Kejadian
Goenawan Mohamad ; Mantan
Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Esais
|
TEMPO.CO,
21 Juli 2014
Do I contradict
myself? Very well, then I contradict myself.
I am large. I contain
multitudes.
Walt Whitman
Puluhan ribu orang
berhimpun di sebuah sore yang tak terduga-duga: berlapis-lapis antusiasme,
bertimbun-timbun harapan, juga cemas, berbaris-baris wajah yang tak cuma
menatap kaku dan pasif.
Saat itu, dalam ruang itu
berlangsung sebuah transformasi: kemeriahan itu seketika jadi sebuah
"kami". Sebuah Kami yang siap. Sebuah Aku yang yakin. Sebuah subyek
yang, dari saat ke saat, mengutuhkan dirinya.
Di Stadion Gelora Bung
Karno, Jakarta, 5 Juli 2014, konser dua jam untuk Jokowi itu sudah tentu
bukan cuma sebuah perhelatan musik; tapi juga bukan hanya satu elemen
kampanye politik. Saya kira saya menyaksikan sebuah "kejadian".
Dalam hal ini kata
"kejadian" (dengan akar kata "jadi") lebih pas ketimbang
(jika kita ikut-ikut membaca Badiou) "l'événement". Sebab yang
semula tak berbentuk seketika hadir, tanpa digerakkan sebuah sistem, tanpa
bisa dirumuskan dan dinamai.
Di sini saya tak berbicara
tentang sebuah keajaiban. Yang terjadi adalah semata-mata sesuatu yang sangat
langka, sesuatu yang tak bisa diuraikan dengan satu sebab dan satu akibat.
Itu barangkali cirinya: tiap kejadian adalah terobosan dari tatanan
sebab-akibat dan kelaziman yang biasanya berlaku. Ketika dalam politik hari
ini pelbagai hal dukungan di parlemen, demonstrasi di jalanan, pendapat di
media massa biasa diperdagangkan, di Gelora Bung Karno sebaliknya: puluhan
ribu orang, ratusan musikus dan penyanyi, datang ke sana dan aktif di sana
tanpa mendapatkan bayaran atau janji apa pun. Ketika lazimnya ribuan orang
berhimpun dengan tujuan memprotes sesuatu, sore itu, dari tribun dan lapangan
rumput stadion di Senayan itu, tak ada suara marah.
Fenomen penting dalam
Pemilihan Presiden 2014 adalah berduyun-duyunnya ribuan relawan. Dengan
segera "relawan" (dengan tekanan kembali kata "rela")
jadi bagian kosakata politik Indonesia sesuatu yang belum pernah terjadi
dalam sejarah, dan mungkin sesuatu yang kelak akan mengubah hubungan-hubungan
kekuasaan.
Tapi tak hanya itu.
Fenomen lain yang penting: kreativitas dan humor, yang muncul dengan cepat
dan tangkas, dari pelbagai sudut. Nyanyian "Salam Dua Jari" yang sederhana dan pas diciptakan
Slank dan menyebar dari sudut ke sudut. Para perupa menghasilkan kartun (yang
terkenal, Jokowi ditampilkan sebagai Tintin), stiker, poster, desain untuk
kaus, dalam variasi yang hampir tak habis-habis. Para sineas dan pembuat
karya audiovisual memproduksi film pendek dalam YouTube yang cerdas dan
kocak.
Semacam anarki yang
memikat berkecamuk. Tak ada pusat. Tak ada komando. Tapi ada sesuatu yang
terasa hadir di mana-mana: harapan.
Sampai sekarang saya belum
bisa sepenuhnya mengerti benar, mengapa Joko Widodo, tokoh kurus yang tak
pandai berpidato itu, ia bukan Ali Sadikin yang karismatis atau Soeharto yang
serius dan angker, bisa jadi fokus harapan orang banyak. Mungkin karena ia
tampil sebagai seorang pemimpin yang bekerja, tanpa banyak lagak, bersahaja,
bersih. Ia wajah baru ketika politik Indonesia mengecewakan. Tapi mungkin
juga ia, sikapnya, kerjanya, telah mengisi sebuah lambang yang selama ini
kosong: tanpa menjadi seorang suci, ia jadi lambang pemimpin yang "baik",
yang justru tampak sebagai manusia yang tak istimewa.
Apa itu "baik"?
Tak bisa dirumuskan. Tapi "yang-baik" itu sebenarnya hadir tiap
hari dalam pergaulan manusia, kita mengenalnya dalam pertolongan dan
pemberian yang ikhlas, dan sebab itu bukan keajaiban. Hanya, ketika pada
suatu masa "yang-baik" itu terasa hilang, ia berubah jadi harapan
yang intens. Juga sesuatu yang universal.
Sore itu, di Gelora Bung
Karno, dalam gairah ribuan orang itu, yang universal sejenak singgah. Bukan
dari langit, melainkan dari debu jalanan yang melekat di keringat orang yang
berharap. Sebuah "Kami" pun lahir. Tapi pada saat itu, sebenarnya
bukan hanya "Kami", melainkan juga "Kita".
Saya menyaksikan kejadian
itu. Saya tak bisa merumuskannya dan saya kira ia bukan sesuatu yang bisa
dirumuskan secara tetap. Tapi bagaimanapun, sore itu saya melihat bahwa
politik, dengan akar kata polis ("kota" atau "negeri"),
tak hanya satu wajah. Politik bukan hanya sebuah ketegangan dengan
"Mereka". Ia juga sebuah proyek "Kami-Kita". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar