Indonesia
Milik Rakyat “Tanpa Sekat”
Rafli Kande ;
Musisi,
Penyair,
Anggota DPD terpilih asal Aceh Periode 2014-2019
|
OKEZONENEWS,
11 September 2014
Meniti
Indonesia pascapilpres 2014 kemarin. Sepertinya ragam “hama” di dalam taman
Negeri Pancasila ini belum seluruhnya sirna. Bukan Orasi ataupun Demonstrasi
yang menjadi problematika. Namun “lalulalang” hama Provokasi yang terus
menerus merajai peran dalam dinamika berdemokrasi di Indonesia. Menjadi
proses di dalam berdemokrasi jika perbedaan tumbuh didalamnya.
Me-review perjalanan Bapak Bangsa, bahwa
Bung Karno dan Bung Hatta dahulu juga berbeda pendapat dalam menetapkan
sistem arah bangsa Indonesia. Demokrasi yang disarankan Bung karno dengan
menimbang keadilan atas masyarakat Indonesia dianggap lebih tepat dengan
menimbang atas hak yang sama dalam menetapkan arah bangsa.
Berbeda
halnya dengan Bung Hatta, yang menimbang secara kedaerahan atau kewilayahan
Indonesia yang merupakan Negeri maritime
serta amat sangat luas dengan sekatan oleh lautan menjadikan Federasi
menjadi tawaran Bung Hatta untuk Indonesia. Proses Musyawarah yang dilakukan
pada saat itu berujung pada penetapkan Indonesia bersistem Demokrasi. Bung
Hatta yang hanya mendapat sedikit dukungan dalam Musyawarah tetap konsekuan
atas putusan tersebut. Kontribusi Federasi yang disampaikan Bung Hatta, tidak
menjadikan Bung Hatta menolak atas penetapan Demokrasi sebagai sistem
kenegaraan bangsa Indonesia yang telah ditetapkan secara bijaksana dan
mufakat.
Realitas
melirik pemerintahan pascapenetapan KPU dan MK atas gugatan salah satu calon,
tampaknya masih menyimpan sekatan antarpemilih. Secara gamblang tak ada
perbedaan, namun sungguh terasa, bahwa masih “ada api didalam sekam” inilah
yang dirasakan saat ini atau dengan bahasa lain, belum semua Masyarakat
Indonesia siap berdemokrasi dan konsekuen secara utuh. Hal ini tampaknya
membuat Presiden Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pesannya
yang terpublis beberapa waktu lalu
menyampaikan kepada presiden terpilih nantinya agar tak membedakan rakyat
Indonesia baik yang memilih atau yang menjadi rival saat pemilu berlangsung,
tetaplah mereka rakyat Indonesia dan harus dihormati.
Rekonsiliasi
saat ini terasa masih sangat tumpul sehingga tampaknya berbagai perihal kecil
dengan sengaja menjadi besar dengan dibesar-besarkan dalam upaya membuat
konflik tak pernah usia, disinilah peran “hama” yang dimaksud. Persoalan
bangsa hendaknya menjadi persoalan bersama oleh seluruh elemen yang ada di
Indonesia. BBM yang kabarnya akan
mengalami kenaikan harga mulai menjadi problematika yang terus berulang.
Berbagai spekulasi muncul tanpa ada ketegasan Pemerintah secara gamblang
untuk menyampaikan Persoalan Bangsa dan mencari solusi Kebangsaan.
Penyelamatan Bangsa Indonesia dalam krisis atau hutang tentu tak juga harus
menekan rakyat Indonesia menengah ke bawah. Dampak tersebut tentu tak akan
tersorot oleh media secara utuh nantinya kecuali sedikit saja dan hal
tersebut pun akan menjadi bola yang dimanfaatkan oleh politisi “busuk”
nantinya.
Kini,
Indonesia akan menghampiri masa krisis kepercayaan bilamana harapan rakyat
akan “dihinakan” kembali oleh para pemimpin yang sebenarnya telah diamanahkan
akan nasibnya melalui wakilnya. Sekatan demi sekatan membuka jalan perbedaan
yang makin “Menganga”. Tanpa Rekonsiliasi dan Rekontruksi pemikiran yang
tepat, rasanya akan jauh “panggang dari api” atas apa yang diharapkan anak
bangsa. Harapan Rakyat Indonesia akan jauh dari kenyataan.
Dibutuhkan
keterbukaan dari pemerintah hari ini dalam mengambil keputusan yang berpihak.
Bukankah semua program yang disampaikan saat kampanye lalu keseluruhannya
berpihak pada rakyat. Mengapa saat ini harus pertanyakan kembali? Penyelamatan
keuangan Bangsa tentu tidak harus menggadaikan para kaum fakir yang terus
miskin tanpa solusi pemerintah. Mungkin sebagian rakyat Indonesia yang
ekonominya cukup mapan akan menjadi hal yang tak terlalu bermasalah atas
naiknya harga BBM, namun tentu perihal tersebut tidak berlaku untuk kaum
duafa dan fakir miskin. Seiring dengan akan naiknya harga sembako atas
naiknya harga BBM, tentunya pendapatan masyarakat yang terus merendahkan
nilai angka menjadikan jumlah masyarakat miskin akan terus bertambah di
Indonesia.
Peran
para Dewan Perwakilan Rakyat tentu harus menjadi bagian dalam pengambilan
kebijakan meskipun Wapres terpilih Jusuf Kalla mengatakan “pertimbangngan
naiknya harga BBM, tidak harus menimbang DPR”. Demi Indonesia “Tanpa Sekat”
tentu, hal ini hendaknya haruslah menjadi pertimbangan. DPR hendaknya menjadi
Perwakilan secara utuh dalam menyampaikan Aspirasi Masyarakat dihadapan
Pemerintah. Krisis keprcayaan dan saling curiga antara pemerintah dan Dewan
Perwakilah Rakyat serta antar-Partai hendaknya harus segera berakhir jika
semua bersepakat membangun Indonesia, bukan “bersama merampok Indonesia”.
Anggota Dewan Pimpinan daerah sebagai Peninjau dapat menjadi pendengar
terhormat dalam ragam pendapat secara
bersama dan mengambil bagian dalam porsi lainnya dalam berpendapat demi
putusan yang bersifat merakyat.
Jika
keterlibatan ragam pihak masih menjadi problem bangsa ini, tentu krisis
kepercayaan tak hanya akan tumbuh dikalangan Rakyat namun akan menjalar ke
Para Dewan dan makin membuat perpolitikan Indonesia makin tidak sehat dalam berpolitik membangun bangsa.
Semoga ini bukan awal dari krisi yang membawa Bangsa ini rebah seperti yang diisuekan para “hama bangsa”.
Optimisme membangun bangsa Indonesia haruslah lahir sebagai langkah perubahan
2014 dengan menunaikan semua harapan Rakyat Indonesia yang menginginkan
perubahan pasca Pemilu 2014.
Kini
langkah awal yang harus diambil adalah bermusyawarah menetapkan putusan yang
bepihak pada rakyat khususnya rakyat kecil. Jika pun beban bangsa harus
ditanggung bersama, hendaknya beban yang diderita oleh rakyat miskin tak
harus disamakan dengan masyarakat Indonesia yang kelas menengah keatas.
Indonesia harus dibangun bersama tanpa “sekat” demi Bangsa yang Bermarthabat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar