Nalar
Koruptif Pengesahan RUU MD3
Pangki T Hidayat ;
Direktur Eksekutif Research Center for Democratic Education
di Yogyakarta dan alumnus dari Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri
Yogyakarta
|
SINAR
HARAPAN, 18 Juli 2014
Demokrasi
di negara ini benar-benar sedang mendapatkan ujian pascaberlangsungnya
Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Skandal dualisme orientasi hitung cepat (quick count) hasil pilpres menjadi
ujian pertama yang menyeruak ke permukaan, beberapa jam setelah pemungutan
suara selesai.
Beberapa
lembaga survei merilis hitung cepat hasil pilpres dengan memberikan
keunggulan kepada pasangan nomor urut 1, yaitu Prabowo Subianto-Hatta
Radjasa. Sementara itu, beberapa lembaga survei lainnya merilis hitung cepat
hasil pilpres dengan memberikan keunggulan kepada pasangan nomor urut 2, Joko
Widodo-Jusuf Kalla. Alhasil, publik dibuat kebingungan oleh hitung cepat
hasil pilpres yang dirilis lembaga-lembaga survei tersebut.
Ujian
selanjutnya adalah manuver yang dilakukan dewan terhormat negara ini di
Senayan. Tepat sehari sebelum pelaksanaan pencoblosan Pilpres 2014, secara
“diam-diam” mereka mengesahkan Revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
(RUU MD3). Konon, revisi UU tersebut disusun guna membenahi pasal dan klausa
UU Nomor 27/2009 yang dianggap sudah tak relevan.
Sidang
pengesahan yang dihadiri 476 anggota dewan tersebut berlangsung cukup alot
dan dramatis. Pasalnya, sejumlah anggota dewan lain—78 anggota dari Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), 19 anggota dari Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB), dan 12 anggota dari Partai Hati Nurani Rakyat (Partai Hanura)
menunjukkan penolakannya dengan aksi walk out.
Rakyat
di negara ini memang patut prihatin dengan kesesatan pikir para anggota dewan
yang melakukan pengesahan secara aklamasi tersebut. Bagaimana tidak? UU MD3
yang telah disahkan tersebut nyatanya hanya berorientasi ke kepentingan
mereka, khususnya agar mendapatkan imunitas hukum yang lebih kuat. Kondisi
ini tentu menghambat terciptanya penegakan hukum yang adil dan merata bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Lebih
jauh, aparat penegak hukum, baik Polri maupun Komisi Pemberantasan Hukum
(KPK), akan mengalami hambatan serius bila menangani persoalan hukum yang
melibatkan anggota dewan, terutama saat perkara korupsi.
Pragmatisme Wakil Rakyat
Gambaran
di atas setidaknya telah menegaskan betapa nalar wakil rakyat di negara ini
selalu pragmatis dan jauh dari ekspektasi masyarakat. Rakyat sudah jengah
dengan masifnya tindak pidana korupsi, tetapi para wakil rakyat malah
mempersempit jalan memberangus habis tindakan extra ordinary crime tersebut.
Mereka
seolah lupa atau “pura-pura” lupa, telah banyak anggota dewan, baik pada masa
lalu maupun periode saat ini, yang terjerat tindak pidana korupsi. Oleh sebab
itu, revisi dan pengesahan UU MD3 seharusnya mampu mengakomodasi kepentingan
para penegak hukum untuk memberantas habis tindakan extra ordinary crime
tersebut, bukan sebaliknya.
Pasal
245 Ayat (1) menyebutkan, pemanggilan dan permintaan keterangan untuk
penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus
mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan. Sementara itu,
di Ayat (2) diterangkan, persetujuan tertulis diberikan Mahkamah Kehormatan
Dewan paling lama 30 hari.
Klausa
pasal tersebut tentu akan menghambat pemberantasan korupsi, utamanya yang
melibatkan anggota dewan. Dengan birokrasi yang bertele-tele, jelas potensi
anggota dewan yang terindikasi terlibat korupsi cukup punya waktu untuk
menghilangkan barang bukti yang ada. Bukan tidak mungkin, Mahkamah Kehormatan
Dewan baru akan mengeluarkan izin tertulis tersebut pada hari ke-28 atau
ke-29, mengingat batas maksimal pengeluaran izin adalah 30 hari.
Pengesahan
UU MD3 ini juga dapat dimaknai sebagai kegagalan anggota dewan “terhormat”
dalam mewujudkan asas “equality before the law”.
Seluruh
warga negara Indonesia, baik masyarakat sipil maupun pejabat pemerintahan,
berhak mendapatkan pengakuan, perlindungan, kepastian dan perlakuan hukum
yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945. Namun, klausa
dalam pasal-pasal UU MD3 jelas menyiratkan pemberian imunitas hukum yang
lebih kepada para anggota dewan.
Di
sisi lain, spirit pengesahan UU MD3 telah menyalahi esensi awal dilakukannya
revisi terhadap UU Nomor 272009. Pada mulanya, revisi dilakukan untuk
memperkuat posisi dan fungsi Dewan Pertimbangan Daerah (DPD). Akan tetapi
faktanya, hasil revisi yang diwujudkan dalam pengesahan UU MD3 sama sekali
tidak mengakomodasi posisi dan fungsi DPD.
Pelanggengan Budaya Korup!
Sudah
menjadi rahasia umum di negara ini apabila anggota dewan “terhormat” banyak
yang terjerat kasus korupsi. Hasil penelitian sejumlah lembaga survei
menyimpulkan, DPR adalah lembaga yang dipersepsikan paling korup.
Berdasarkan
data yang dirilis Indonesia Corruption
Watch (ICW) pada Januari 2014, sedikitnya 88 anggota DPR terjerat
korupsi. Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri) pada periode yang sama, tercatat 431 anggota DPRD terlibat kasus
hukum, 83,7 persen di antaranya terlibat dalam kasus korupsi.
Hal
ini tentu tak lepas dari sesat pikir mereka yang tak pernah mau bekerja
secara jujur dan tulus untuk kepentingan rakyat. Hal utama di nalar mereka
secara nyata hanyalah cara mengembalikan modal ketika kampanye, untuk
selanjutnya menambah pundi-pundi kekayaan pribadi. Oleh karena itu, dengan
pengesahan UU MD3, budaya korup agaknya terus berlanjut di parlemen baru
periode 2014-2019.
Terlebih,
kualifikasi performa parlemen baru mendatang terindikasi tak akan berbeda
jauh dengan kualifikasi performa parlemen periode saat ini. Hal tersebut
mengingat incumbent masih banyak
yang kembali terpilih di pemilihan legislatif (pileg) lalu.
Imunitas
hukum lebih yang diberikan UU MD3 kepada anggota dewan “terhormat” tentu akan
membuat nyali dan syahwat korupsi mereka semakin besar. Karena itu, mendorong
lahirnya petisi guna mengajukan judicial
review UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi harga mati bagi
masyarakat saat ini. Dengan begitu, keinginan rakyat agar terciptanya
kesetaraan di mata hukum dan terbebasnya parlemen dari budaya korup bisa
terwujud pada kemudian hari. Semoga!
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar