Menuju
Keabadian
Zen RS ;
Chief editor di Pandit Football Indonesia, novelnya ”Jalan
Lain ke Tulehu: Sepak Bola & Ingatan yang Mengejar” baru saja terbit
|
JAWA
POS, 13 Juli 2014
ADA
lelucon menarik tentang Lionel Messi dan Che Guevara: lahir di kota yang
sama, lalu meninggalkan tempat kelahiran di masa kecil, menderita penyakit
sejak kecil, sama-sama merantau ke luar negeri, dan sama-sama tak berguna di
dalam negeri.
Dua
manusia yang selisih usianya 51 tahun ini memang dilahirkan di kota yang
sama: Rosario. Kota yang padat dan sarat gedung-gedung dengan kekayaan
arsitektural yang bersejarah ini merupakan ibu kota Provinsi Santa Fe.
Rosario berada di barat laut ibu kota Argentina, Buenos Aires. Jarak dua kota
itu sekitar 300 km.
Keduanya
juga tidak lama menetap di Rosario. Che yang dilahirkan pada 14 Juni 1928
hijrah bersama keluarganya ke Alta Gracia yang berada di wilayah Provinsi
Cordoba saat baru berusia empat tahun. Sementara Messi yang dilahirkan pada
24 Juni 1987 tinggal lebih lama di Rosario daripada Che. Messi baru
meninggalkan Rosario setelah didiagnosis menderita penyakit kekurangan hormon
pertumbuhan yang membuat posturnya sukar berkembang saat berusia sebelas
tahun. Bersama orang tuanya, Messi hijrah ke Barcelona yang menyanggupi
membiayai pengobatan dan terapi yang dibutuhkan.
Jika
penyakit kekurangan hormon membuat Messi meninggalkan Rosario dan Argentina,
penyakit asma yang diderita Che membuatnya tertarik pada bidang kedokteran
dan akhirnya mengambil studi kedokteran di bangku kuliah. Ketertarikannya
pada dunia kedokteran membuat Che muda memutuskan untuk melakukan perjalanan
legendaris mengelilingi Amerika Latin. Dalam dua seri perjalanan mengelilingi
Amerika Latin itulah, Che menjumpai banyak realitas sosial yang pahit.
Selepas lulus studi kedokteran, Che memutuskan untuk bekerja di Guatemala dan
di sanalah awal karir revolusionernya dimulai.
Sejak
itu, sebagaimana Messi, lelaki yang kini dijuluki El Comandante tersebut
menghabiskan nyaris seluruh sisa hidupnya di luar negeri. Bukan untuk bekerja
sebagai dokter atau sekadar bertualang, melainkan menjadi gerilyawan penuh
waktu yang membantu perjuangan para revolusioner di berbagai negara untuk
menumbangkan rezim-rezim militer nan diktator. Karya monumental Che sebagai
gerilyawan tentu saja adalah ikut membantu Fidel Castro dkk menumbangkan
rezim militer yang dipimpin Jenderal Fulgencio Batista.
Ini
pula yang terjadi pada Messi. Bermain untuk Barcelona berarti ikut membela
panji-panji Catalan, bangsa yang sering dianggap atau menganggap dirinya
sebagai korban penindasan Spanyol, khususnya rezim fasis Jenderal Franco.
Bagi bangsa Catalan, FC Barcelona bukan sekadar klub sepak bola, melainkan
juga representasi identitas suatu bangsa yang tertindas dan ditindas. Inilah
yang melatarbelakangi klaim bangsa Catalan
bahwa Barcelona adalah mas que un club
(bukan sekadar klub sepak bola). Bukan sekali dua kali pula di Nou Camp,
kandang Barcelona, terbentang spanduk bertulisan ”Catalonia Is Not Spain”.
Begitu
Messi muncul berseragam Barcelona, dengan cepat tim ini mengambil alih
dominasi Real Madrid (klub yang selalu mereka identifikasi sebagai ”pusat
yang menindas”). Sejak kemunculan Messi di tim utama Barcelona pada 2004,
tercatat Barcelona sudah meraih 6 gelar juara La Liga dan 3 gelar juara Liga
Champions.
Dalam
istilah lain: Messi berhasil membantu bangsa Catalonia ”memerdekakan” diri
dari pusat yang menindas –sebagaimana Che membantu Castro dkk membebaskan
rakyat Kuba dari penindasan rezim Fulgencio Batista.
Hanya,
kembali ke lelucon yang saya singgung di paragraf pembuka, Che dan Messi
”diledek” tidak pernah memberikan kontribusi yang berarti bagi tanah airnya.
Sampai wafatnya di Bolivia pada 1967, dalam perjuangan gerilya membantu
kelompok revolusioner, Che nyaris tak berkiprah di Argentina.
Begitu
juga Messi: dia dianggap belum memberikan sesuatu yang berharga bagi
Argentina. Sesuatu yang berharga bagi sepak bola Argentina tentu bukan trofi
di level junior seperti emas Olimpiade 2008 atau juara dunia U-20 pada 2005.
Melainkan sesuatu yang setara dengan sejarah hebat sepak bola Argentina:
trofi Piala Dunia. Bahkan, mempersembahkan trofi Copa America sekalipun Messi
belum sanggup. Dalam dua gelaran Piala Dunia yang pernah diikuti Messi, 2006
dan 2010, jangankan membawa Argentina juara, Messi benar-benar redup dan
bahkan hanya bisa mencetak satu gol!
Banyak
yang menganggap Messi tidak pernah bermain optimal untuk negaranya dibanding
saat memperkuat ”timnas Catalonia”. Apa yang sudah diberikan dan didapatkan
Messi selama di Barcelona dianggap tak sebanding dengan kontribusinya untuk
Argentina. Ada semacam rasa cemburu: kenapa di Barcelona dia begitu getol
mempersembahkan trofi, sedangkan untuk negaranya sendiri tidak?
Dan,
di hadapan perkara untuk memberikan trofi besar bagi tanah airnya, tidak bisa
tidak Messi akan selalu dibandingkan dengan pendahulunya: Diego Armando
Maradona. Selamanya Maradona akan dikenang dan menjadi pahlawan Argentina
bukan semata karena skill dan kemampuannya,
melainkan juga karena hal sederhana yang terasa begitu sulit diraih Messi
selama ini: memimpin dan membawa Argentina menjadi juara dunia.
Sudah
menjadi legenda sekaligus cerita rakyat di Argentina bagaimana Maradona
nyaris sendirian memberikan gelar juara dunia 1986. Maradona memberikan
segala yang dia punya, baik dengan cara yang amat indah (seperti gol solo run
ke gawang Inggris di perempat final Piala Dunia 1986 atau umpan luar biasa
mengejutkan yang mengawali gol Jorge Burruchaga yang jadi penentu kemenangan
di final 1986 vs Jerman Barat) maupun cara yang begitu licik (mencetak gol
dengan tangan ke gawang Inggris).
Sepanjang
gelaran Piala Dunia 1986 itu, Argentina melalui tujuh pertandingan. Maradona
bermain di semua pertandingan, menjadi pemain yang paling banyak dilanggar
lawan, menjadi pemain yang paling banyak berhasil melewati lawan. Sepanjang
turnamen di Meksiko itu, Maradona mencetak 5 gol dan 5 assist.
Semua
kombinasi tersebut tidak hanya menjadikan Maradona pemain terbaik di Meksiko
1986, tapi juga sering diakui sebagai pemain yang nyaris sendirian menjuarai
Piala Dunia (mungkin bisa dibandingkan dengan Garrincha di Piala Dunia 1962).
Itulah yang membuat Maradona, sebesar apa pun dia membuat ulah dan
kontroversi, akan selalu dikenang dalam memori kolektif bangsa Argentina.
Tidak
ada yang meragukan kualitas Messi. Beberapa kalangan bahkan menganggap skill
Messi lebih baik daripada Maradona. Tapi, tanpa trofi Piala Dunia, Messi akan
selalu berada di bawah bayang-bayang Maradona. Bukan dalam soal skill dan kemampuan mengolah si kulit
bundar, namun dalam soal posisinya di memori kolektif bangsa Negeri Tango.
Messi
selangkah lagi bisa sejajar dengan Maradona. Jika berhasil membawa Argentina
mengalahkan Jerman di final Piala Dunia 2014, Messi bisa merasuk ke dalam
memori kolektif bangsanya sebagai pemain kedua Argentina yang nyaris
sendirian memenangkan trofi Piala Dunia.
Dari
enam laga yang sudah dilalui, Argentina baru mencetak tujuh gol (di waktu
normal). Messi sendiri mencetak separo lebih dari semua gol Argentina itu.
Tercatat, dia sudah mencetak 4 gol dan 1 assist. Semua gol Messi itu menjadi
penentu kemenangan Argentina (3 laga di babak grup dan 1 laga vs Swiss di
perdelapan final). Siapa pun yang mengikuti laga-laga Argentina tahu, tanpa
Messi, tim berjuluk Albiceleste ini bahkan tak akan bisa mengalahkan tim
”ecek-ecek” Aljazair.
Semua
itu hanya bisa disempurnakan jika Argentina mengalahkan Jerman di final. Jika
itu terjadi, Messi akan menjadi abadi dalam memori bangsa Argentina dan
dengan itu pula dia menemani Maradona di keabadian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar