Pemimpin
yang Melayani
Jony Oktavian Haryanto ;
Kepala Prodi Entrepreneurship Podomoro University
|
SUARA
MERDEKA, 15 Juli 2014
PEMILIHAN
Presiden (Pilpres) 2014 yang dinanti-nantikan oleh seluruh rakyat Indonesia
usai sudah. Komisi Pemilihan Umum menyatakan akan mengumumkan hasil resmi
pesta demokrasi tersebut pada 22 Juli mendatang. Sebagian rakyat seperti
tidak sabar menunggu. Justru pada masa penantian beberapa hari itu sebenarnya
akan menunjukkan siapa pemimpin yang memiliki hati untuk melayani rakyat.
Kepemimpinan
sangat dekat dengan kekuasaan, dan pengalaman empiris telah menunjukkan bahwa
bila hal itu tidak dikontrol maka akan berisiko melahirkan pemimpin yang korup
dan otoriter. Sejarah telah membuktikan bagaimana seorang pemimpin yang pada
awalnya berjiwa kerdil bisa berubah menjadi diktator lagi tiran, semisal
Adolf Hitler, Ferdinand Marcos, ataupun yang lain.
Padahal
para pemimpin agama telah mengajarkan dan menerapkan pola kepemimpinan yang
bersifat melayani. Umar bin Khatab misalnya, yang merupakan sahabat Nabi
Muhammad saw mengajarkan bahwa pemimpin yang baik adalah apabila rakyatnya
lapar maka pemimpin itulah yang paling dulu merasakan lapar, dan apabila rakyatnya
sejahtera maka pemimpin itulah yang paling belakangan sejahtera. (seperti
dipajang di Museum Astra).
Umat
Nasrani pun meyakini ajaran bahwa Yesus Kristus datang ke dunia untuk
melayani dan bukan untuk dilayani. Demikian juga Sang Buddha yang telah
memberikan sebagian daging lengan- Nya kepada elang yang lapar untuk dimakan.
Contoh
tersebut telah menunjukkan bahwa kepemimpinan yang baik adalah kepimpinan
yang siap dan berniat melayani. Kepemimpinan yang bersifat tidak egois namun
justru menempatkan kepentingan rakyat sebagai kepentingan yang tertinggi.
Saya percaya bahwa dari dalam lubuk hati yang paling dalam, para calon
presiden dari dua kubu sebenarnya sudah tahu siapa yang akan menjadi
presiden.
Kandidat
yang sudah tahu bakal kalah, apabila memiliki hati sebagai pemimpin yang siap
melayani pasti akan berbesar hati untuk memberikan ucapan selamat kepada
calon yang lain yang menang. Dengan demikian rakyat akan mengenang dia
sebagai pemimpin berjiwa besar, bahkan bisa menjadi ”karpet merah” untuk maju
dalam Pemilu 2019. Fauzi Bowo (Foke) yang kalah dalam pemilihan Gubernur DKI
Jakarta periode 2012-2017 telah membuktikan diri sebagai negarawan. Dia
memberi contoh kepemimpinan yang siap melayani.
Pada
hari yang sama Foke langsung menelepon Jokowi dan mengucapkan selamat atas
keterpilihannya sebagai gibernur. Di antara semua prestasi yang diraih oleh
Foke, rakyat, tak hanya warga DKI Jakarta, lebih mengingat Foke sebagai
negarawan berjiwa besar karena pemberian ucapan selamatnya secara spontan
kepada Jokowi.
Tetap Dikenang
Karena
itu, jangan larut dalam sesuatu yang bisa menjadi kontraproduktif. Bukankah
rakyat sudah menentukan pilihan mereka walaupun mungkin hasilnya kurang
menyenangkan bagi sementara pihak? Yakinilah, menjadi pemimpin adalah sebuah
amanah. Kita boleh berusaha mengejarnya, namun pemimpin yang besar pasti
lebih mendahulukan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadinya.
Bukankah menjadi pemimpin di negeri ini tidak harus menjadi presiden atau
wakil presiden?
Bukankah
masih banyak pelayanan di bidang-bidang lain yang dapat dilakukan oleh
pasangan nomor 1 atau pasangan nomor 2, seandainya mereka belum berhasil
memenangi kontestasi itu pada tahun ini.
Jabatan
presiden-wakil presiden hanyalah 5 tahun atau maksimal 10 tahun. Namun jiwa
kepemimpinan yang melayani tersebut akan tetap dan terus dikenang sebagai roh
pemimpin besar negeri ini, meskipun tak harus menjadi presiden atau wakil
presiden. Kita bisa mencontoh Raden Mas Soewardi Soerjaningrat yang pada usia
40 tahun rela menanggalkan gelar kebangsawanannya. Bahkan ia mengganti
namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara supaya bisa bebas dekat dengan rakyat,
baik secara fisik maupun hati.
Telah
55 tahun berlalu sejak kepulangannya menghadap Sang Maha Pencipta, namun
sampai sekarang bangsa ini tetap mengenang Ki Hadjar Dewantara sebagai salah
satu pemimpin besar bangsa ini. Jadi, pemimpin besar di negeri ini bukan
karena jabatannya sebagai presiden, melainkan karena memiliki jiwa
kepemimpinan yang siap melayani bangsa ini.
Untuk
itu, kepada siapa pun pasangan yang kalah maupun yang menang, hendaklah
memimpin dengan hati yang melayani, yaitu melayani bangsa dan negara ini, dan
bukan melayani keinginan diri sendiri atau kelompoknya.
Rhenald
Kasali (Kompas, 11/7/14) menuliskan
bahwa musuh nomor 1 bukanlah nomor 2, dan musuh nomor 2 bukanlah nomor 1,
melainkan musuh nomor 1 adalah nomor 1 dan musuh nomor 2 adalah nomor 2,
yaitu mental beberapa tim sukses dan sebagian pendukung yang rakus akan
jabatan. Akhirnya, setelah tanggal 22 Juli 2014 selamat datang presiden
ketujuh Republik Indonesia. Selamat memimpin dengan hati yang siap melayani. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar