Menentukan
Presiden Terpilih
Denny Indrayana ;
Guru Besar Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
|
KOMPAS,
15 Juli 2014
Indonesia
memasuki fase penting. Insya Allah tidak genting, terkait penentuan presiden
terpilih 2014. Ketika hanya ada dua pasang calon presiden-calon wakil
presiden, kampanye yang sangat dinamis, terbelah duanya dukungan media,
khususnya televisi berita; sebenarnya tidak sulit memprediksi bahwa perbedaan
perolehan suara yang ada akan sangat tipis.
Sayangnya,
di tengah kompetisi yang ketat demikian, hitung cepat (quick count) yang dilakukan berbagai lembaga survei juga terbelah
dua, padahal seharusnya tidak. Dengan metodologi statistik yang harusnya
sama, hitung cepat sewajibnya menghasilkan prediksi hitungan suara yang tak
berbeda.
Lima tahapan
Yang
juga tidak boleh berbeda adalah: kesabaran revolusioner kita untuk menunggu
hasil akhir Pilpres 2014. Mengacu kepada Peraturan Komisi Pemilihan Umum
(KPU) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Tahapan dan Jadwal Pilpres 2014, setelah
pelaksanaan pemungutan suara pada 9 Juli yang lalu, mungkin masih ada lima
tahapan lagi untuk Indonesia betul-betul mempunyai presiden terpilih.
Tahapan-tahapan
tersebut: rekapitulasi penghitungan suara (10-22 Juli), penetapan hasil
pilpres oleh KPU (21-22 Juli), perselisihan hasil pilpres melalui putusan
Mahkamah Konstitusi (4-21 Agustus), penetapan hasil pilpres oleh KPU setelah
putusan MK (22-24 Agustus 2014), dan pengucapan sumpah/janji presiden dan
wakil presiden terpilih (20 Oktober). Kita patut bersyukur karena hanya ada
dua pasangan calon setelah putusan Mahkamah Konstitusi No 50/PUU-XII/2014,
tak perlu ada pilpres putaran kedua, yang kalau ada tentunya membuat proses
lebih lama.
Meski
tanpa pilpres putaran kedua, melihat lima tahapan yang masih panjang
demikian, tentu kita berdoa, presiden terpilih sudah dapat diketahui dalam
tahapan yang lebih pendek, yaitu setelah penetapan hasil pilpres oleh KPU
pada 22 Juli, tanpa harus ada perselisihan hasil pilpres di MK.
Hal
demikian tentu adalah kondisi paling ideal. Itu artinya, proses rekapitulasi
pada semua tingkatan berjalan lancar dan adil, tanpa masalah, tanpa
kecurangan, sehingga hasil akhir perolehan suara yang ditetapkan KPU dapat
diterima oleh kedua pasangan. Itu maknanya, pasangan yang kalah akan berjiwa
besar dan legawa mengakui keunggulan pasangan capres lainnya sebagai
pemenang. Hal demikian tentu bukanlah hal yang tidak mungkin. Dalam beberapa
kesempatan, pasangan capres telah secara terbuka mengatakan bukan hanya siap
untuk menang, tetapi juga siap untuk kalah.
Pada
22 Juli adalah kesempatan untuk konsisten melaksanakan janji siap kalah
tersebut. Tentunya, jika rekapitulasi yang dilaksanakan KPU dilakukan dengan
profesional, jujur, dan adil. Untuk itulah, kita harus ikut aktif mengawasi
dan membantu KPU agar pelaksanaan rekapitulasi betul-betul berjalan tanpa
intervensi dan kecurangan.
Kebesaran
jiwa kandidat yang menerima kekalahan dalam kontestasi pemilihan pemimpin
negeri ini bukanlah ahistoris. Meskipun jarang terjadi, kita masih ingat dan
mencatat dengan tinta emas bagaimana Fauzi Bowo dengan penuh kebesaran jiwa
menerima hasil rekapitulasi KPU DKI Jakarta, bahkan hasil quick count, dan mengakui kekalahannya
dari Joko Widodo. Dengan demikian, Pemilihan Gubernur Jakarta pada 2012 tidak
perlu melalui tahapan perselisihan hasil pemilu di MK.
Sengketa di MK
Saya
sungguh berdoa agar sejarah demikian kembali berulang pada Pilpres 2014. Akan
sangat melegakan dan membanggakan ketika KPU telah bekerja melakukan
rekapitulasi suara secara profesional, jujur, dan adil, pihak yang kalah
legawa menerima dan pihak yang menang tidak jemawa tertawa.
Jika
skenario ini yang terjadi, potensi konflik dapat lebih mudah dicegah dan
rekonsiliasi di tengah warga bangsa setelah Pilpres 2014 dapat segera
dimulai.
Namun,
sayangnya, kita juga harus bersiap-siap jika ternyata penetapan suara dan
pemenang pilpres oleh KPU pada 22 Juli tidak diterima salah satu pasangan
capres. Maka, penentuan Presiden RI terpilih, sesuai aturan konstitusi kita,
akan ditentukan oleh sembilan hakim konstitusi, atau lebih tepatnya, oleh
minimal lima hakim konstitusi. Berdasarkan skenario ini,
persidangan-persidangan di MK harus pula kita kawal agar berjalan dengan
adil.
Yang
harus kita pastikan adalah: putusan MK wajib sejalan dengan daulat rakyat
yang telah diberikan pada 9 Juli 2014. Karena itu, sekali lagi, sangat
penting untuk memastikan rekapitulasi suara yang dilakukan oleh KPU adalah
benar sehingga MK lebih mudah memutuskan, yaitu cukup dengan menguatkan
penetapan pemenang pilpres berdasarkan hasil rekapitulasi 22 Juli. Tentu,
akan sangat berbahaya jika putusan MK berbeda dengan rekapitulasi KPU yang
dilakukan dengan akurat.
Sebaliknya,
jika rekapitulasi KPU 22 Juli tidak tepat serta terdapat kecurangan yang
memang berpengaruh pada penentuan pemenang pilpres, MK wajib memutuskan
berbeda dengan hasil rekapitulasi KPU. Namun, skenario ini mengandung potensi
konflik yang lebih besar, di samping juga sangat sulit pembuktiannya di dalam
persidangan di MK yang dibatasi waktu hanya 14 hari kerja untuk memutuskan
(Pasal 201 Ayat (3) UU Pilpres).
Dengan
uraian di atas, perlu kembali ditegaskan bahwa penentuan presiden terpilih
2014 akan sangat ditentukan oleh kinerja rekapitulasi suara di KPU dan
mungkin persidangan di MK. Semoga saja, perselisihan hasil suara di MK tidak
terjadi karena kinerja profesional KPU diterima dengan jiwa besar oleh
pasangan capres yang kalah. Jadi, pada 22 Juli kita dapat mengucapkan selamat
datang kepada presiden terpilih, juga terima kasih kepada capres yang rela
menerima kekalahan. Jika tidak, kita terpaksa harus menunggu lebih lama lagi
hingga ada putusan MK pada 21 Agustus (Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2014).
Akhirnya,
mari kita terus berikhtiar dan berdoa, semoga pemungutan suara yang telah
berjalan lancar pada 9 Juli dapat berlanjut dengan proses yang jujur, adil,
dan damai hingga terpilihnya Presiden RI periode 2014-2019. Mari kita
buktikan bahwa demokrasi di Indonesia sudah makin dewasa dan pada 2014 kita
mampu menghentikan kutukan sejarah lama serta melahirkan sejarah baru
peralihan kepresidenan secara lebih damai dan demokratis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar