Berkesenian
Itu Sendiri dan Kesepian
Gunawan Raharja ;
Pekerja Film
|
KOMPAS,
13 Juli 2014
...APALAH ARTI — Kesenian, jika terpisah dari
masalah sosial (WS Rendra)
Beberapa
awak panggung Ketoprak Klana Bakti
Budaya mulai membenahi peralatan panggungnya tengah malam itu. Mic yang
digantung mulai dirapikan, beberapa gamelan tua ditutupi plastik dan panggung
dibersihkan. Para penabuh gamelan yang
sebagian besar bukan kru tetap kelompok ini pun sudah bersiap-siap pulang.
Ada yang tinggal di Madukismo, dua jam
dari kelompok ketoprak yang berlokasi di Desa Kalimati, Kecamatan Kalasan
Kabupaten Sleman.
Didik
dan istrinya, Siwuh, bersiap pulang. Ia memasukkan sejumlah
uang
honor sebagai penabuh gamelan dan istrinya yang kadang menjaga loket. Jangan
berharap untuk tahu berapa honor para awak panggung ketoprak tobong ini.
Tiket pertunjukan seharga lima ribu rupiah selembar dan
malam
ini ada tiga puluh tiga penonton. Lima ribu rupiah dikalikan tiga
puluh
tiga penonton dibagi enam puluh awak panggung. Itulah honor pemain dan
awaknya. Berapa biaya minimal hidup di Indonesia abad ke-21 ini?
Kami
sempat berbincang sambil bertukar nomor telepon. Sesaat sebelum jalan, ia
sempat berkata sambil tertawa. ”Seniman
berkesenian itu puasnya cuma di rasa Mas. Uang carinya di tempat lain. Kalau
ada seniman kaya tapi tidak punya rasa, itu namanya perajin kesenian.”
Lalu menstarter sepeda motornya dan bersama istrinya ia berlalu menembus
malam.
Kredo
Seniman
mengabdikan dirinya pada karya dan merespons pada konteks kekinian yang
mengacu pada masalah sosial. Kesenian menjadi pemicu bagi masyarakat untuk
memahami persoalan-persoalan dalam masyarakat dengan bahasa nurani dan
estetika. Tidak semua persoalan kemasyarakatan dan sosial yang selama ini
menjadi bahan diskusi utama dimaknai sebagai informasi yang mudah diterima
dan direspons oleh masyarakat. Dalam kondisi kekinian, berbagai problem
sosial dan politik saling berkelindan satu sama lainnya dan tidak dapat
dipisahkan.
Berkesenian adalah cara bagi seniman untuk
meneriakkan kata-kata atau membentuk persepsi sebuah persoalan dengan
kerangka kreativitas. Pemahaman akan persoalan ditentukan oleh personalitas
dan latar belakang keilmuannya. Maka pemaknaan tersebut akan menarik karena
sebuah persoalan pasti akan direspons dengan cara yang berbeda.
Berkesenian
adalah alat ucap yang mempunyai kesadaran dan konteks tersendiri. Bagi para
senimannya, berkesenian menjadi media yang multifungsi. Di satu sisi
menjadikan media ekspresi atas responsnya terhadap berbagai gejala dan
pergeseran nilai-nilai, sekaligus menjadi media aktualisasi diri. Penelaahan
atas respons tersebut membuat dirinya selalu melakukan sikap kritis dan
sensitif terhadap berbagai perubahan.
Pemahaman
terhadap perubahan tidak selalu sama. Seniman selalu melihat semua persoalan
dari sisi yang berbeda. Mereka mempunyai kacamata tersendiri ketika melihat
ketidakadilan dan ketidakberdayaan. Sering kali perbedaan pemahaman dan
keinginan untuk menyuarakannya menjadi sikap yang kritis dan memunculkan
kritik. Sikap itu sering kali menjadi bentuk baru dari perlawanan terhadap
ketidakadilan yang sudah mapan.
Orde
Baru adalah masa suram dalam keterbukaan politik. Sikap represif pemerintah
terhadap berbagai gerakan perlawanan disikapi dengan berbagai pola kesenian.
Maka pada saat itu lahirlah berbagai bentuk kesenian yang memolakan
sikap-sikap tersebut. Gerakan tersebut seolah-olah membingkai dinamika baru
dalam konteks seni. Maka lahirlah karya-karya yang mewakili berbagai gerakan
tersebut, dalam bidang sastra, teater, ataupun seni rupa.
Perlawanan
tersebut memunculkan konsekuensi tersendiri bagi para seniman. Pemerintah
Orde Baru melihat gerakan itu sebagai ancaman terhadap stabilitas politik dan
keamanan. Sehingga berbagai gerakan kesenian yang dianggap bertentangan
mendapatkan pengawasan, bahkan pelarangan. Masa Orde Baru adalah saat di mana
kesenian mendapatkan perlakuan khusus dari aparat keamanan. Budayawan dan
pekerja teater Butet Kartaredjasa mengatakan bahwa sebuah pentas teater harus
melewati dua belas meja untuk mendapatkan izin.
Prosesi
kesenian selalu berbenturan dengan realitas hidup. Tidak semua seniman
mempunyai kemewahan untuk melakukan eksplorasi berkeseniannya dengan total
dan ”menisbikan” kebutuhan hidupnya. Bahkan banyak kisah seniman yang harus
rela untuk mempertaruhkan semua harta bendanya untuk prinsip kreativitas dan
estetika meskipun taruhannya bersitegang dengan keluarga.
Sendiri dan sepi
Kesetiaan
pada ide dan pikiran membuat seniman harus melewati proses panjang dalam
mengungkapkan bahasa berkeseniannya.
Berkontemplasi dalam riuh-rendahnya peradaban, selalu berkutat dengan
pertanyaan-pertanyaan esensial yang tidak pernah selesai. Keanehan seniman
bukan sekadar bagian dari gaya hidup, melainkan karena mereka selalu berusaha
mencari esensi dari setiap gerak dan napasnya yang nantinya dibahasakan dalam
konsep berkeseniannya.
Tidak
semua orang akan mengerti bagaimana seorang seniman menghadapi kehidupannya
sendiri. Selalu bertanya dan mencari, sampai mereka menemukan ide dan bentuk. Tenggelam dalam mencari
itulah yang kemudian membuat seorang seniman seperti menemukan hidupnya
sendiri. Kadang-kadang sikap itu membuatnya seolah-olah anti sosial, sulit
untuk melakukan interaksi dengan pihak lain, bahkan dengan keluarga sendiri.
Sikap
tersebut membuat mereka menjadi ”terpinggirkan”. Seorang seniman seperti
mencari dunianya sendiri dan bahkan seperti terasing dari kehidupan riil.
Sikap berkesenian dianggap sebuah ketidakwajaran. Mengabdi pada estetika dan
kebenaran yang sifatnya personal mungkin juga justru bertentangan dengan
kaidah umum. Seorang seniman yang akan menghasilkan karya seperti seorang ibu
yang akan melahirkan anaknya. Menjadi sensitif dan susah ditebak maksudnya.
Berkesenian
adalah sebuah kerelaan. Rela untuk tidak dipahami dan rela untuk tidak
dimengerti. Tidak ada definisi yang tepat untuk mengatakan mengapa seorang
seniman rela untuk menghabiskan hidupnya untuk sebuah konsep kesenian yang
diyakininya. Dengan mengorbankan nilai riil yang dipahami manusia lainnya
sebagai sinyal kebahagiaan. Ada seniman yang rela untuk berpisah dengan
keluarganya, menghabiskan banyak uang atas nama kesenian.
Laura
H Chaplan dalam Instant Art, Instant
Culture: The Unspoken Policy for American Schools (1982) mengatakan bahwa
kesenian mempunyai fungsi memberi arti pencerahan bagi masyarakat. Sebuah
pencerahan tidak selalu diresepsi dengan tepuk tangan dan penghargaan di atas
panggung. Bisa jadi hanya menjadi serpihan daun di atas tanah, yang hancur
perlahan tetapi menjadi penyubur bagi bumi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar