Kabinet
Jokowi
Ahmad Syafi’I Maarif ; Mantan Ketua Umum PP
Muhammadiyah
|
KOMPAS,
04 Agustus 2014
SEKALIPUN pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih masih
menanti sampai 20 Oktober 2014, tentunya persiapan pembentukan kabinet baru
sudah dalam proses. Pertama kali sepanjang sejarah Indonesia sejak
proklamasi, publik diminta memberi masukan dan usul untuk anggota-anggota
kabinet yang sedang dirancang itu. Sesuai janji-janji kampanye pasangan Joko
Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) sebagai presiden-wapres terpilih, maka
kabinet yang akan datang mestilah profesional dan punya integritas moral.
Saya pun menambahkan: punya potensi menjadi negarawan.
Panggung akrobat politik
Tentu tidak tertutup kemungkinan para menteri itu berasal dari
partai. Akan tetapi, harus memenuhi tiga kategori tadi agar kepentingan
bangsa dan negara lebih diutamakan di atas semua kepentingan yang lain.
Indonesia tercinta ini sudah terlalu lama dijadikan panggung akrobat politik
oleh para politisi tuna-integritas moral dengan menjadikan negara sebagai
sapi perahan. Jokowi-JK pasti telah menyadari semua borok politik ini untuk
tidak dibiarkan berlarut. Di era Demokrasi Liberal (1950-1959) pernah
dibentuk kabinet-kabinet profesional, tetapi usianya tidak pernah lama karena
selalu dibunuh oleh sengketa politik para elite yang mengabaikan kepentingan yang lebih besar.
Akibatnya, banyak keputusan politik penting tidak ditentukan
oleh sidang kabinet, tetapi oleh agenda partai-partai koalisi untuk tujuan
jangka pendek.
Di era Demokrasi Terpimpin (1959-1966), di bawah sistem
kekuasaan tunggal, pembangunan nasional tidak berjalan sama sekali. Semuanya
serba bercorak mercusuar. Politik luar negeri yang bebas aktif dikorbankan
karena negara terseret oleh suasana Perang Dingin antara blok kapitalis dan
blok komunis.
Oleh berbagai pertimbangan yang belum tentu rasional dan
obyektif, posisi Indonesia berada dalam tarikan kiri, sampai sistem yang
diujicobakan itu menggali kuburnya sendiri karena gagal melawan inflasi yang
sangat parah untuk kemudian digantikan rezim Orde Baru (1966-1998).
Jika di era Demokrasi Liberal peran partai dalam proses
pembentukan kabinet sangatlah besar, di era Demokrasi Terpimpin peran partai
dihabisi sama sekali, kecuali PKI yang memang diberi angin segar. Tumbangnya
Demokrasi Terpimpin pada 1966 telah menyeret PKI untuk berkubur bersama-sama,
sesuatu yang tak terbayangkan ketika partai ini terasa begitu mendominasi
panggung politik nasional selama era itu. Partai-partai lain ketika itu
hanyalah bisa gigit jari atau menari menurut irama genderang yang ditabuh
pihak lain.
Di era Orde Baru, peran militer begitu dahsyat, tetapi harus
tunduk kepada pemimpin tunggal tertinggi, sampai pemimpin itu kehabisan
stamina untuk berkuasa lebih lama. Diterpa oleh krisis moneter Asia Timur
pada 1997/1998, fundamental ekonomi Indonesia yang semula demikian dipuji
oleh Bank Dunia dan IMF ternyata rapuh sekali. Rezim Orde Baru gagal
menghadapi desakan IMF untuk menalangi bank-bank swasta yang bangkrut, yang
berujung pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp 650
triliun, yang sampai hari ini tetap saja belum teratasi, sementara bank-bank
yang dibantu telah berkibar kembali.
Lagi-lagi negara di era Reformasi tak berdaya mengatasi masalah
gawat ini. Saya pun ragu, apakah kabinet Jokowi-JK akan bisa berbuat banyak
dalam tempo lima tahun mendatang, karena beratnya persoalan bangsa dan negara
yang serba terbengkalai.
Memberi harapan
Lambannya proses reformasi birokrasi selama ini akan jadi
kendala utama bagi kabinet Jokowi-JK untuk tancap gas, demi mewujudkan
semboyan: makin cepat makin baik. Perkara kemungkinan rintangan di parlemen,
menurut hemat saya, akan bisa diatur. JK sebagai wakil presiden sangat piawai
dalam masalah ini.
Belum lagi masalah Bank Century dengan talangan dana Rp 7
triliun lebih masih saja diperdebatkan di antara berbagai pihak. Baik BLBI
maupun Century je- las-jelas telah mengemplang pundi-pundi negara di tengah
lautan kemiskinan rakyat yang belum tertanggulangi secara baik dan efektif.
Sekiranya Jokowi-JK berhasil membangun landasan pemerintahan yang kuat-kokoh
selama masa kerjanya nanti, tentu akan memudahkan pemerintah-pemerintah
selanjutnya menjadikan Indonesia sebuah bangsa dan negara yang adil,
bermartabat, dan dihormati dunia. Niat baik kedua tokoh itu memberikan
harapan kepada kita untuk tidak pesimistis.
Nah, untuk susunan kabinet—apa pun namanya nanti—perlu benar
dipertimbangkan tiga kriteria di atas. Stok calon menteri yang memenuhi
syarat itu tidak kurang jumlahnya di seluruh Nusantara. Jika perlu, melalui fit and proper test, sehingga mereka
yang terpilih benar-benar meyakinkan, di samping perlu pula menandatangani
fakta integritas.
Untuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, saya mengusulkan
agar dipecah menjadi dua: pertama untuk perguruan tinggi dan ristek
(riset-teknologi), kedua untuk kementerian yang mengurus SMA ke bawah. Khusus
untuk pemilihan rektor perguruan tinggi yang selama ini memberi hak 35 persen
suara kepada menteri harus segera ditiadakan karena itu merupakan penghinaan
kepada martabat perguruan tinggi. Adalah ironis sebuah perguruan tinggi masih
harus diajar berdemokrasi. Berilah perguruan tinggi hak penuh menentukan dan
menetapkan siapa yang akan memimpin lembaganya, menteri tidak perlu campur
tangan.
Akhirnya, kepada Jokowi-JK, saya ucapkan selamat untuk membentuk
sebuah kabinet Indonesia yang benar-benar pro rakyat kecil, dan carilah calon
menteri yang tidak partisan. Janji Jokowi-JK untuk tidak terlibat dalam
dagang sapi pembentukan kabinet semoga akan menjadi kenyataan dalam tempo
dekat ini. Bangsa ini sedang menunggu! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar