Dua
Presiden
Andi Syafrani ;
Praktisi
Hukum dan Tenaga Pengajar di UIN Jakarta
|
KORAN
SINDO, 10 September 2014
SAAT
ini Indonesia memiliki dua presiden: Susilo Bambang Yudhoyono, presiden
keenam Indonesia yang masih berkuasa hingga akhir masa jabatannya; dan Joko
Widodo, calon presiden terpilih hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014
yang pada akhir Oktober nanti akan
dilantik menjadi presiden ketujuh.
Kenapa
disebut ada dua presiden saat ini? Pertama, karena Joko Widodo telah
mendapatkan pengawalan Paspampres, unit khusus TNI yang dalam tugas pokok dan
fungsinya hanya mengawal presiden dan wakil presiden berikut keluarganya.
Sebagaimana diketahui, sejak 22 Agustus 2014, KPU telah menyerahkan
pengawalan keamanan Jokowi dari Polri ke Paspampres.
Jokowi
juga telah mendapatkan fasilitas mobil khusus sebagai bagian dari pengamanan
tersebut. Kedua, Jokowi telah melakukan tindakan acting president dengan
membentuk Tim Transisi dan memberikan pernyataan-pernyataan terkait rencana
kebijakan nasional.
Mengenai
ini, Jokowi bahkan telah bertemu beberapa kali dengan SBY untuk membicarakan
hal-hal strategis kebijakan publik, seperti rencana kenaikan harga bahan
bakar minyak.
Ketiga,
secara psikologis, setelah putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak pemohonan
pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo-Hatta, mayoritas
rakyat sudah memandang dan memperlakukan Jokowi sebagai presiden, meski de
facto sebenarnya masih sebagai gubernur DKI Jakarta.
Jokowi
tidak saja melakukan kegiatan kerja di wilayah DKI Jakarta, tapi juga terus
blusukan ke wilayah lain Indonesia, yang disambut masyarakat layaknya
presiden.
Periodisasi Presiden
dan Wakil Presiden
Bagaimana
sebenarnya posisi hukum Jokowi dan Jusuf Kalla saat setelah ditetapkan oleh
KPU sebagai calon presiden dan wakil presiden terpilih dan dikuatkan oleh
putusan MK?
Pertanyaan
ini tidak dapat dijawab sebelum menjawab pertanyaan, secara hukum, sejak
kapankah dimulainya periode jabatan presiden dan wakil presiden? Konstitusi
kita hanya mengatur periode pemerintahan presiden dan wakil presiden adalah
lima tahun, sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 7 UUD 1945.
Tidak
aturan teknis lain, baik di dalam UUD maupun undang-undang yang menjelaskan
sejak kapan presiden dan wakil presiden memulai dan mengakhiri masa
jabatannya.
UU
Nomor 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden hanya menetapkan
bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih ditetapkan oleh KPU
(Pasal 160), dan kemudian dilantik oleh MPR (Pasal 161 [1]) di mana
pengucapan sumpah/janji menjadi peristiwa hukum yang menandai pelantikan
(Pasal 162 (4)).
Peristiwa
pelantikan presiden dan wakil presiden oleh MPR tidak disertai pembacaan
surat keputusan penetapan presiden dan wakil presiden oleh MPR karena MPR
tidak lagi dianggap sebagai lembaga tertinggi negara.
Pelantikan
oleh MPR justru dilakukan dengan pembacaan SK KPU tentang Penetapan Pasangan
Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih dalam Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden, sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 34 (3) UU Nomor 17/2014
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
MPR
hanya menyiapkan berita acara pelantikan sebagai bukti hukum proses
pelantikan telah dilaksanakan (Vide Pasal 34 [7]). Pelantikan inilah yang
selama ini secara implisit ditafsirkan sebagai awal perhitungan periode masa
jabatan presiden dan wakil presiden (sekaligus masa akhir), yang karenanya
menjadi semacam tradisi ketatanegaraan kita.
Hal
ini pula sebagaimana dimaksud dalam frase “pidato awal masa jabatan” dalam
ketentuan Pasal 34 (8) UU MD3. Apakah pelantikan dapat menjadi tonggak awal
perhitungan periode masa awal presiden dan wakil presiden sebagaimana seperti
pada penetapan masa awal jabatan kepala daerah?
Penulis
berpendapat bahwa pelantikan presiden dan wakil presiden oleh MPR tidak dapat
dijadikan patokan perhitungan awal sebagaimana pada pelantikan kepala daerah
karena beberapa alasan.
Pertama,
berbeda dengan pelantikan kepala daerah, pelantikan presiden dan wakil
presiden oleh MPR tidak dengan membacakan SK MPR, melainkan SK KPU.
Sedangkan
pelantikan kepala daerah tidak dilakukan oleh presiden atau menteri dalam
negeri dengan membacakan SK KPU, melainkan dengan SK presiden di mana di
dalamnya terdapat klausul yang secara tegas mengatur periode awal dan akhir
jabatan kepala daerah yang dilantik.
SK
KPU dalam pelantikan kepala daerah hanya dijadikan sebagai dasar
pertimbangan. Artinya, yang menjadi dasar periode kepala daerah adalah SK
Presiden.
Kedua,
karenanya, yang menjadi dasar dalam penentuan masa awal periode presiden dan
wakil presiden adalah SK KPU, untuk kasus Jokowi dan JK adalah SK KPU Nomor
536/ Kpts/KPU/Tahun 2014 bertanggal 22 Juli 2014.
Di
dalam SK KPU tersebut secara tegas disebutkan bahwa pasangan Jokowi-JK telah
ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden terpilih periode 2014-2019 dan
berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Artinya,
pasangan tersebut sudah secara sah menjadi presiden dan wakil presiden
Indonesia sejak tanggal ditetapkan, dan dengan sendirinya masa jabatan
Presiden SBY dinyatakan telah berakhir (demisioner), meski hal ini tidak
dinyatakan di dalam SK KPU tersebut.
Keputusan
MK terkait dengan SK KPU ini yang menjadi objek perselisihan PHPU Pilpres
2014 tidak dalam kapasitas mengubah isi dan substansi SK SKPU, melainkan
hanya membatalkannya atau menunda pelaksanaannya, jika permohonan PHPU
pilpres oleh Pasangan Prabowo-Hatta dikabulkan.
Ketiga,
sebagaimana ditegaskan pula di dalam Pasal 9 (1) UUD 1945, presiden dan wakil
presiden telah ada dan sah secara hukum, hanya belum sempurna dalam memangku
jabatannya sebelum bersumpah. Sumpah jabatan presiden dan wakil presiden
karenanya hanyalah fase penyempurnaan jabatan, bukan syarat sah presiden dan
wakil presiden.
Keempat,
otoritas penyelenggaraan pemilu berada di tangan KPU. Hal ini diakui dengan
tegas di mana dalam pelantikan presiden dan wakil presiden oleh MPR yang
dibacakan adalah SK KPU. Karenanya KPU saja yang secara legal punya hak
menentukan batas periodisasi jabatan presiden dan wakil presiden, bukan MPR.
Berdasarkan
argumen di atas, penulis berkesimpulan bahwa penentuan masa awal jabatan
presiden dan wakil presiden ditetapkan oleh KPU, bukan dengan pelantikan MPR.
Akan tetapi, secara hukum Jokowi-JK belum dapat menjalankan fungsinya hingga
pelantikan sumpah dilakukan oleh MPR.
Kerancuan dan
Kekosongan Hukum
Di
sinilah letak adanya kontradiksi hukum yang sangat nyata mengenai persoalan
ini. Di satu sisi, KPU diakui sebagai penyelenggara pemilu, di mana KPU yang
menentukan seluruh tahapan pemilu, termasuk tahapan pelantikan presiden dan
wakil presiden pada 20 Oktober 2014, sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 3
(6) UU Nomor 42/2008 juncto PKPU Nomor 4/2014.
Di
sisi lain, konstitusi menyatakan pelantikan dilakukan di hadapan MPR (Pasal 3
UUD). MPR sebagai pemangku hajat pelantikan ditentukan waktunya oleh KPU,
bukan menentukannya sendiri.
Harusnya
dilakukan pemisahan antara proses penetapan legalitas presiden dan wakil
presiden terpilih sekaligus penetapan masa awal dan akhir jabatannya oleh
KPU, dan seremonial pelantikan yang merupakan semacam inaugurasi seluruh
rangkaian prosesnya di MPR, sehingga terdapat kepastian hukum dalam
perhitungan periodisasi jabatan presiden dan wakil presiden seperti kepala
daerah.
Atau,
diberikan kewenangan bagi MPR untuk membuat semacam SK penetapan presiden
yang di dalamnya ditentukan klausul mengenai periodisasi masa jabatan
presiden dan wakil presiden yang dilantik.
Penetapan
hukum mengenai masa jabatan presiden ini sangat urgen agar tidak menimbulkan
adanya “dua presiden” seperti saat ini, di mana keduanya secara de jure masih sah secara hukum.
Jokowi
merasa sudah menjadi presiden karena telah adanya SK KPU mengenai penetapan
dirinya sebagai presiden untuk periode 20014-2019, sedangkan SBY masih
menjadi presiden karena belum adanya pelantikan/penyumpahan Jokowi di MPR.
Peristiwa hukum saat ini adalah peristiwa yang belum ada presedennya.
Inilah
momen pertama kali terjadi transisi pemerintahan dalam sistem pemilu langsung
sejak 2004. Karenanya, momen ini menjadi penting untuk disikapi oleh para
pembuat hukum untuk membuat aturan tentang mekanisme transisi pemerintahan
presiden yang lebih pasti dan memberikan kepastian hukum dalam sebuah
undang-undang khusus tentang kepresidenan.
Karenanya,
pijakan hukum kita harus jelas dan pasti, tidak hanya bertumpu pada tradisi
ketatanegaraan semata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar