Pepesan
Kosong Koalisi Tanpa Syarat
Moch Nurhasim ; Peneliti pada Pusat Penelitian
Politik-LIPI
|
KORAN
SINDO, 26 Agustus 2014
Hasil
keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), 21 Agustus 2014 telah mengukuhkan Joko
Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) sebagai presiden terpilih dan tinggal
menunggu pelantikan pada 20 Oktober 2014 mendatang. Keputusan MK yang menolak
seluruh gugatan pasangan capres Prabowo-Hatta menyebabkan dinamika politik
koalisi yang kian menarik.
Masalahnya,
apakah model koalisi yang digagas oleh Jokowi sebagai koalisi yang tanpa
syarat dapat diwujudkan. Beberapa kali Jokowi mengingatkan agar partai
pendukungnya berkoalisi tanpa syarat dan menteri yang terpilih melepaskan
jabatan partai politik (parpol). Artinya, tidak ada syarat apa pun termasuk
soal jabatan menteri ketika kemudian dalam pilpres menang, (KORANSINDO,
12/8). Gagasan Jokowi sebagai presiden terpilih di atas bukan tanpa
tantangan. Secara ideal bisa saja dilakukan, tetapi politik adalah politik,
penuh dinamika, onak, dan duri. Dengan dukungan yang kecil dari partai
pengusung di parlemen, amat mustahil konsep koalisi tanpa syarat dapat
diterapkan.
PDIP
sebagai partaiutamapendukungJokowi hanya memperoleh 109 kursi (19,46%). Jika ditambah
dengan kursi Nasdem 6,25%, PKB 8,39%, dan kursi Hanura 2,85% dari 560 kursi
DPR, tampak jelas modal dan dukungan presiden terpilih sangat minim. Total
jumlah kursi pendukung Jokowi hanya 207 kursi atau 36,96%. Selain dukungan
yang minim, publik pun tahu presiden tidak bekerja sendiri dalam memutuskan
kebijakan. Memang benar Jokowi-JK sebagai pemenang pemilu yang langsung
dipilih oleh rakyat.
Akan
tetapi, Indonesia menganut sistem presidensial yang meniscayakan adanya
hubungan kerja sama antara presiden dan DPR dalam membuat kebijakan.
Argumentasi presiden memiliki legitimasi karena dipilih langsung oleh rakyat,
sama halnya dengan mengasumsikan presiden dalam menjalankan roda pemerintahan
dapat bekerja sendiri. Dalam sistem presidensial, ada perbedaan mendasar
antara relasi DPR-presiden dan presiden-DPR dalam membangun mekanisme checks and balances. Format hubungan
DPR-presiden berbeda dengan hubungan presiden-DPR untuk sebuah proses kebijakan
atau lahirnya sebuah undang-undang.
DPR
posisinya lebih tinggi, karena sebuah undangundang tanpa persetujuan presiden
secara otomatis akan berlaku setelah 30 hari. Sebaliknya, kebijakan presiden
tanpa dukungan DPR dengan mudah akan dihentikan di tengah jalan.
Dengan
kondisi seperti itu, pernyataan Jokowi, presiden terpilih yang menyatakan
bahwa koalisi yang akan dibentuk adalah koalisi tanpa syarat, ibarat
menegakkan benang basah. Artinya, secara politik koalisi tanpa syarat dan struktur
kabinet tanpa menteri dari partai hampir mustahil dilakukan. Ibaratnya, tak ada
dukungan yang gratis, dan tak ada dukungan politik yang tidak menginginkan
jabatan kekuasaan di pemerintahan.
Membayangkan
kabinet Jokowi-JK tanpa orang-orang partai ibarat membangun pemerintahan yang
selalu berada dalam ancaman. Pengalaman di era Gus Dur, Mega, dan SBY dapat
menjadi contoh, dengan kabinet yang didukung oleh partai politik yang
jumlahnya cukup signifikan saja, seperti Presiden Gus Dur yang diusung poros
tengah saja dimakzulkan. Begitu pula dengan beberapa kasus kebijakan SBY yang
ditentang keras oleh DPR, padahal SBY membangun pemerintahannya dengan
koalisi yang besar, hampir 70% partai koalisinya menguasai kursi parlemen.
Dalam
konteks seperti itu, PDIP sebagai partai pengusungnya lebih realistis. PDIP
menyadari dengan kekuasaan koalisi 36% di parlemen, masih perlu mencari kawan
baru untuk bergabung. Pilihannya hanya satu, menarik partai yang sudah
berkoalisi dengan Prabowo-Hatta atau Partai Demokrat yang ingin menjadi
partai penyeimbang. Dengan modal partai pendukung yang kecil pula, Jokowi
mengalami dilema dalam melakukan negosiasi dengan partai-partai yang akan
diajak berkoalisi. Sebut sebagai contoh, penolakan PKB atas gagasan Jokowi
agar menteri tidak merangkap jabatan partai dan PKB menagih janji jatah
menteri, termasukmenteriagama, adalah sinyal awal bahwa koalisi tanpa syarat
bukan tanpa masalah.
Sama
halnya dengan itu, keinginan untuk menarik kawan baru apakah PPP, Partai
Demokrat, atau Golkar, menurut hemat penulis bergantung pada tawaran yang
akan diberikan. Istilahnya tak ada jatah menteri, tak ada dukungan, tidak
mungkin ada politik yang gratis, partai dibentuk untuk berkuasa, pasti mereka
memiliki kepentingan untuk memperoleh jabatan. Dengan kekuatan yang hanya
36,96% pula, rasanya hampir mustahil menegakkan kepala dengan mengatakan
bahwa koalisi tidak boleh macam-macam, partai yang mendukung tidak boleh
meminta balas budi, dan semua kuasa hanya ada pada presiden terpilih.
Situasi
itulah yang kini sedang dihadapi oleh PDIP dan Jokowi. Itulah realitas
politik yang sedang bergolak di dalam. Pencitraan bahwa calon-calon menteri
sedang digodok dengan mekanisme keikutsertaan publik dalam mengusulkan
nama-nama adalah sebuah proses yang bisa menjadi antiklimaks. Proses
penyusunan struktur kabinet yang dikemukakan ke publik sebagai kabinet yang
profesional, ramping, dan minim orang partai, dapat saja mengangkat nama
presiden terpilih. Tetapi sebaliknya apabila bertentangan dengan susunan
nama-nama kabinetnya, justru akan memunculkan kekecewaan politik dan awal
ketidakpercayaan terhadap presiden terpilih.
Komunikasi
yang mulai gencar dilakukan oleh PDIP dan sejumlah pihak pendukung presiden
terpilih memperlihatkan pula bahwa mereka merasa “tidak aman”. Kekuatan
oposisi yang berasal dari barisan Merah Putih Prabowo yang terdiri atas PAN,
PPP, Golkar, PKS, dan Gerinda, jika benar akan permanen dan tak ada yang
membelot adalah sebuah buldoser oposisi dengan penguasaan 52,14%. Sebuah
kekuatan oposisi yang bukan saja akan mengancam, melainkan justru dapat
menimbulkan “huru-hara” politik di parlemen. Oleh karena itu, wacana koalisi
tanpa syarat, tidak ada bagi-bagi jabatan dapat disebut sebuah pepesan kosong,
sesuatu yang mustahil terjadi.
Apa
maknanya? Kontestasi koalisi pascakeputusan MK adalah sebuah proses koalisi
yang sedang dibangun oleh presiden terpilih untuk mengamankan dukungan
politiknya di parlemen. Dalam suasana politik Indonesia saat ini, adakah
koalisi yang ikhlas, koalisi tanpa imbal jasa? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar