Demokrasi
Setengah Hati
L
Tri Setyawanta R ; Guru Besar Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro
|
SUARA
MERDEKA, 30 Juni 2014
ORANG
awam memandang pemilihan rektor perguruan tinggi negeri (PTN) sebagai proses
demokrasi setengah hati. Prinsip demokrasi satu orang satu suara memang
menjadi dasar pemilihan itu. Sayang, prinsip itu hanya bernilai 65%,
mengingat 35%-nya merupakan sistem khusus, yaitu satu orang banyak suara.
Adalah
mendikbud yang memiliki 35% hak suara, sebagai pemimpin satuan pendidikan
tinggi berdasarkan peraturan perundang-undangan. Demokrasi model gado-gado
ini dapat memicu ketidakpuasan internal PTN. Hasil pemilihan internal dalam
kategori seimbang dengan kemenangan tipis akan mudah sekali berubah menjadi
kekalahan atau sebaliknya.
Bahkan
kemenangan internal yang cukup signifikan pun bisa berbalik bila konversi 35%
suara menteri digabungkan suara minoritas. Aspirasi dari bawah dengan suara
mayoritas, dengan mudah diabaikan, terpinggirkan lewat keberhasilan approach
seorang calon untuk mendapat dominasi suara menteri. Lobi-lobi di mana pun
memang keniscayaan yang secara etis dan bijak menunjukkan keluasan jaringan
seseorang, asalkan tanpa dibumbui politik transaksional
Sistem Perhitungan
Pasal 7
Huruf e Permendikbud Nomor 33 Tahun 2012 menentukan bahwa pemilihan
rektor/ketua/direktur sebagaimana dimaksud padaHhuruf a dilakukan melalui
pemungutan suara secara tertutup dengan ketentuan, menteri memiliki 35% hak
suara dari total pemilih dan senat universitas memiliki 65% hak suara dan
masing-masing anggota senat memiliki hak suara sama.
Implementasi
secara teknis dari aturan itu masih mendasarkan surat edaran Dirjen Dikti
Nomor 1312/D/T/2010. Jumlah suara menteri yang dikonversi dari 35% sangat
bergantung dari keseluruhan jumlah anggota senat yang berhak memilih. Makin
besar jumlah anggota senat, makin besar pula konversi jumlah suara menteri.
Dalam
praktik, semisal yang berhak memilih 200 orang maka menteri mendapat 108
suara, dengan perhitungannya 35/65x200. Total seluruh suara jadi 308, dan
jumlah suara menteri bisa lebih dari setengahnya dibanding suara senat yang
telah dikonversi kembali jadi 100%.
Intervensi suara dari satu pemilih inilah yang rawan memicu ketidakpuasan
internal kampus.
Karena
itu, alternatif konversi suara menteri
adalah lebih dahulu ditentukan 35% dari total pemilih, bukan total suara.
Dengan sistem ini, suara menteri
dihitung 35/100x201 menjadi 70 (70,35)
suara. Adapun suara senat menjadi 65/100x201=131 (130,65) suara yang
dihasilkan dari 200 pemilih.
Nilai
jumlah suara yang didapat seorang calon dari anggota senat adalah 65%-nya.
Andai mendapatkan 100 suara, sama
dengan mendapat 65 suara. Artinya, total jumlah suara adalah sama dengan total
jumlah pemilih, sehingga sekilas tidak terjadi ìpenggelembungan suaraî. Dibanding ara perhitungan sebelumnya,
sebenarnya hasil akhirnya tidak
terlalu jauh berbeda. Hanya secara rasional dan psikologis cara ini bisa
lebih diterima, meski belum benar-benar dengan lapang dada karena hanya
sistem kuasi one man one vote.
Drama di Kampus
Drama
pemilihan rektor yang kontroversial berkait suara menteri sebenarnya dimulai
dari kampus ITS Surabaya pertengahan 2010. Calon yang mendapat mayoritas
suara senat harus berbesar hati mengubur harapannya jadi rektor saat
berhadapan dengan suara menteri berdasarkan Permendikbud Nomor 24 Tahun 2010.
Rencana uji materi ke MA jadi alternatif pemikiran.
Beberapa
pihak di UGM pun pernah merencanakan untuk uji materi 35% suara menteri. Tapi
sampai saat ini eksistensi suara menteri masih kokoh terakomodasi berdasarkan
Permen Nomor 33 tahun 2012, sebagai pengganti Permen Nomor 24 tahun 2010.
Di
Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, pemilihan rektor sudah rampung akhir
Januari 2014. Ketidakpuasan mengenai sistem perhitungan dan distribusi suara
menteri berujung gugatan ke PTUN dan uji materi ke MA. Ranah hukum menjadi
pilihan untuk pihak yang merasa bahwa proses demokratisasi di kampus telah
dipolitisasi dengan aturan yang bertentangan dengan asas keadilan dan
kepatutan.
Belum
lama ini, drama pemilihan rektor juga terjadi di Universitas Negeri Semarang
(Unnes). Pemilihan tahap akhir memang belum terlaksana tapi salah seorang
calon rektor telah dilaporkan ke polisi. Tampaknya ini merupakan langkah
hukum untuk menegakkan rule of the game
supaya pemilihan itu berjalan fair play.
Akankah pemilihan rektor etap berjalan sesuai jadwal? Hal itu amat bergantung
pada kebijakan Kemdikbud.
Dengan
variasi cerita berbeda, drama itu kemungkinan menghampiri Universitas
Diponegoro, September nanti. Undip sedang menunggu PP tentang perubahan
status dari Badan Layanan Umum menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum
(PTNBH). Dalam masa transisi ini,
aturan pilrek masih mendasarkan statuta lama, meski telah mengadopsi
perkembangan aturan baru. Mengacu preseden di Universitas Indonesia (UI) yang
mengadakan pemilihan rektor dalam masa transisi pertengahan 2012, kondisi
itu kemungkinan tidak jauh berbeda,
yaitu ditunda.
Semua
civitas akademika pasti bisa memahami dan menerima kondisi tersebut, asalkan suksesi rektor terhindar
dari drama konflik politik praktis yang acap tanpa permisi memasuki dunia
kampus. Hanya Kemdikbud sebagai legislator yang bisa mengubah skenario tiap
pemilihan rektor PTN selalu berakhir happy
ending. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar