Menggugat
Jurus Antikemiskinan
Khudori ; Anggota
Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat,
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia
(AEPI),
Penulis Buku “Ironi Negeri Beras”
|
KORAN
SINDO, 15 Juli 2014
Badan
Pusat Statistik (BPS) pada 1 Juni lalu merilis angka kemiskinan: per Maret
2014 angka kemiskinan mencapai 28,28 juta orang (11,25% dari total penduduk),
naik 0,11 juta jiwa dari tahun sebelumnya sebesar 28,17 juta orang.
Tahun-tahun sebelumnya angka kemiskinan turun, tapi penurunannya melandai.
Menurut
BPS, penduduk miskin di Indonesia ada pada taraf susah untuk diturunkan.
Mengapa ini terjadi? Di mana salahnya? Pertumbuhan ekonomi Indonesia 2013
mencapai 5,78%. Meski menurun ketimbang tahun sebelumnya, tingkat pertumbuhan
ekonomi masih bisa dijaga di atas 5%. Sebetulnya pertumbuhan masih tinggi.
Namun, kemampuan pertumbuhan dalam menciptakan lapangan kerja (baca:
menurunkan kemiskinan) makin menurun. Saat Orde Baru tiap 1% pertumbuhan
ekonomi bisa menciptakan lebih 400.000 lapangan kerja.
Namun
pada 2011 dan 2012 lapangan kerja yang tercipta hanya 225.000 dan 182.000.
Sebetulnya pemerintah memiliki komitmen besar untuk menekan kemiskinan. Ini
bisa dilihat dari komitmen anggaran. Sejak 2005, anggaran antikemiskinan
melonjak drastis. Alokasi anggaran antikemiskinan meningkat dari Rp23,4
triliun pada tahun 2005 menjadi hampir Rp100 triliun pada 2012 atau naik
lebih empat kali. Ironisnya, meskipun anggaran terus meningkat sejak tahun
2009 terjadi gejala berupa tumpulnya jurus-jurus antikemiskinan dalam
menurunkan jumlah warga miskin.
Pada
2008 untuk melepaskan satu orang dari kemiskinan membutuhkan biaya Rp30 juta,
namun pada 2012 biayanya Rp100 juta atau lebih dari tiga kali lipat. Ini bisa
dilihat dari anggaran Rp100 triliun pada 2012, namun jumlah warga yang lepas
dari kemiskinan hanya 1 juta (Prakarsa,
2012). Pada 2012, seseorang masuk kategori miskin apabila pengeluarannya
kurang dari Rp249.000 per bulan atau sekitar Rp3 juta per tahun. Jika untuk melepaskan
seseorang dari kemiskinan memerlukan biaya Rp100 juta, berarti ongkos
pengurangan kemiskinan nilainya sudah lebih dari 30 kali lipat dari ukuran
kemiskinan itu sendiri.
Karena
itu, amat relevan mempertanyakan efektivitas dan efisiensi jurus antikemiskinan.
Mengapa program-program antikemiskinan makin tumpul dan tidak mujarab? Apa
masalahnya? Pada era Presiden SBY, program antikemiskinan dibagi jadi tiga
kluster. Kluster pertama berupa bantuan dan perlindungan sosial pada keluarga
kurang mampu, seperti beras untuk rakyat miskin (raskin), Jaminan Kesehatan
Masyarakat (Jamkesmas), Program Keluarga Harapan, dan Bantuan Operasional
Sekolah. Kluster kedua berupa program dan anggaran berbasis masyarakat, yang
dilaksanakan melalui Program Nasional Pemberdayaan Mandiri (PNPM).
Warga
yang miskin didampingi dan diberdayakan. Kluster ketiga dilakukan
pemberdayaan UMKM dan penyediaan kredit usaha rakyat (KUR). SBY menyebut
kluster pertama sebagai pemberian ”ikan” bagi rakyat miskin dan hampir
miskin. Kluster kedua dianalogikan sebagai pemberian ”kail” agar warga lebih
mandiri. Dan kluster ketiga ibarat pemberian ”perahu”. Diharapkan masyarakat
kecil bisa mengembangkan usahanya sendiri, bahkan menciptakan lapangan kerja
bagi orang lain.
Pengelompokan
kluster bisa dipahami karena kelompok miskin tidak homogen. Pertanyaannya,
jika pada kluster pertama hanya diberi ”ikan”
tanpa jurus pemberdayaan, apakah itu tidak menimbulkan ketergantungan pada
diri kelompok paling miskin itu? Bagaimanapun kelompok kluster pertama tetap
mempunyai potensi pengembangan, bukan sekadar ”hidup dari pemberian”. Karena itu, pada kluster pertama porsi
”ikannya” lebih besar daripada kelompok lain agar bisa survive. Namun, pada saat bersamaan mereka juga perlu diberi
kail.
Kalau
tidak, selamanya mereka miskin dan tidak berdaya. Pada titik ini perlu
mendudukkan kail dan ikan dalam penanganan kemiskinan secara proporsional.
Dalam realitasnya, keduanya tidak bisa dipisahkan. Misalnya tukang bakso.
Setelah punya modal bisa berjualan bakso dengan pendapatan sehari Rp50.000.
Tapi begitu si tukang bakso sakit, karena dia satu-satunya tulang punggung
keluarga, gerobak bakso dijual lantaran tidak punya kartu sehat. Pemberian
ikan dalam bentuk bantuan langsung juga tidak selamanya membuat orang miskin
malas dan tergantung negara.
Syaratnya
sasaran, kriteria, dan mekanisme harus jelas. Visinya pun harus jangka
panjang, bukan sekadar proyek yang sporadis ala BLT sebagai kompensasi
kenaikan BBM. Persoalan lain menyangkut fokus program. Anggaran antikemiskinan
ditebar pada 51 program yang menyebar hampir di semua kementerian/lembaga.
Akibatnya, terjadi tumpang tindih, bahkan repetisi program yang ujungujungnya
penghamburan anggaran. Akan lebih baik jika penanggulangan kemiskinan
dikumpulkan dalam satu lembaga, sehingga pelaksanaan program lebih
bermanfaat, efektif, dan efisien.
Apa
yang paling mengkhawatirkan adalah upaya antikemiskinan akan gagal seperti
yang sudahsudah. Sudah tidak terhitung program dan usaha pemerintah untuk
memberdayakan ekonomi rakyat miskin. Tanpa mengecilkan hasilnya, sejatinya
jumlah warga miskin masih banyak. Pada titik inilah patut mempertanyakan
keampuhan jurus antikemiskinan. Ada keperluan mendesak untuk mengevaluasi
secara menyeluruh jurus dan program-program antikemiskinan.
DPR
ada baiknya membentuk panitia khusus guna memeriksa dan mengevaluasi kinerja
anggaran penanggulangan kemiskinan pemerintah. Pansus bisa saja membentuk tim
independen yang diberi tugas mengaudit dan mengevaluasi kinerja
penanggulangan kemiskinan. Audit ini untuk memeriksa dampak, efektivitas,
efisiensi, potensi kebocoran atau penyelewengan anggaran antikemiskinan.
Temuan tim akan jadi rekomendasi bagi pemerintah untuk merancang ulang jurus
antikemiskinan yang ampuh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar