Kedaulatan
Rakyat Bukan Sekadar Angka
J Kristiadi ;
Peneliti Senior CSIS
|
KOMPAS,
15 Juli 2014
Trajektori
dinamika politik Indonesia pasca reformasi mengalami tingkat pendangkalan
yang pesat sehingga demokrasi yang maknanya rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi dan otentik cukup diganti dengan sederet angka. Oleh
sebab itu, medan politik sesak dengan politisi yang memburu jumlah perolehan
suara dengan segala cara. Kedaulatan rakyat ditukar dengan kertas berangka
(mata uang), bukan karya nyata dari sebuah gagasan atau cita-cita. Mereka
para pemuja angka, menganggap angka sebagai barang keramat yang dapat
mengubah kehidupan mereka secara tiba-tiba menjadi bergelimang harta dan
kuasa. Semakin besar angka yang diperoleh semakin besar kekuasaannya.
Dalam
persaingan yang sengit didorong oleh semangat dan praktik transaksi
kepentingan, pertarungan politik yang seharusnya beradab menjadi persaingan
merebut perolehan angka dengan saling membinasakan. Lawan politik yang
seharusnya menjadi partner dalam memilih kebijakan paling baik bagi
kemaslahatan rakyat dianggap sebagai musuh yang harus dilibas.
Ideologi
pragmatisme yang berlebihan serta mengagungkan dan memuliakan materi bermuara
kepada tindakan merayakan kedangkalan. Fenomena yang oleh Frank Furedi (2006)
dalam bukunya, Where Have All the Intellectuals Gone?: Confronting 21st
Century Philistinism, disebut philistinism: perilaku, kebiasaan, atau watak
yang cenderung merendahkan etika dan budaya, anti intelektual, mengabaikan
keindahan dan estetika, pongah, tetapi berwawasan sempit. Dalam perspektif
ini angka lebih mulia daripada manusia. Kedaulatan rakyat seakan lumpuh oleh
kedaulatan uang (Khrematokrasi, Setya
Wibowo, A; Basis, nomor 05-06, 2014). Membiarkan pemuliaan kedangkalan
berarti menyediakan jalan lapang menuju negara otoritarian atau anarki
sosial.
Ekspektasi
pemilih dapat ditelusuri melalui perdebatan tentang studi perilaku memilih (voting behaviour). Terdapat tiga
mazhab berbeda. Pertama, aliran sosiologi, biasa disebut paham Columbia;
kedua, mazhab psikologi, biasa disebut aliran Michigan; dan ketiga, teori
pilihan rasional (rational choice
theory). Oleh sebab itu, alasan memilih sangat beragam: sentimen, persepsi,
kalkulasi rasional, intuisi, dan lain-lain. Namun, perbedaan tersebut
disatukan oleh satu variabel yang sangat fundamental: harapan pemilih adalah
memperoleh kehidupan lebih baik.
Dalam
Pilpres 2014, dari 12 pollster yang melakukan hitung cepat, delapan lembaga
menghasilkan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla sebagai pemenang; empat yang lain
hasilnya Prabowo-Hatta unggul. Persaingan sengit yang dipicu oleh retorika,
demagogi, dan agitasi politik dikhawatirkan dapat memproduksi pembela fanatik
dan akan memicu konflik di tingkat akar rumput. Sangat disayangkan perdebatan
tersebut hanya terbatas pada metodologi dan sumber dana; tidak menyentuh
persoalan yang sangat mendasar bahwa di balik angka-angka tersebut, termasuk
hasil hitungan suara yang akan diumumkan oleh KPU tanggal 22 Juli 2014,
memuat harapan lebih dari 200 juta rakyat Indonesia untuk segera dapat
menikmati hidup sejahtera. Tidak sedikit pemilih yang harus berjalan kaki
berkilometer atau medan yang sangat sulit untuk menyampaikan harapan dengan
memilih pasangan capres-cawapres pilihannya. Harapan dari pemegang tertinggi
kedaulatan.
Pada
Pilpres 2014 rakyat harus menjadi pemenang sesungguhnya, siapa pun pasangan
capres-cawapres yang memperoleh suara terbanyak. Oleh sebab itu, pilpres
bukan pertarungan hidup atau mati untuk merebut kedudukan politik. Maka,
pertarungan hancur-hancuran, tiji tibeh
(mati siji mati kabeh atau mati
satu mati semua), harus disingkirkan jauh-jauh dari niat dan pikiran. Untuk
itu, kedua kubu jangan ”girang-girang
gumuyu”, mengumbar kegembiraan yang belum pasti terjadi. Sebaiknya,
berjiwa kesatria dan mempersiapkan diri menerima dengan ikhlas putusan
rakyat.
Bagi
pasangan capres-cawapres yang menang, harus selalu ingat bahwa rakyat bukan
hanya memerlukan presiden. Rakyat mendambakan pemimpin yang dengan karya
nyata dapat menggugah nurani, bukan emosi, seluruh komponen bangsa untuk
bangkit dan melakukan perubahan. Selain itu, rakyat juga memerlukan pemimpin
yang mempunyai semangat petarung yang pantang menyerah memadamkan orgy korupsi yang telah merusak saraf
tubuh negara sehingga eksistensi negara nyaris tiada. Indonesia memerlukan
pemimpin yang memanusiakan manusia, bukan menjadikan insan manusia sekadar
agregat angka; serta melaksanakan mandat kekuasaan dari rakyat dengan adil, melayani,
bijak bestari, dan legawa demi kemaslahatan rakyat.
Harapan sangat besar dilimpahkan kepada pasangan capres-cawapres yang akan
memenangi kompetisi. Tidak berlebihan kalau para pelaku yang memanipulasi
data pilpres adalah pelaku kejahatan luar biasa.
Bulan
Ramadhan yang suci dan penuh berkah ini merupakan kesempatan sangat baik
untuk melakukan ijtihad, terutama
berkenaan dengan menata hidup bersama melalui proses kompetisi politik agar
menghasilkan pemegang kekuasaan yang amanah. Rivalitas politik adalah bagian
dari mengukir peradaban kekuasaan yang memuliakan dan mendahulukan
kepentingan rakyat. Kalah atau menang harus dikembalikan kepada pemilik
kedaulatan, yaitu rakyat. Kalau setiap kompetisi politik selalu menuju pada
kemenangan rakyat, kualitas kehidupan politik dapat dipastikan semakin
menyuburkan budaya politik yang beradab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar