Pentingnya
Power Sharing
Ardi Winangun ;
Pengamat Politik
|
OKEZONENEWS,
22 Agustus 2014
Pemenang Pemilu Presiden, Jokowi, sudah ancang-ancang membentuk
susunan para pembantunya, menteri. Untuk mencari siapa orang yang cocok dan
layak membantu Jokowi, pria asal Solo, Jawa Tengah, itu membentuk Tim
Transisi. Kepada orang-orang yang berada di tim itulah, Jokowi meminta
masukan dan saran.
Sebagai orang yang berpikiran sederhana namun Jokowi mempunyai
pendirian yang idealis. Jauh-jauh hari sebelum Pemilu Presiden dilakukan, ia
berkoar-koar bahwa koalisi yang dibangun adalah koalisi tanpa syarat. Jadi
tak ada syarat bila partai politik hendak berhimpun untuk mendukung dirinya
dalam Pemilu Presiden. Bila ada partai politik yang menyodorkan berapa
menteri yang diiinginkan, sebagai syarat dukungan, pastinya tawaran itu akan
ditolak. Dengan prinsip itu, maka banyak partai politik yang enggan melabuh
kepadanya.
Syarat yang demikian, oleh Jokowi akan diperketat dengan
‘aturan’ bahwa menteri yang kelak masuk dalam kabinetnya tidak boleh
merangkap jabatan sebagai strategis di partai politik. Jadi kelak tidak tidak
ada menteri yang sekaligus ketua umum, sekretaris umum, atau jabatan penting
lain di partai politik.
Apa yang diinginkan dan diharapkan Jokowi itu bagus. Dengan
demikian para menteri akan serius mengurus bidangnya tanpa dibebani oleh
urusan-urusan lain. Seperti di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, banyak
menteri yang merangkap sebagai ketua umum dan pengurus penting lain di partai
politik sehingga selain mengganggu kinerja juga menjadikan kementerian itu
menjadi sapi perahan untuk mendanai kegiatan dan aktivitas partai politiknya.
Akibat yang demikian beberapa menteri tersandung masalah korupsi.
Namun benarkah Jokowi akan seidealis itu? Kalau kita lihat,
Jokowi adalah Walikota Solo yang sukses. Berkat blusukan dan gaya
kepemimpinannya di kota itu, dirinya mendadak popular hingga menarik banyak
orang atas dirinya. Kepopularannya itu membuat dirinya melesat menjadi
Gubernur Jakarta hingga akhirnya menang dalam Pemilu Presiden versi KPU.
Tetapi kalau kita cermati dengan saksama, pengalaman Jokowi
dalam masalah urusan pemerintahan dan politik masih dalam lingkup yang sempit
atau belum banyak pengalaman sehingga kadang-kadang ia menggampangkan masalah
dengan pengalaman dan idealismenya itu. Lihat saja ketika ia berkampanye di
Pemilukada Jakarta yang lalu, dalam soal banjir ia mengatakan, problem macet
dan banjir di Jakarta kelihatannya nggak sulit-sulit amat untuk diatasi.
Bila ia mengatakan hal demikian tentu masalah banjir dan macet
bisa terurai saat ini namun buktinya Jakarta tetap banjir dan macet hingga
saat ini. Jokowi mengatakan demikian karena ia mempunyai pengalaman saat memimpin
Kota Solo, tapi masalahnya Solo kan bukan Jakarta.
Dengan modal pengalaman dalam lingkup kecil untuk menyelesaikan
masalah yang lebih besar tentu hal demikian tidak akan bisa mengatasi
masalah. Meski demikian Jokowi tetap pede dan idealisme. Bila ia masih pede
serta idealisme tetapi dalam realitasnya tidak sesuai dengan hal yang
demikian maka akan ada respons sebaliknya dari masyarakat.
Dalam menyusun kabinet para menteri, sepertinya Jokowi masih
menggunakan pengalaman di Solo dan Jakarta. Bila demikian pasti akan
menimbulkan masalah bagi partai politik pendukungnya. Sebagai partai politik
pendukung tentu PDIP, Nasdem, PKB, Hanura, dan PKPI ingin mendapat jatah yang
layak dan adil dalam bagi-bagi kekuasaan. Hal itu wajar sebab mereka sudah
bersusah payah dan mengorbankan seluruh kekuatannya untuk memenangkan Jokowi.
Selain itu bagi-bagi kekuasaan dalam politik adalah hal yang wajar dan bukan
suatu hal yang tabu, aib, atau memalukan.
Wajar bila PKB ingin mendapat jatah Menteri Agama sebab PKB
memiliki sumber daya manusia untuk mengurusi masalah itu, sudah berpengalaman
dalam soal agama dan masalah-masalah yang ada. Wajar juga PKB meminta jatah
menteri karena ia sudah bekerja keras untuk Jokowi. Jadi PKB layak mendapat
kue kekuasaan.
Bila permintaan PKB itu ditanggapi Jokowi dengan santai atau
bahkan tidak menggubris tentu hal demikian akan membawa masalah ke depan bagi
kelanggengan kekuasaannya.
Jokowi tidak tanggap dalam menanggapi aspirasi partai politik
pendukungnya bisa jadi seperti alasan di atas bahwa ia terlalu pede,
idealisme, dan pengalaman yang kurang dalam politik dan masalah-masalah yang
lebih besar yang dihadapi. Sifat-sifat yang demikian membuat ia
menggampangkan masalah.
Agar koalisi pendukung Jokowi tidak pecah maka Tim Transisi atau
orang-orang di sekitar Jokowi harus bisa menjadi ‘guru’ dan ‘penasehat,’ agar
Jokowi lebih aspiratif dalam soal menteri. Susilo Bambang Yudhoyono yang
sudah akomodatif terhadap partai politik yang mendukungnya dengan memasukan
ketua umum partai menjadi menteri saja masih digoyang-goyang oleh DPR,
apalagi kalau tidak mengakomodir mereka.
Kabinet Ahli yang diinginkan Jokowi itu bagus namun kondisi demikian
bisa terjadi bila kekuasaan itu otoriter. Jaman Presiden Soeharto, para
menterinya adalah orang-orang yang ahli sebab kursi di DPR dikuasai penuh,
lembaga negara lain dikendalikan, dan press ditutup kebebasaannya.
Jokowi membentuk kabinet ahli murni 100 persen adalah sebuah
mimpi dan angan-angan idealisme saja. Untuk itu Jokowi penting mengakomodir
kekuatan partai politik dalam kekuasaannya. Banyak orang yang pintar dan ahli
dari partai politik. Dan dengan adanya bagi-bagi kekuasaan maka stabilitas politik
lebih terjaga. Untuk itu Jokowi harus lebih luwes dalam soal para menteri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar