Ujian
Kedewasaan Demokrasi Indonesia
Handi Sapta Mukti ; Praktisi Manajemen dan Teknologi Informasi,
Pemerhati Masalah Sosial & Lingkungan
|
KORAN
SINDO, 11 Juli 2014
Tanggal 9 Juli 2014 telah menjadi momentum sejarah bagi bangsa
Indonesia, karena pada hari itu rakyat Indonesia telah menentukan pilihannya
untuk memilih calon presiden mereka yang baru untuk 5 tahun ke depan.
Pemilihan presiden kali ini tercatat sebagai pemilihan presiden yang
paling ketat sepanjang sejarah pemilihan presiden secara langsung di
Indonesia, ketat dari aspek persaingan antarkandidat yang hampir memiliki
kekuatan dan kualitas yang sama, juga ketat dari aspek pendukung, karena
hingga hari terakhir sebelum pemilihan, berdasarkan surveisurvei yang ada
prediksi selisih persentase kemenangan keduanya hanya terpaut tipis di angka
satu digit dan bahkan berbedabeda mengenai prediksi siapa yang menang.
Banyak kekhawatiran yang muncul dengan ketatnya persaingan
antarpasangan capres dan pendukungnya kali ini. Berbagai kelompok masyarakat
saling berargumentasi membela dan mempromosikan capres jagoannya. Media
sosial, seperti Twitter, Facebook, dibanjiri oleh opini dan argumentasi yang
sama. Belum lagi media elektronik dan cetak yang selalu mencari berita dan
berbagai kampanye-kampanye hitam yang selalu menarik untuk diperdebatkan.
Silang pendapat, pernyataan yang simpang siur dari para tokoh dan elite
politik datang silih berganti dan sulit diketahui lagi mana yang benar dan
yang salah. Moral, etika, dan kejujuran begitu mudah untuk dikorbankan demi
sebuah tujuan dan ambisi kekuasaan. Satu hal yang menarik dari fenomena
Pilpres 2014 adalah meningkatnya antusiasme dan kesadaran berpolitik
masyarakat Indonesia.
Kesadaran akan pentingnya menentukan pilihan, kesadaran menggunakan hak
politik, kesadaran bahwa dengan memilih mereka ikut berperan dalam menentukan
arah dan masa depan bangsa dan negaranya. Masyarakat pun sudah semakin pintar
dan cerdas dalam menentukan pilihannya. Pemilih rasional semakin meningkat
dengan semakin terbukanya akses informasi melalui berbagai media elektronik
dan cetak.
Debat kandidat yang dilakukan secara terbuka semakin membuka mata dan
telinga pemilih dalam menentukan pilihannya. Secara proses dan metode yang
digunakan boleh dikatakan demokrasi di Indonesia sudah mengalami kemajuan.
Tapi, secara sikap dan perilaku dari para pelaku demokrasi itu sendiri
tampaknya masih dipertanyakan. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya bentuk
pemaksaan, kampanye hitam, fitnah, kebohongan dari para tokoh politik, partai
atau pendukung masing-masing calon untuk memenangkan kandidatnya.
Banyak terjadi retaknya persahabatan, pertemanan, dan bahkan
persaudaraan karena perbedaan pandangan soal calon presiden yang dipilihnya.
Yang lebih penting lagi adalah bagaimana sikap yang akan mereka tunjukan
dalam menerima hasil dari proses pilpres ini nantinya. Di sinilah tingkat
kedewasaan demokrasi Indonesia akan diuji.
Saat ini kita tengah memasuki tahap yang paling krusial dalam proses
Pilpres 2014, yaitu perhitungan suara yang akan menentukan siapa yang akan
menjadi pemenang dalam pertarungan pilpres ini. Seperti telah diduga,
ketatnya persaingan dan tipisnya perbedaan angka dukungan di antara kedua
capres telah menimbulkan ketegangan di antara kedua kubu dan pendukungnya.
Perbedaan hasil perhitungan cepat (quick
count) dari lembagalembaga survei yang ada, telah membuat masing-masing
kubu mendeklarasikan kemenangannya. Langkah ini tentunya akan sangat
membingungkan masyarakat luas dan menimbulkan ketegangan di antara pendukung
kedua kubu yang bertarung.
Apalagi dengan adanya pernyataan-pernyataan yang bersikap provokatif
dari para pemimpin dan elite partai masingmasing kubu, akan semakin menambah
ketegangan dan sangat berpotensi menimbulkan konflik horizontal
antarpendukung kedua kubu yang bertarung. Melihat ketegangan dan kesimpangsiuran
yang terjadi, sangat terlihat bahwa KPU belum begitu siap dalam menghadapi
situasi seperti ini.
Tindakan cepat dari Presiden SBYdenganmembuatkonferensi pers dan
pemanggilan kedua kubu yang bertarung sudah sangat tepat dan patut
diapresiasi, paling tidak untuk meredam ketegangan yang ada. Tampaknya KPU
juga perlu bertindak cepat dan tegas menyikapi polemik hasil quick count ini. Media massa pun
seharusnya bersikap netral demi kepentingan bangsa dan negara.
Saran untuk KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu adalah, pertama,
KPUseharusnya menjadi satu-satunya sumber yang dapat mengeluarkan hasil
penghitungan pemilu, baik penghitungan sementara melalui penghitungan cepat
maupun penghitungan hasil sesungguhnya (real
count).
Kedua, seharusnya ada peraturan dari KPU tentang proses deklarasi
kemenangan dari pihak-pihak yang bertarung, di mana deklarasi kemenangan
hanya boleh dilakukan setelah hasil perhitungan resmi dari KPU dikeluarkan.
Dalam kondisi seperti sekarang ini, sesungguhnya kedewasaan demokrasi
di Indonesia sedang diuji. Apakah kita bisa bersikap dewasa dalam
berdemokrasi? Apakah kita bisa dewasa dalam melihat perbedaan? Dan apakah
kita bisa bersikap dewasa dalam menyikapi hasil dari pilpres ini?
Berdemokrasi secara dewasa adalah berdemokrasi tanpa paksaan dan
intimidasi, tanpa kampanye hitam, tanpa ada saling memfitnah, menghormati
perbedaan dan pendapat pihak lain tanpa harus mengorbankan pertemanan,
persahabatan, apalagi persaudaraan. Kedewasaan berdemokrasi dapat dilihat
dari cara berkampanye yang lebih menonjolkan visi, misi, program kerja dan
target-target yang akan dicapai ketimbang menceritakan kejelekan-kejelekan
dan kelemahan pihak lawan.
Kedewasaan berdemokrasi juga terpancar dari proses berjalannya pemungutan
suara yang berlangsung dalam suasana aman dan damai, bebas dari kecurangan
dan upaya-upaya manipulasi perhitungan suara. Dan, pada akhirnya kedewasaan
berdemokrasi juga akan terlihat dari bagaimana kita merespons hasil
perhitungan suara, berdemokrasi secara dewasa adalah mau menerima apapun
hasil yang diperoleh secara jujur dan adil tanpa perlu mencari-cari kesalahan
dan alasan-alasan kecurangan.
Kedewasaan berdemokrasi seharusnya ditunjukkan oleh para pasangan
capres yang bertarung, para elite dan pimpinan partai pendukung, yang secara
otomatis akan diikuti oleh para pendukung-pendukungnya di tingkat akar
rumput. Sehingga, ketatnya persaingan tidak akan menimbulkan konflik
horizontal yang pastinya akan merugikan bangsa dan rakyat Indonesia itu sendiri.
Yang menang jangan jemawa
yang kalah harus legawa, pendukung tidak perlu marah jika jagoannya kalah.
Karena, siapapun pemenangnya dia tetap presiden kita semua. Satu nusa, satu
bangsa, satu bahasa dan hanya satu presiden untuk Indonesia tercinta. Semoga, kita semakin dewasa dalam
berdemokrasi! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar