Mengamputasi
Mandat Politik
Umbu TW Pariangu ; Dosen Fisipol, Undana, Kupang
|
MEDIA
INDONESIA, 29 Agustus 2014
MESKIPUN anggota
legislatif 2014-2019 baru dilantik pada 1 Oktober 2014, mereka mulai
mengiming-imingi kursi panas pimpinan DPR. Manuver dan komunikasi politik
dilakukan melalui lobi-lobi intensif pengajuan nama kader partai ke
fraksi-fraksi lain.
Harus diakui, ketua
DPR masih menjadi posisi yang sangat strategis sebagai cerminan gengsi
politik partai dalam mewadahi aspirasi dan mandat publik. Dialah yang secara
simbolis mewakili DPR dalam berinteraksi dengan lembaga eksekutif,
lembaga-lembaga tinggi negara lain, dan lembaga-lembaga internasional,
termasuk memimpin jalannya administratif kelembagaan, rapat-rapat paripurna
serta menetapkan sanksi atau rehabilitasi.
Di tengah ekspektasi
publik yang besar terhadap perbaikan performa DPR, peranan ketua tentu saja
turut menentukan apakah perubahan kinerja dan etika dan moralitas lembaga
bisa terwujud sepanjang lima tahun ke depan atau sebaliknya terus
mereproduksi kekecewaan demi kekecewaan. Dan mestinya, dalam semangat itulah
kita membaca dinamika persaingan di Senayan.
Pascakeputusan
Mahkamah Konstitusi 21 Agustus kemarin, rupanya pendulum politik Senayan
mulai berubah. Semulanya sesuai kesepakatan di internal Koalisi Merah Putih,
ketua MPR akan menjadi milik Demokrat, sedangkan ketua DPR menjadi milik
Golkar. Namun belakangan, bursa pencalonan ketua DPR RI jadi rebutan banyak partai.
Selain Golkar yang telah menyiapkan sejumlah nama seperti Setya Novanto
(Bendahara Umum Golkar), Ade Komaruddin (Ketua DPP Golkar), dari Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), muncul nama Hasrul Azwar (Ketua Fraksi PPP yang
juga Waketum PPP), Romahurmuziy (Sekjen PPP), Irgan Chairul Mahfiz, dan
Dimyati Natakusumah.
Di Partai Amanat
Nasional (PAN) dua nama yakni Zulkifli Hasan (Menteri Kehutanan), Taufik
Kurniawan (Sekjen PAN) merupakan calon kuat yang digadang-gadang sebagai
Ketua DPR, sedangkan Di PKS, terdapat dua kader senior yang menjadi calon
kuat yakni Hidayat Nur Wahid dan Sohibul Iman. Dari partai Gerindra, nama
yang dianggap layak memimpin DPR yakni Fadli Zon (Waketum Gerindra) Ahmad
Muzani (Sekjen Gerindra), sedangkan Partai Demokrat sejauh ini masih menunggu
arahan dari Ketua Umum-nya, Susilo Bambang Yudhoyono.
Durian runtuh
Awalnya dua partai
yang alot mengincar kursi Ketua DPR adalah Golkar dan PDIP.PDIP telah solid
menyiapkan kadernya, Puan Maharani, mewakili partai peraih 109 kursi DPR hasil
pemilu sebagai calon ketua. Namun disahkannya UU 17/2014 tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD (MD3), 8 Juli 2014, seperti membuyarkan konstelasi dimaksud.
Menurut UU tersebut,
pimpinan DPR ditetapkan melalui mekanisme pemilihan secara demokratis atau
dipilih oleh seluruh fraksi. Berbeda dengan ketentuan sebelumnya dalam UU
27/2009 tentang MD3 bahwa ketua DPR berasal dari fraksi dengan kepemilikan
kursi terbanyak di DPR.Dengan demikian Pimpinan DPR tidak lagi otomatis
berasal dari partai politik peraih kursi terbanyak, melainkan dipilih
langsung oleh seluruh anggota DPR secara paket melalui sidang
paripurna.Akibatnya, ruang kontestasi memperebutkan Ketua DPR kini kian
melebar dan menjadi domain semua partai di Senayan.
Ibarat politik aji
mumpung, demi menyambut peluang politik karena ketiban `durian runtuh'
regulasi tersebut, semua elite Senayan pun berlomba-lomba menjustifikasi
langkah politiknya dengan alibi kesetaraan hak politik dan ikhtiar
memperjuangkan mandat rakyat. Namun, mereka lupa bahwa mandat rakyat bagi
wakilnya di parlemen bukanlah tanpa syarat dan berada di ruang hampa.
Setidaknya mandat yang diserahkan rakyat tersebut haruslah menjamin suatu
imperasi kolektif bagi wakil-wakilnya di DPR untuk menginternalisasikan
budaya politik baru yang kongruen dengan prinsip-prinsip demokrasi (Larry Diamond, 1999).
Budaya politik baru
tersebut antara lain berupa pemeliharaan standar etis dan moral berlembaga,
memberikan ruang apresiasi terhadap tradisi lembaga dan kesepakatan bersama
serta menegasi berbagai intensi syahwat kekuasaan yang dapat mengganggu
efektivitas terwujudnya keberhasilan agenda-agenda kelembagaan (DPR).
Berubahnya mekanisme
pemilihan ketua DPR di atas secara lokus (tempat) dan tempus (waktu) justru
dapat dianggap sebagai upaya mengamputasi budaya sekaligus mandat politik di
kalangan elite karena lebih menonjolkan semangat politik parokialistik
daripada menaati prosedur kelembagaan yang sudah disepakati sebelumnya.
Semangat ini
menunjukkan pula kian matangnya tirani mayoritas oleh para elite kunci partai
untuk memonopoli kursi dan lahan politik di internal koalisi sebagai
implikasi lanjutan dari sentimen negatif game
politik pileg dan pilpres kemarin. Kemungkinan, hasrat ini juga yang akan
memfasilitasi penguasaan posisi alat kelengkapan dewan lainnya seperti
perebutan ketua/subkomisi `basah', Banggar dan lain sebagainya yang merupakan
lahan empuk praktik transaksi dan korup.
Benturan loyalitas
Jika pun muncul alasan,
perubahan mekanisme pemilihan ketua DPR ditempuh demi melahirkan suatu
kepemimpinan lembaga yang representatif dan berkualitas, hal tersebut pun
sebetulnya terkesan absurd karena telanjur dimulai dengan semangat awal yang
salah. Kendatipun semangat tak bisa diuji untuk menandai sebuah determinasi
sikap politik, namun ia setidaknya bisa dilihat dan direfleksikan dari
bagaimana ruang-ruang politik disegregasi dan dikapitalisasi dalam rangka
membungkus agendaagenda tertentu.
Merujuk pada pemikiran
WF Werthein (1956) niat politik yang deviatif atau salah (pada diri seorang
wakil rakyat) selalu berpotensi melahirkan pemaknaan tugas dan posisi
berdasarkan prinsip loyalitas ganda yakni antara loyal terhadap kepentingan
diri/partai atau loyal terhadap kepentingan rakyat. Benturan loyalitas
seperti ini kerap mengorbankan loyalitas kepada kepentingan rakyat sebagai
pemilik mandat karena tarikan tekanan politik partai yang kuat.
Lebih kuatnya
orientasi pembentukan pansus kecurangan pilpres di Senayan daripada menyelesaikan
target program legislasi nasional yang selalu keteteran mengisyaratkan kian
terbelahnya loyalitas para legislator di tengah naluri berkuasa yang kian
inflatif.
Inilah momentum bagi
rakyat untuk melakukan pendobrakan radikal dengan mengawal setiap kinerja dan
seluk beluk perilaku wakilnya di parlemen. Lewat jaringan sosial media yang
ada, rakyat harus bisa memobilisasi gerakan kritisnya dengan mempersempit
ruang manuver liar para wakilnya yang tengah mencoba menjauh dari agenda dan
perjuangan populisme kerakyatan. Sikap apatis dan pasif (hibernation) publik akan ikut membuat fasad DPR kian kehilangan
wibawanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar