Arsitektur
Baru Regulasi
Fadel Muhammad ; Ketua Asosiasi Sarjana dan
Praktisi Administrasi
|
KORAN
TEMPO, 26 Agustus 2014
Presiden periode 2014-2019 telah terpilih dan
ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi. Sebelumnya, dengan jelas kita dapat
melihat visi, misi, dan program kerja calon presiden yang baru tersebut.
Kemudian Lembaga Administrasi Negara (LAN) menawarkan arsitektur kabinet
baru. Sementara itu, kita belum mendapat gambaran apa yang akan dilakukan
oleh DPR sebagai lembaga legislatif lewat anggota atau lewat partai politik,
khususnya yang menyangkut regulasi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Sejak Reformasi, peranan lembaga legislatif
dan lembaga negara lainnya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia meningkat.
Namun setelah Reformasi berjalan 16 tahun, peranan lembaga legislatif (DPR)
belum maksimal dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Meskipun produk domestik
bruto (PDB) nasional Indonesia termasuk 20 besar negara di dunia, PDB per
kapita masih sekitar US$ 4.000. Masih jauh di bawah Malaysia, apalagi
Singapura. Indeks ini bahkan meningkat dari 0,33 pada 2001 menjadi 0,41 pada
2012. Industri dalam negeri khususnya pangan masih belum cukup kuat.
Indonesia masih bergantung pada impor.
Kinerja DPR di bidang legislasi belum
memuaskan, ukurannya adalah tidak tercapainya target program legislasi
nasional (prolegnas). Terdapat pertentangan antar-undang-undang, bahkan
dengan Undang-Undang Dasar. Akibatnya, banyak UU yang digugat ke Mahkamah
Konstitusi. Di samping itu, masih terdapat peraturan-perundang-undangan yang
perlu dievaluasi kembali agar tidak terjadi peraturan berlebihan yang
merugikan rakyat (red tape). Itu sebabnya kita perlu menerapkan sebuah
paradigma baru dalam penyusunan regulasi yang disebut better regulation.
Di negara demokrasi dunia, kini dikenal sebuah
konsep baru, yaitu better regulation, sebagai pengganti pendekatan
deregulation yang sangat liberal, yaitu memberi kebebasan kepada pasar dan
masyarakat untuk mengatur diri sendiri. Namun hasilnya banyak merugikan yang
lemah dan terpinggirkan. Pendekatan baru yang disebut sebagai better
regulation itu dinilai lebih proporsional dengan memberi peranan kepada
negara untuk melakukan intervensi secara terbatas dan terukur.
Lewat beberapa tulisan karya Robert Baldwin
(2004), Toward Better Regulation (Australian Institute of Company Directos -
2013), Better Regulation Frame Work Manual (Department for Business
Innovation and Skills -2013 ), dan lainnya, dapat diringkas beberapa prinsip
penting soal better regulation ini. (1) Proporsional, regulator melakukan
intervensi bila diperlukan, secara terukur dan terbatas; (2) akuntabel; (3)
konsisten, peraturan dan pelaksanaannya; (4) transparan; (5) targeting, jelas
target yang ingin dicapai. Berbagai negara melakukan modifikasi atas prinsip
yang dasarnya sama.
Gerakan better regulation di dunia dimulai
sekitar tahun 2000-an. Di Inggris dimulai pada 1997, sebagai pengganti
pendekatan deregulation yang digunakan dalam kurun 1985-1997. Deregulasi
seolah-olah mengatakan bahwa regulasi tidak dibutuhkan, padahal regulasi yang
baik dibutuhkan oleh negara. Better regulation menghapuskan berbagai macam
peraturan yang berlebihan (red tape). Regulasi dibuat bila self regulation
tidak dapat menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Itu sebabnya better
regulation harus dijalankan secara proporsional, akuntabel, konsisten,
transparan, dan jelas targetnya.
Dengan demikian, DPR masa bakti 2014-2019
perlu menerapkan paradigma baru legislasi yang disebut sebagai better
regulation. Sebuah regulasi yang lebih baik berdasarkan Pancasila dan UUD
1945. Untuk menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan
makmur, DPR dan pemerintah perlu melakukan evaluasi mendalam dan terperinci
soal regulasi yang telah dibuat dan yang belum dibuat, khususnya yang
berhubungan dengan kesejahteraan rakyat, yang berhubungan dengan pemenuhan
hak sipil, hak politik, hak sosial, hak budaya, dan hak ekonomi warga negara.
Membuang yang tidak perlu, kemudian membuat regulasi yang lebih baik dan
sesuai dengan konstitusi serta perkembangan zaman.
Regulasi tersebut disusun berdasarkan prinsip
kebebasan, keadilan, dan solidaritas, yang memberi kebebasan sekaligus
memberi peran negara dalam melakukan intervensi secara terbatas, khususnya
untuk hal-hal yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak dan membantu
yang lemah.
Sebagai prioritas, tampaknya peraturan
perundang-undangan yang perlu mendapat perhatian adalah hal-hal yang
berhubungan dengan kesejahteraan rakyat sebagaimana termaktub dalam UUD Pasal
27, 28, 29 yang menyangkut hak sipil dan politik. Kemudian Pasal 31, 32, 33,
34 yang menyangkut jaminan terhadap hak sosial, ekonomi, dan budaya.
Evaluasi menyeluruh dan penyusunan regulasi
yang baik sesuai dengan Pancasila dan UUD berdasarkan pendekatan better regulation belum pernah
dilakukan di Indonesia. Kini saatnya DPR baru memberikan warna sejarah untuk
kesejahteraan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar