Jalan
Terjal Reformasi Birokrasi
Antonius Purwanto dan Topan
Yuniarto ; Wartawan dan
Litbang Kompas
|
KOMPAS,
27 Agustus 2014
REFORMASI
birokrasi telah dilakukan pasca Reformasi 1998. Namun, hingga kini hal
tersebut masih jauh dari harapan. Setidaknya terdapat lima persoalan mendasar
terkait reformasi birokrasi dan otonomi daerah. Persoalan tersebut meliputi
lemahnya pengawasan, tumpang-tindihnya regulasi, tidak sinkronnya koordinasi
pusat dan daerah, sumber daya birokrasi yang kurang kompetitif, dan
inefisiensi anggaran.
Persoalan
pengawasan merupakan masalah paling mendasar dalam pelaksanaan otonomi
daerah. Hal itu tampak dari minimnya pengawasan pusat ke daerah terhadap
implementasi produk hukum dan kebijakan reformasi birokrasi.
Praktik
lemahnya pengawasan antara lain penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan untuk
mendapatkan keuntungan pribadi ataupun golongan. Modus yang digunakan
beragam, mulai dari membuat perjalanan dinas fiktif hingga penggelembungan
dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Terjadi
pula nepotisme dan inefisiensi dalam penempatan posisi strategis di
lingkungan birokrasi. Penyebabnya, jumlah aparatur yang cenderung meningkat
selama lima tahun terakhir pasca banyaknya daerah yang dimekarkan. Kualitas
aparatur birokrasi di daerah masih sangat rendah meskipun data menunjukkan
peningkatan pendidikan. Tidak ada desain penempatan aparatur yang benar-benar
baik.
Di
bidang hukum, sejumlah regulasi membuka peluang terjadi ”kesemena-menaan”
dalam reformasi birokrasi.
Dalam
kasus pembentukan kecamatan di tingkat kabupaten atau kota, misalnya, sering
kali tidak sesuai kebutuhan.
Terjadi
kekurangan kuasa dari pemerintah pusat. Dalam suatu wilayah, misalnya, dengan
jumlah penduduk yang tidak terlalu besar, terdapat puluhan kecamatan yang
berimplikasi pada beratnya APBD untuk belanja pegawai.
Pilkada melemahkan
Peningkatan
latar belakang pendidikan formal sumber daya manusia aparatur tidak selalu
berjalan paralel dengan peningkatan produktivitas dan kinerja birokrasi.
Pelayanan kepada masyarakat relatif sama, tidak ada perubahan berarti. Hanya
daerah dengan kepala daerah yang inovatif atau menjadi kawasan tertentu yang
berpotensi berkembang.
Dicermati,
pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung dinilai belum berdampak
positif dengan tujuan reformasi birokrasi itu sendiri. Dalam banyak kasus,
pilkada hanya memperlemah kapasitas pemerintahan dan pembangunan di daerah.
Hal ini terjadi karena mekanisme pengembangan karier dan profesionalisme
aparatur sipil negara terhambat oleh sistem rekrutmen dan promosi berbasis
politik rente dalam politik lokal. Banyak posisi penting di birokrasi
pemerintahan tidak dilakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test).
Sistem
penempatan jabatan karier PNS, misalnya, dinilai masih cenderung mengutamakan
faktor kedekatan pribadi tanpa mempertimbangkan daftar urutan kepangkatan
(DUK), pendidikan, pengalaman, dan kompetensi. Bahkan, di beberapa kabupaten
atau kota sering terjadi bongkar pasang jabatan struktural dalam kurun waktu
yang singkat.
Dari
berbagai persoalan itu, alternatif solusi yang ditawarkan para narasumber
adalah manajemen instansi dan lembaga untuk membangun sistem pengendalian
yang andal, kewenangan antarlembaga pengawasan internal pemerintah perlu
lebih diperjelas dan dipertegas, serta mengoptimalkan fungsi audit internal
dalam manajemen pemerintahan pusat dan daerah.
Ketergantungan daerah
Seperti
halnya reformasi birokrasi, praktik otonomi daerah saat ini dinilai masih
jauh dari tujuan utamanya, yakni kesejahteraan masyarakat. Hal itu tecermin
dari melebarnya kesenjangan kesejahteraan, tingginya angka pengangguran
terbuka, dan kualitas pelayanan publik yang belum memenuhi harapan.
Salah
satu penyebabnya, kewenangan yang tumpang-tindih antar-institusi pemerintahan
dan aturan yang berlaku, baik antara aturan yang lebih tinggi maupun aturan
yang lebih rendah. Kewenangan itu meliputi wewenang mengatur publik,
penggunaan anggaran, dan pengangkatan sumber daya manusia. Aturan pemekaran
wilayah dipandang belum disesuaikan dengan potensi daerah yang dimekarkan
sehingga tidak efektif.
Delegasi
wewenang dari pemerintah pusat ke daerah juga masih memunculkan
ketergantungan daerah ke pusat dalam hal keuangan, khususnya daerah yang
mempunyai pendapatan asli daerah yang kecil. Di era otonomi daerah,
pemerintah banyak melimpahkan tanggung jawab ke daerah, tetapi tidak
dibarengi diskresi memadai.
Selain
ketergantungan keuangan, inefisiensi anggaran juga menjadi persoalan utama
pemerintahan mendatang.
Sejak
reformasi, anggaran belanja pegawai di daerah melonjak tinggi. Akibatnya,
alokasi yang langsung bisa menyentuh program kesejahteraan rakyat, seperti
pendidikan dan kesehatan serta upaya peningkatan ekonomi lokal, mendapatkan
porsi anggaran yang kecil.
Pembaruan birokrasi
Persoalan
lain, komitmen politik para elite yang kurang terlihat dalam keberpihakannya
kepada kepentingan rakyat. Sejauh ini, pelaksanaan otonomi daerah cenderung
menjadi ajang perebutan kue pembangunan di antara para elite daerah.
Kecenderungan tersebut juga terlihat dari fenomena munculnya daerah-daerah
otonom baru.
Daerah-daerah
pemekaran, seperti dikutip dari kajian Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional dan Badan Program Pembangunan PBB (UNDP), secara umum tidak berada
dalam kondisi awal yang lebih baik dibandingkan dengan daerah induk. Selama
lima tahun dimekarkan, ternyata kondisi daerah otonom baru secara umum masih
tetap berada di bawah kondisi daerah induk.
Beberapa
alternatif solusi atas beragam persoalan tersebut bisa dijalankan. Pertama,
perlu perbaikan perangkat hukum dan perundangan melalui revisi undang-undang
agar kriteria dan syarat daerah otonom baru lebih detail. Kedua, sinergi
antara pelaksanaan reformasi birokrasi dan pemekaran wilayah.
Kemudian,
perlu karakter birokrasi yang memberdayakan masyarakat tetapi komunikatif dan
transparan.
Keempat,
diperlukan adanya pengawasan pusat ke daerah terhadap produk hukum dan kepala
daerah yang tidak melaksanakan kebijakan reformasi birokrasi.
Terakhir,
perlu alokasi fiskal daerah untuk kepentingan publik dan mekanisme
pertanggungjawaban yang transparan serta akuntabel.
Semuanya
ini penting untuk mencegah korupsi, meningkatkan proporsi anggaran untuk
kepentingan publik, dan akhirnya mencapai kesejahteraan rakyat di daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar