Puasa
dan Kedewasaan Berpolitik
Ahmad
Rofiq ; Sekretaris Umum MUI
Jawa Tengah,
Guru Besar IAIN
Walisongo Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 30 Juni 2014
“Kita berharap, momentum Ramadan diawali dengan
penuh kedewasaan dan penghargaan terhadap perbedaan”
BULAN
Ramadan 1435 H merupakan bulan ’’istimewa’’ bagi bangsa Indonesia. Pertama;
pilpres digelar pada bulan itu, tepatnya pada 9 Juli 2014. Kedua; hampir
dapat dipastikan, umat Islam mengawali puasa pada bulan suci itu dengan
perbedaan. Ada yang sudah menetapkan puasa mulai Sabtu, 28 Juni 2014, dengan
alasan hilal (bulan) sudah wujud atau terlihat.
Berdasarkan
hisab, pada Jumat, 27 Juni 2014 saat terbenam matahari, tinggi hilal sudah
dalam kisaran 00 derajat, 02 menit, 56,30 detik hingga 00 derajat, 43 menit,
49,00 detik. Sebagian umat Islam yang menggunakan paradigma hilal sudah
wujud, meskipun mustahil melihatnya dengan mata (termasuk memakai teropong),
menetapkannya sebagai awal Ramadan.
Mereka
mendasarkan pada hadis Rasulullah saw, “Berpuasalah kalian karena melihat
hilal dan berbukalah kalian karena melihat hilal, dan jika tertutup awan maka
sempurnakan Syakban 30 hari.’’ Sementara bagi pemerintah, sudah menjadi
regulasi sejak 1947 Kemenag (dulu Depag) melakukan rukyatul hilal dan
menggelar sidang isbat (penetapan tanggal 1 Ramadan dan 1 Syawal) sebagai
bentuk ikhtiar mencari titik temu, menghilangkan perbedaan.
Dasar rukyatul hilal dan sidang isbat adalah
sabda Rasulullah saw, yang sesungguhnya agak sulit andai dimaknai hanya
dengan akal semata. Pemerintah Indonesia, dan juga jadi kesepakatan Majelis
Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS)
menggunakan paradigma imkanur rukyat (memungkinkan hilal dilihat) dengan
tinggi hilal saat terbenam matahari minimal 2 derajat. Thomas Djamaluddin,
Ketua LAPAN bahkan menetapkan angka 3,5 derajat.
Berdasarkan
perhitungan tersebut, rukyat yang akan dilaksanakan serentak di 63 titik di
Indonesia, sangat tidak mungkin melihat hilal karena memang belum
memungkinkan (imkanur rukyat). Tapi
yang dilakukan pemerintah, sejalan dengan kaidah ’’keputusan pemerintah
mengikat dan menghilangkan perbedaan pendapat”. Kenyataannya, tak seluruh
warga secara sukarela mematuhi keputusan pemerintah.
Indonesia,
yang sebagian besar warga negaranya memeluk Islam, kini sedang dan terus
berproses menjadi negara dan bangsa demokratis terbesar di dunia. Perbedaan
dalam menetapkan awal Ramadan adalah peristiwa biasa dan berulang terjadi.
Idealnya, hasil penetapan (isbat)
pemerintah, diikuti seluruh warga.
Andai
terpaksa berbeda pun —ini pernah terjadi pada masa Rasulullah saw mengingat
beda tempat terbit matahari antara Madinah dan Syuriah— semua pihak
diharapkan menerima, menjalani, dan menghormati perbedaan itu. Apalagi ini
menyangkut keyakinan dan kemantapan beribadah.
Yang
lebih dahulu mengawali puasa, seyogianya ikhlas semata-mata karena Allah, dan
yang berpuasa menyusul kemudian juga dapat menghormati dengan semangat
toleransi (tasamuh) dan tulus. Hal
itu mengingat Islam adalah agama demokratis, menoleransi perbedaan pendapat
sepanjang terkait dengan soal fikih, bukan akidah.
Kejernihan Hati
Dalam
konteks menjelang pelaksanaan pilpres tanggal 9 Juli 2014, di tengah suasana
Ramadan, masyarakat, termasuk umat Islam, merasakan kemeningkatan suhu
politik. Konflik antarpendukung capres pecah. Padahal jauh hari sebelumnya,
kedua kubu sudah gencar mengumandangkan deklarasi pemilu damai. Bahkan mereka
mengundang wartawan untuk memublikasikan.
Melihat
realitas di lapangan, banyak pihak khawatir setelah pilpres ada sebagian tim
pendukung yang ’’tidak siap’’ andai jagonya kalah. Karena itu, sampai saat
ini publik masih saja harus mencerna kampanye hitam. Bahkan ditengarai,
tindakan itu dilakukan oleh segelintir petinggi dan mantan petinggi di negeri
ini.
Senyampang
Ramadan, capres-cawapres diminta bisa mendinginkan para tim sukses dan
pendukungnya untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang agama. Percayalah,
kampanye hitam, hanyalah tontonan menjijikkan, dan indikator ketidakdewasaan
dalam berpolitik.
Pilpres
adalah ritual politik lima tahunan, kegiatan politik biasa yang perlu
direspons secara cerdas, layaknya pemilihan ketua RT atau RW. Kegiatan itu
hanya ajang pelaksanaan demokrasi model satu orang satu suara, one man one vote, yang benar-benar
harus bisa memanusiakan manusia atau nguwongke
wong.
Bangsa
Indonesia butuh pemimpin yang tegas, jujur, memanusiakan manusia, tidak
korupsi, dan yang penting adalah memiliki nyali, integritas, untuk menakhodai
Indonesia supaya bisa menjadi bangsa besar, bermartabat, berdaulat, dan
mandiri. Persoalannya, sumber daya alam, nabati, hewani, dan tambang kita
sangat berlimpah,tapi kita juga melihat masih banyak warga miskin, belum bisa
disebut hidup layak.
Terasa
lebih ironis bahwa untuk garam, lombok, bawang, jagung, kedelai, dan
lain-lain, kita masih harus impor. Sumber minyak mentah berlimpah, diekspor,
tetapi minyak jadinya harus kita impor. Emas, timah, tembaga, batubara,
nikel, dan lain-lain, tiap hari dikeruk dibawa keluar negeri, berton-ton tapi
bagi hasilnya hanya 1%.
Kita
semua berharap, momentum Ramadan diawali dengan penuh kedewasaan, toleran,
dan penghargaan terhadap perbedaan. Perbedaan pendapat umatku adalah rahmat
(kasih sayang), demikian pesan Rasulullah
saw. Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadan 1435 H, semoga ibadah
kita mampu menjernihkan hati dan pikiran untuk menentukan pilihan pada 9 Juli
mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar