Konspirasi
Melawan Konstitusi
Wiwin Suwandi ; Pengamat Hukum Tata Negara
Universitas Hasanuddin (Unhas), Peneliti Pusat Kajian Konstitusi Unhas
|
MEDIA
INDONESIA, 28 Agustus 2014
ANCAMAN terbesar
negara demokrasi pascaotoritarianisme ialah kembalinya dominasi salah satu
organ/lembaga negara. Oleh karena itu, amendemen UUD 1945 mendesain pemisahan
antara cabang kekuasaan negara dan menempatkan lembaga negara secara setara.
Sejak dicetuskan
berabad lampau, teori pemisahan kekuasaan (separation of power) bertujuan menghadirkan konsep saling kontrol
dan menyeimbangi di antara tiga organ utama negara; eksekutif, legislatif,
dan yudikatif. Konsep itu menghalangi munculnya supremasi organ di salah
satunya. Separation of power
sendiri muncul sebagai kritik atas tirani monarki di Eropa saat itu.
Separation of power memisahkan secara tegas mana wilayah
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Antara satu organ tidak mencampuri
urusan organ lainnya karena masing-masing memiliki `trah' keberadaannya.
Legislatif merancang dan membentuk UU, eksekutif menjalankan UU itu, dan
yudikatif yang akan mengadili atas pelanggaran terhadap UU itu. Dalam konsep
negara hukum (nomokrasi), konstitusi adalah hukum tertinggi yang dipegang
oleh lembaga yudikatif.
Membangkang
Tampaknya, prinsip itu
yang tidak dipahami parpol dalam barisan Koalisi Merah Putih di DPR tatkala
menggulirkan wacana pembentukan pansus pilpres pascaputusan Mahkamah
Konstitusi (MK) yang tetap menguatkan penetapan KPU terhadap hasil Pilpres
2014. Sekalipun berlindung di balik alasan konstitusional--terkait fungsi
pengawasan--, sulit menghilangkan kesan jika pembentukan pansus itu hanya
pelampiasan syahwat politik DPR yang tidak puas dengan putusan MK. Pansus
semata sebagai skenario politik untuk `melawan' putusan MK. Bahkan, lebih
jauh lagi jika tujuannya ingin memakzulkan presiden terpilih.
Menjadi penting untuk
ditanyakan, apa alasan konstitusional membentuk pansus pilpres pascaputusan
MK?
Tulisan ini mencoba
menjawab itu dalam perspektif akademis. Pertama, DPR memang berwenang
membentuk pansus, tetapi pansus bukanlah alat kelengkapan DPR. Pansus hanya
dibentuk berdasarkan kejadian atau kondisi khusus kenegaraan, misalnya Pansus
Pertamina yang dibentuk pada 2005 lalu untuk menyelidiki skandal penjualan
kapal tanker Pertamina. Meski pembentukan pansus ini `salah alamat' mengingat
masih ada kewenangan konstitusional DPR lainnya yang bisa digunakan, misal
hak angket, pansus sah secara konstitusional jika diperkuat dengan alasan
yang juga memenuhi syarat konstitusional. Posisi pansus sebetulnya lemah
secara konstitusional karena hanya bergantung pada kepentingan pragmatis
parpol di DPR, tidak sekuat hak angket, interpelasi, dan menyatakan pendapat
yang memang diatur secara konstitusional sebagai hak yang melekat pada
anggota DPR.
Masalahnya hingga saat
ini belum ada rujukan pendapat yang sahih tentang syarat konstitusional
dibentuknya pansus, karena semua sadar jika pansus adalah ranah subjektif dan
kewenangan politik DPR. Berbeda halnya dengan tafsir `situasi genting dan
memaksa' sebagai syarat keluarnya perppu yang syarat konstitusionalnya telah
diatur MK dalam putusannya.Pansus belum memiliki pijakan konstitusional yang
kuat sehingga rentan menjadi komoditas kepentingan bagi sejumlah parpol di
DPR yang berseberangan.
Kedua, apa urgensi
membentuk pansus pilpres jika alasannya hanya ingin membongkar kecurangan
pilpres dan menegakkan keadilan substantif? Dalam teori negara hukum,
keadilan substantif itu diwujudkan dalam putusan pengadilan. Itulah alat sah
untuk mengukur keadilan, meski disadari ada yang merasa tidak adil akibat
putusan itu. Tapi sebagaimana yang diungkap Aristoteles bahwa `keadilan
adalah ketidakadilan itu sendiri'. Jadi jangan terjebak dan menjebak diri
pada tafsir sempit keadilan, seakan-akan keadilan itu hanya milik satu
kelompok saja.
Lagi pula bukankah
putusan MK telah mementahkan tuduhan kecurangan itu? Kita berdebat dalam
konteks negara hukum, dan hukum sudah berbicara-melalui MK- yang memutuskan
bahwa tidak terjadi kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan
masif dalam pilpres. Jadi untuk apa lagi mempertanyakan sesuatu yang sudah
jelas?
Ketiga, parpol Koalisi
Merah Putih di DPR telah `menjebak' dirinya sendiri dalam tuduhan `konspirasi
melawan konstitusi' tatkala kembali mempersoalkan penetapan hasil pilpres
oleh KPU melalui pembentukan pansus. Ketika kita menyepakati konstitusi
sebagai hukum tertinggi, kita tunduk pada konstitusi. MK sebagai lembaga
pengawal konstitusi telah mengeluarkan putusannya. Melawan putusan MK sama
dengan melawan konstitusi.
Keempat, jika
tujuannya ingin memakzulkan presiden terpilih melalui jalur politik (pansus),
Koalisi Merah Putih salah alamat. Pemakzulan tidak seperti zaman Presiden
Abdurrahman Wahid yang dengan mudah dimakzulkan. UUD 1945 pascaamendemen
sudah membatasi kekuasaan DPR da kekuasaan DPR dalam memakzulkan presiden.
Ada mekanisme konstitusional mela lui MK, serta prosesnya panjang dan
berliku.
Kelima, jika memang
tujuannya untuk memakzulkan presiden terpilih, parpol Koalisi Merah Putih
telah mengkhianati konstituennya.
Evaluasi
Hendaknya parpol yang
tergabung dalam Koalisi Merah Putih secara bijak dan cerdas mengevaluasi diri
atas kegagalan mereka dalam pertarungan pilpres. Hitunghitungan di atas
kertas sebetulnya berpihak pada pa sangan Prabowo-Hatta jika dinilai dari
jumlah perolehan suara pada pileg lalu. Namun, faktanya tidak demikian.
Preferensi pemilih pada pilpres tidak sama dengan pileg. Dalam pilpres,
rakyat melihat figur, bukan partai.
Saya mengusulkan
sebuah solusi yang bijak. Pertama, partai yang tergabung dalam Koalisi Merah
Putih lebih baik mendorong evaluasi atas UU politik; UU Parpol, UU MD3, UU
Pileg, UU Pilpres, dan UU Penyelenggara Pemilu. Biang masalah pemilu yang berujung
pada sengketa pilpres yang hanya mengulang cerita (masalah) yang sudah-sudah
adalah akibat tidak terkonsolidasinya UU Politik yang sebetulnya terhubung
satu sama lain. Masih banyak permasalahan seputar pemilu yang harus
dievaluasi, baik sistem maupun perangkatnya.
Apalagi MK sudah
memutus bahwa pemilu akan dilaksanakan secara serentak pada Pemilu 2019 dan
pemilu setelahnya. Putusan itu `memerintahkan' DPR untuk segera mengevaluasi
dan menyusun regulasi di bidang UU Politik. Banyak gagasan untuk mendorong
itu. Misalnya dengan menyusun `kodifikasi UU Pemilu' seperti yang diwacanakan
oleh Saldi Isra dan Didik Supriyanto. Kodifikasi ini memuat seluruh instrumen
atau UU yang berkaitan dengan pemilu, agar tercipta harmonisasi sistem
pemilu.
Kedua, dari pada terus
menerus mengutuk keadaan, lebih baik partai yang tergabung dalam Koalisi
Merah Putih memantapkan dirinya sebagai oposisi. Oposisi tidak akan
merendahkan derajat partai, bahkan akan menjadi lebih terhormat karena akan
menyeimbangkan demokrasi di parlemen. Kita memang bukan demokrasi
parlementer, tetapi bukan berarti oposisi haram. Dalam sistem presidensial
pun oposisi diperlukan untuk mengawasi program-program pemerintah agar tepat
sasaran. Dengan menjadi oposisi, ada konsistensi ideologi perjuangan yang
dibentuk dan dikawal. Siapa sangka, dengan menjadi oposisi, nasib akan
berubah pada 2019 nanti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar