Demokrasi
Indonesia
Firman Noor ; Peneliti LIPI, Pengajar di
Departemen Ilmu Politik FISIP UI
|
KORAN
SINDO, 01 September 2014
Sekitar
empat belas tahun yang lalu saat George Walker Bush dinyatakan sebagai
pemenang presiden mengalahkan Al Gore, penulis sempat tercenung apakah
mungkin bangsa Indonesia dapat mengikuti jejak kedewasaan berpolitik
masyarakat AS, khususnya yang menghormati hasil pemilihan dengan elegan dan
damai.
Saat
itu Bush junior menang dengan situasi yang agak unik. Dia memang memenangkan electoral college (EC), kerap
ditafsirkan sebagai dewan pemilih, lebih banyak, namun jumlah total suara
pemilih (popular vote) dimenangkan
oleh Gore. Sepintas Gore, dengan keunggulan popular vote sekitar setengah juta suara, lebih layak memimpin.
Namun, memang dalam sistem pemilihan presiden AS presiden terpilih ditentukan
oleh seberapa besar jumlah EC dan bukan oleh jumlah suara yang diperolehnya.
Akhirnya
masyarakat dan elite AS taat pada aturan main itu dan mengakui Bush sebagai
presiden baru. Tidak terkecuali Gore, yang dengan legawa dapat menerima
kekalahan yang menyakitkan itu. Pemilihan presiden pun tidak menjadi sumber konflik
berkepanjangan.
Kesadaran
Konstitusional
Dengan
ditetapkan keputusan MK beberapa waktu lalu, perjalanan pilpres di Tanah Air
telah sampai pada tahap akhir. Dengan situasi yang berbeda, namun dalam
substansi yang sama, terbangun situasi kondusif yang terjadi hingga hari ini
menunjukkan sebuah kualitas kematangan berpolitik bangsa Indonesia yang tidak
kalah dengan negara sekaliber AS. Seluruh pihak menerima hasil keputusan MK
dengan baik.
Pascapemungutan
suara akhir Juli yang menimbulkan kehebohan, hingga akhirnya MK
mengambilkeputusannya sebulan setelahnya, kehidupan masyarakat secara umum
berlangsung normal. Tidak ada upaya-upaya yang sistematis untuk memperkeruh
suasana. Sebaliknya, semua pihak tampak berupaya untuk berkontribusi secara
positif dan bersikap secara proporsional dan profesional. Baik pihak teradu
maupun yang mengadu siap untuk menjaga berjalannya sidang ini dengan baik.
Kalaupun ada kericuhan saat persidangan, terbukti hanya sebuah riak-riak
kecil.
Sementara
pihak MK telah bersikap profesional. Aspekaspek yang bernuansakan dugaan,
namun tidak dapat dibuktikan secara meyakinkan benar-benar disingkirkan.
Afiliasi dan latar belakang politik para hakim juga tampak sama sekali tidak
berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan mereka. Kekhawatiran bahwa
beberapa hakim akan bersikap bias karena kedekatan dengan partai-partai
pendukung kelompok pengadu tertentu terbukti tidak terjadi.
Dengan
demikian, penjuru konstitusi dan aturan main telah dikedepankan secara
komprehensif para aktor pengambil keputusan pada masa-masa krusial itu. Tidak
itu saja, secara umum proses pilpres itu memperlihatkan bahwa kebebasan
memilih dan penghormatan terhadap perbedaan telah dipraktikkan dengan elegan.
Tidak ada korban nyawa satu pun di tengah salah satu perhelatan yang konon
paling menegangkan ini.
Demokrasi di Tengah
Mayoritas Muslim
Sebagai
negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di seantero jagat, kasus
pilpres dan pileg damai yang melibatkan lebih dari 133 juta manusia harusnya
mampu membuka mata masyarakat dunia atas kemampuan negara dengan mayoritas
penduduk muslim ini dalam menjalankan ritual terpenting dalam kehidupan
demokrasi. Apa yang telah terjadi mematahkan mitos atau asumsi bahwa
demokrasi tidak dapat berjalan disebuahnegara dengan mayoritas warganya umat
Islam.
Kenyataannya,
demokrasi telah dianggap sebagai sistem yang terbaik untuk dijalankan di
negara ini. Mayoritas rakyat tampak tidak memberikan ruang atas bangkitnya
otoritarianisme. Hasil survei beberapa kalangan, termasuk dari Pusat
Penelitian Politik-LIPI, menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat kita
menganggap demokrasi sebagai sistem yang baik. Bahkan ada di antaranya yang
dengan yakinnya mengatakan sebagai sistem yang terbaik.
Yang
terjadi saat ini adalah bukan benar-benar hal yang baru. Pileg 1955 yang berlangsung
damai diakui oleh banyak kalangan telah menunjukkan kekhidmatan masyarakat
Indonesia dalam berdemokrasi. Secara substansi hasil yang juga patut
disyukuri dari pagelaran pilpres adalah semakin terbangun kompromi.
Terlihat
bahwa dalam membangun koalisi tidak terpatok pada sentimen primordialisme
ataupun sekat nasionalis versus agama (Islam) semata, namun lebih karena
persoalan yang jauh lebih prinsipiil. Tidak mengherankan jika kemudian di
masing-masing kubu unsur-unsur nasionalis dapat bergandengan tangan dengan
unsur-unsur agama. Tidak saja pada level partai, namun pula di level ormas
dan relawan.
Beberapa Catatan
Meski
menunjukkan gelagat peningkatan kualitas demokrasi yang membaik, tidak
berarti demokrasi kita telah sempurna. Jelas harus diakui di sana-sini masih
banyak kelemahan dan bahkan kemunduran. Di antara masalah klasik itu adalah
persoalan penyakit kronis menahun DPT yang tidak kunjung dapat diselesaikan.
Padahal DPT adalah salah satu elemen kunci baik dan buruk penyelenggaraan pemilu.
Uniknya,
tahun inilah terjadi situasi di mana jumlah suara seorang kandidat pileg
dapat jauh melebihi DPT. Kinerja penyelenggara pemilu juga masih belum
memuaskan. Teguran DKPP atas KPU dan pemecatan di level KPUD adalah bukti
belum seutuhnya performa baik itu terjaga. Belum lagi keberatan dari banyak
partai yang tersingkir pada Pemilu 2014 (Anam,
2013). Sementara Bawaslu dalam batas tertentu tampak belum benar-benar
berdaya meski beberapa kewenangan dan perbaikan tunjangan sudah jauh membaik
saat ini.
Begitu
pula dengan sikap tidak dewasa dan keberpihakan yang berlebihan dari berbagai
institusi yang seharusnya menjadi penopang demokrasi. Mulai dari media massa
hingga lembaga survei dan polling tidak terbebas dari virus yang menggerogoti
upaya pendidikan politik masyarakat yang imbang, santun, dan bernalar.
Sedihnya, sikap seperti itu juga menjalar ke beberapa tokoh yang selama ini
konon dipandang sebagai demokrat atau aktivis yang memperjuangkan nilai-nilai
perbedaan, baik dalam situs pribadi maupun komentar lepasnya di beberapa
media.
Berbagai
catatan buruk itu juga tidak terlepas dari kondisi partai yang secara umum
masih dikelola jauh dari modern. Begitu pula sistem pemilu yang justru makin
mendorong individualisme dan pragmatisme. Mudah-mudahan di kemudian hari
ihwal seperti itu tidak terulang kembali sehingga kualitas demokrasi kita
dapat semakin menjulang tinggi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar