Kemenangan
Koalisi Rakyat
Amich Alhumami ;
Antropolog; Peneliti Senior Lembaga Studi dan Pengembangan
Etika Usaha (LSPEU) Indonesia, Jakarta
|
KOMPAS,
04 Agustus 2014
Presiden terpilih Joko Widodo
adalah sosok yang sangat fenomenal. Dikenal sebagai Jokowi, ia bak meteor di
jagat politik Indonesia dengan daya pikat kuat. Bermula dari Wali Kota Solo,
Jokowi kemudian didorong oleh banyak kalangan untuk bertarung di tingkat
lebih tinggi dan berhasil menjadi Gubernur DKI Jakarta. Belum genap dua tahun
mengelola Ibu Kota, ia kembali didaulat rakyat mengikuti kontestasi presiden.
Sungguh menakjubkan, melalui
pertarungan sengit yang diwarnai serangan kampanye hitam dan fitnah, pasangan
Joko Widodo-Jusuf Kalla berhasil mengungguli pasangan Prabowo Subianto-Hatta
Rajasa. Kemenangan Jokowi-JK adalah kemenangan koalisi rakyat melawan koalisi
elite despotik. Rakyat telah menunjukkan kedaulatan dan membuat keputusan
berdasarkan nurani dan akal sehat.
Karakteristik
Fenomena Jokowi adalah
representasi politik kewargaan. Jokowi tampil merespons aspirasi publik.
Politik kewargaan memang didasarkan pada panggilan pengabdian kepada rakyat,
bukan didorong oleh hasrat, ambisi, dan obsesi untuk mengejar kekuasaan.
Politik kewargaan berciri pelibatan, partisipasi, ikatan emosi,
simpati-empati, rasa cinta, kerelaan, dan semangat gotong royong.
Karakteristik politik kewargaan
terlihat nyata melalui kehadiran relawan yang masif dan tersebar luas di
seluruh Nusantara. Mereka membentuk perkumpulan di tingkat akar rumput tanpa
sekat primordial: agama, suku, ras, dan daerah. Mereka membangun aliansi
politik kerakyatan yang berbasis pada rasa saling percaya sesama warga.
Kepercayaan memang elemen kunci
pembentukan berbagai perkumpulan dan asosiasi kewargaan, seperti dilukiskan
oleh Jean Cohen dalam Trust, Voluntary
Association and Workable Democracy (2001): ”trust is necessary for social integration, for civic engagement, and
for vibrant democratic institutions and that it is generated in voluntary
associations.”
Di Indonesia, ini merupakan
gejala baru yang dalam tradisi politik modern disebut cross-cutting political association based on civic trust. Mereka
bersedia melepas seluruh atribut primordial dan afiliasi kultural yang
berbeda-beda dan suka rela membentuk perkumpulan dengan misi kolektif:
memenangkan Jokowi-JK!
Perkumpulan relawan tersebar
bukan hanya di kota besar, melainkan juga di kampung dan desa. Publik
menyaksikan, perkumpulan para relawan itu bertebaran di seluruh pelosok Tanah
Air.
Kehadiran mereka bersifat
spontan, sporadis, nirkomando, dan tanpa dimobilisasi partai. Bahkan, mereka
sama sekali bukan politisi, aktivis politik, atau anggota partai. Inilah
hakikat politik kewargaan, ketika masyarakat merasa bertanggung jawab dan
bersedia berpartisipasi dalam proses politik kenegaraan.
Dalam kajian ilmu politik,
perkumpulan relawan ini merupakan penjelmaan civic democratic political participation. Gabriel Almond &
Sidney Verba dalam The Civic Culture:
Political Attitudes and Democracy (1989) mengidentifikasi ciri-ciri
demokrasi politik berbasis civic
culture, antara lain, (i) berorientasi pada penguatan sistem politik,
(ii) keterlibatan emosional dalam pemilu, (iii) kerja sama kewargaan dan
kepercayaan, (iv) partisipasi aktif dalam pengelolaan pemerintahan dan
perkumpulan kewargaan, (v) punya kemampuan dan bebas bicara isu-isu politik,
dan (vi) toleran terhadap keberagaman dan kekuatan oposisi.
Dukungan
Sifat voluntirisme juga
terlihat dalam bentuk sumbangan dana untuk Jokowi-JK. Para penyumbang bukan
hanya pengusaha besar dan kalangan berpunya, melainkan juga tukang cuci,
buruh pabrik, tukang ojek, penarik becak, dan penyapu jalan. Sampai masa
kampanye berakhir, nilai kumulatif sumbangan Rp 147 miliar. Sungguh, hanya
compassion—gabungan rasa sayang, simpati, empati—yang mampu menggerakkan
masyarakat dari segala lapisan demi pemimpin yang mereka yakini dapat
mengemban amanat rakyat.
Dukungan kepada Jokowi-JK
menembus batas-batas stratifikasi sosial, dari bawah sampai atas. Elite
beragam latar belakang, ulama dan pemuka agama lintas iman, tokoh adat dan
pemuka suku-bangsa, artis dan musisi beraneka genre, seniman dan budayawan,
pebisnis besar-menengah-kecil dan karyawan, pemulung dan pedagang asongan.
Pendek kata, gabungan golongan elite dan kaum alit.
Sosok Jokowi menjadi simpul
pengikat dan pemersatu keberagaman masyarakat. Aspirasi sosial-politik yang
beraneka dari seluruh lapisan masyarakat itu terhubung melalui gagasan
genuine-universal: Revolusi Mental.
Sungguh, rakyat sangat letih
menyaksikan kondisi bangsa yang karut-marut dan problem akut yang tak kunjung
rampung. Birokrat bermental kolutif-koruptif; parpol, politisi, dan elite
politik despotik yang arogan; hukum dan keadilan yang terus ditelikung; dan korupsi
kian merajalela, sudah melampaui batas toleransi rakyat.
Apalagi, suara-suara
kebajikan yang dikumandangkan para tokoh bangsa, sang penjaga moral,
tenggelam dalam gemuruh persekongkolan jahat para kleptokrat.
Dalam penantian panjang, rakyat
menunggu hadirnya sosok pemimpin bersahaja. Dalam keputusasaan selama 16
tahun pascareformasi, muncul Jokowi dari arah yang sama sekali tak terduga—out of the blue. Pada Jokowi, rakyat
menemukan sosok yang diimpikan dan kepada siapa mereka dapat mengidentifikasi
diri. Dalam ungkapan populer, Jokowi is
a person among the commoners. Jokowi-JK adalah kita.
Rakyat berhasil
mengidentifikasi diri kepada sosok Jokowi, dan Jokowi pun melebur diri
menjadi bagian dari mereka. Proses penyatuan Jokowi-rakyat mengalami
kristalisasi dalam dua momen penting: jalan sehat yang berakhir di Monas
(22/6) dan konser musik Salam 2 Jari di Gelora Bung Karno (5/7).
Bersama pemimpin baru yang
jujur, sederhana, dan merakyat, rakyat ingin membuka lembaran sejarah baru
dengan memutus mata rantai politik despotik, sumber penderitaan dan
kesengsaraan rakyat. Selamat datang
presiden baru: Joko Widodo! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar