Terpaksa
Harus Menang
Reza Indragiri Amriel ;
Psikolog Forensik, Pemilik KTP Jakarta;
Mantan Ketua Delegasi Indonesia pada Program Pertukaran
Pemuda Indonesia Australia
|
KORAN
SINDO, 02 Juli 2014
Masuk akal, namun & sejujurnya & mengesalkan sekali apabila
setiap perbincangan tentang Prabowo, Hatta, Jokowi, dan Jusuf Kalla selalu
dihubung-hubungkan dengan keberpihakan politik.
Tidak sedikit warga yang sekarang seperti memakai kacamata kuda.
Semuanya ditafsirkan ala bilangan biner: kalau bukan 0, pasti 1. Jika tidak
berpihak ke 1, musti condong ke 0. Penyimpulan masalah sedemikian dangkal
bisa membuat diskusi akal sehat berubah sekejap menjadi debat panas dahsyat.
Dan itu gara-gara proses berpikir yang serba apriori. Dengan menulis
ini, hampir bisa dipastikan saya akan dicap sebagai pro salah satu kubu dan
kontra kubu lain. Tapi persetan dengan itu. Dengan KTP DKI Jakarta di dalam
dompet, tidak sebatas memiliki hak, saya pun berkewajiban mengingatkan Joko
Widodo selaku individu yang (pernah) menjabat gubernur DKI Jakarta.
Memang tidak ada yang sungguh-sungguh baru dalam tulisan ini. Namun
karena Jokowi adalah sosok yang kadung menghidangkan janji tentang Jakarta
yang baru di bawah kepemimpinannya, ketika Jakarta tidak memperlihatkan
kebaruan itu, protes keras sudah sepatutnya diteriakkan kepada Jokowi. Dan
kembali centang perenangnya Tanabang adalah representasi kegagalan Jokowi menciptakan
Jakarta baru itu. Jokowi boleh saja dielu-elukan berkat aksi blusukannya .
Saya tidak anti itu. Jokowi ditahbiskan sebagai pemimpin pembawa
paradigma baru. Blusukan dan bersimpuh sesaat setelah dilantik, merupakan
gestur yang meyakinkan banyak orang bahwa Jokowi adalah pemimpin yang bermula
dari benih kandung yang hidup di dalam rahim ibu pertiwi. Saya pun menyambut
Jokowi (dan Ahok) sebagai kepala daerah kota kelahiran saya. Meski demikian,
bukan baru sehari dua hari ini saya meragukan efektivitas blusukan ala
Jokowi.
Anggaplah dengan blusukan Jokowi berhasil menata pasar di Solo, lalu
disebutlah Jokowi sebagai walikota yang sukses memimpin seantero Surakarta.
Mendatangi setiap jengkal sebuah wilayah seluas 44,04 kilometer persegi,
itulah yang langsung dianggap sebagai kunci keberhasilan Jokowi.
Lain ceritanya ketika dari Solo Jokowi naik ke anak tangga politik berikutnya
dengan menjadi orang satu di area seluas 664,01 kilometer persegi bernama DKI
Jakarta. Sebesar apa pun cadangan stamina yang ia miliki, hampir bisa
dipastikan blusukan ala Jokowi tidak akan menembus seluruh titik tersebut.
Itu berarti, memimpin Jakarta mengharuskan adanya kekuatan kepemimpinan
yang berbeda. Dengan kata lain, silakan terus blusukan. Namun, kekuatan visi
dan ketangguhan manajerial menjadi lebih penting. Orang bilang kekuatan-
kekuatan macam itu sebagai sesuatu yang klise. Dan untuk mengokohkan asumsi
itu, akal sehat publik pun dijungkir balik; masyarakat dikatakan kini tidak
lagi membutuhkan hal klise tersebutsaat memilihpemimpin. Persoalannya, bahkan
untuk halhal tadi yang disebut klise sekali pun, Jokowi faktanya kalah kuat
dibandingkan dengan wakilnya di Gedung Balai Kota.
Dari situ, maaf kata, dahi kian berkerut jika dalam petualangan politik
berikutnya Jokowi masih juga menempatkan blusukan sebagai gaya kepemimpinan
unggulan. Indonesia bukan kota, bukan provinsi, tapi sebuah negara. Jika
perairannya seluas 3.257.483 tidak mungkin dikunjungi, maka ada daratan
berukuran 1.922.570 kilometer persegi yang bisa didatangi. Namun, siapa yang
mampu menyambangi area seluas itu dengan memblusukinya satu per satu? Kembali
ke masalah Jakarta, tepatnya ke Tanabang, kawasan itu dari masa ke masa
semakin identik dengan zone rawan.
Rawan kemacetan, rawan kejahatan, dan segala kerawanan sekaligus
keruwetan lainnya. Dulu Jokowi datang ke Tanabang. Melakukan pembenahan
sana-sini. Walau tetap skeptis akan keberlangsungannya, langkah Jokowi tetap
patut diapresiasi. Setidaknya Jokowi, gubernur DKI, menunjukkan bahwa pusat
grosir terbesar se-Asia Tenggara itu dia jamah juga. Namun seperti sudah
diduga, perubahan Tanabang ke kondisi sehat hanya berlangsung sesaat. Dengan
serbaneka penyebab, wajah penyakitan (wajah asli!) Tanabang tampak kembali
dalam kurun singkat.
Masyarakat, baik pedagang maupun pembeli maupun commuter, kembali membuat kekacauan di sana. Situasi ruwet
bangkit secara gradual, dan itu
sudah berlangsung bahkan sejak Jokowi masih berada di kursi gubernur.
Betapapun demikian, sampai di situ, Jokowi tetap tidak pantas menjadi sasaran
kecaman. Tanabang bisa diperbaiki dengan kejelasan arah dan keuletan.
Senyata-nyatanya persoalan meledak tatkala Jokowi ingkar janji untuk
bertahan di Balai Kota hingga habis lima tahun masa jabatannya. Entah
didorong oleh ambisi politiknya pribadi, atau dipanas-panasi oleh nafsu
politik pihak lain, Jokowi kenyataannya kini sedang berlari menuju Istana
Negara. Terukur sudah, bulat sudah, bagaimana pengaruh Jokowi bagi Jakarta.
Jokowi adalah figur yang amat populer, tiada keraguan di situ.
Tapi Jokowi ternyata bukan sosok pengilham. Ia gagal menginspirasi
ribuan warga Jakarta, atau & setidaknya & ribuan orang di Tanabang,
untuk juga bersungguh-sungguh menghadirkan wajah baru bagi Jakarta. Jelas,
aktivitas mengubah sarana dan prasarana di Tanabang bisa dilakukan ala
Bandung Bondowoso. Tapi Jakarta tidak membutuhkan tokoh khayali. Mencantikkan
seantero Jakarta hanya dalam tempo semalam adalah menegakkan benang basah.
Jika sebatas untuk memperbaiki sarana dan prasarana, Jakarta hanya perlu
merekrut perusahaan konstruksi untuk mengemas ulang area di Jakarta Pusat
itu.
Yang Ibu Kota butuhkan, jauh lebih mendasar lagi, adalah individu yang
bisa mengubah psikologi orang-orang Jakarta. Sosok itu dicari untuk mengurai
kesemrawutan pola pikir warga Jakarta. Dia diharapkan bisa menumbuhkan
handarbeni alias perasaan memiliki di jutaan hati warga Jakarta. Dengan
psikologi yang tertata, pola pikir yang jernih, dan handarbeni yang kuat,
Jakarta akan dirawat kembali oleh para pemukimnya. Nah, untuk itu semua,
tentu dibutuhkan waktu yang panjang dan interaksi yang intens.
Dan Jokowi & sebagaimana janjinya & punya waktu lima tahun,
bahkan mungkin sepuluh tahun, untuk membuktikan bahwa dia gubernur yang bisa
membuat perbedaan. Jokowi, berbekal pengalamannya di Solo, semestinya tahu
akan kerja berat itu. Tapi faktanya, dia ”entah di mana” sejak beberapa pekan
silam. Ketika interaksi antara warga Jakarta dan Jokowi baru mencapai fase
keterpesonaan, dia malah seolah mengalami delusi bahwa pesona sama dengan
pencapaian. Dan delusi itu yang kemudian dibawanya sebagai modal untuk memenangkan
Indonesia.
Jokowi ingin menjadi presiden, sah-sah saja. Setiap politisi boleh
membangun cita-cita setinggi itu. Hak konstitusi warga negara, terma
kuncinya. Karena itulah, saya pribadi tidak melihat opsi lain: Jokowi memang
terdesak harus keluar sebagai RI-1. Karena jika ia kalah, dan jika kelak
kembali ke kursi gubernur DKI Jakarta, di mata saya ia sudah turun kelas
menjadi petualang kuasa. Jangan pernah berharap kepala daerah macam itu masih
akan punya wibawa! Allahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar