anambas, Natuna, adalah “surga tersembunyi” yang bisa ditawarkan
untuk bentuk kerjasama kepariwisataan di lingkup Asia Tenggara umumnya dan
Laut Cina Selatan khususnya.
Dari
kegiatan pariwisata ini, diharapkan negara anggota ASEAN plus yang terkait
dengan konflik di Laut Cina Selatan, bisa menawarkan paket wisata dan
budayanya juga untuk diperlihatkan. Jadi semacam “Festival Wisata dan Budaya
Laut Cina Selatan” yang dibuat berkala setiap tahun dan tuan rumahnya
diutamakan kepada negara-negara yang bertikai. Diharapkan di sini partisipasi
masyarakat dari masing-masing negara terlibat sehingga dapat meminimalisasi
klaim perbatasan yang diributkan.
Bentuk
kegiatan lain yang dirasa perlu adalah terkait penanggulangan bencana.
Akhir-akhir ini seringkali bencana menerpa hampir semua belahan dunia, mulai
dari gempa bumi, angin kencang, virus penyakit, tsunami, kebakaran hutan, dan
lain sebagainya. Penanggulangan
bencana alam tersebut tentunya membutuhkan kerjasama yang baik diantara anggota
ASEAN dan mitranya.
Terkait
dengan di laut Cina Selatan, tentunya yang dirasa perlu adalah penanganan
bencana di laut. Kerjasama penanggulangan bencana yang Maret lalu
dilaksanakan oleh TNI AL bersama lebih dari sepuluh negara di Laut Cina
Selatan, misalnya, adalah salah satu bentuk kegiatan yang perlu
ditindaklanjuti di masa mendatang. Ini sebuah manifestasi bentuk kegiatan
gotong royong yang perlu diadakan secara simultan di masa mendatang.
Contoh
dua bentuk kegiatan tersebut apalagi dilaksanakan secara bertahap dengan melibatkan
tidak hanya unsur masing-masing Pemerintah, tetapi juga organisasi
kemasyarakatan, tentunya berdampak sangat luas dan bisa dirasakan oleh banyak
masyarakat di ASEAN maupun mitranya seperti Cina, Jepang dan Korea Selatan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar