Dul
Putu Setia ; Pengarang,
Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO,
19 Juli 2014
DUL bebas dari jerat
hukum. Putra musikus Ahmad Dhani dengan nama panjang Abdul Qodir Jaelani ini
masih di bawah umur. Tapi dia sudah biasa mengemudikan mobil di jalan umum.
Lalu di hari sial itu dia menabrak orang, dan korbannya tewas. Dalam
persidangan, jaksa menuntut hukuman 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2
tahun. Artinya, Dul tak akan dipenjara, kalau dia tak melakukan kesalahan
yang sama. Toh, hakim memutuskan lebih ringan: bebas.
Artinya, kalaupun Dul
suatu kali menabrak lagi, tak serta-merta masuk penjara.
Karena Dul dan bapaknya
selebritas yang kerap muncul di televisi, berita bebasnya Dul banyak diikuti
oleh orang-orang di desa saya. Para petani kopi itu langsung bergembira atas
kabar ini. Mereka mengidolakan Dul? Bukan itu alasannya. Orang-orang desa itu
kini tak waswas lagi melihat anaknya ngebut menggunakan sepeda motor. "Ya, lebih tenanglah. Kalaupun anak
saya menabrak orang, toh tak akan dihukum, kan di bawah umur," kata
salah satu tetua.
Anak-anak di kampung saya
bersekolah di SMP yang jaraknya empat kilometer. Pernah ada imbauan dari
polisi agar anak-anak SMP tak boleh naik sepeda motor, karena sekolah berada
di jalan umum. Hanya siswa SMA yang boleh naik motor, meski tanpa SIM dan
helm, karena sekolahnya tidak dilalui jalan umum. Tapi imbauan itu tak
dipatuhi karena memang tidak ada angkutan pedesaan yang membawa anak-anak
pelajar ini. Jadilah siswa SMP yang baru belasan tahun naik motor. Dasar
anak-anak, di jalan mulus itu mereka suka ngebut. Kalau saya berpapasan
dengan mereka habis bubar sekolah, saya jadi rajin berdoa. Setiap kali berada
di tikungan mobil, saya hampir ditabrak anak-anak ini.
Dul bebas dari hukuman.
Saya sepakat, karena saya buta hukum. Kesepakatan saya karena faktor kasihan,
anak di bawah umur tak layak dipenjara. Tetapi saya selalu berpikir, mesti
ada yang salah kalau ada anak di bawah umur membawa motor atau mobil di jalanan.
Siapa yang salah? Saya kok merasa, orang tuanya yang bersalah.
Saya buta hukum, tapi saya
tahu aturan berlalu lintas. Orang tua seharusnya mengawasi anak-anaknya jika
mengemudikan mobil di jalan umum. Kalau kecelakaan, risikonya berat, apalagi
kalau ada korban jiwa. Eh, itu dulu. Kini ada yurisprudensi dari Dul, tak ada
seorang pun yang dihukum, baik si anak apalagi si bapak. Dul hanya membayar
uang sidang Rp 2.000-sungguh mati saya terheran-heran sampai tidur bagaimana
majelis hakim menghitung biaya sidang ini.
Apakah polisi berani
dengan gencar merazia pengendara sepeda motor (dan mobil) seperti dulu dengan
mendenda pemakai yang tanpa SIM? Atau melarang anak-anak di bawah umur
mengendarai motor di jalur yang jauh dari sekolahnya? Mungkin tidak, karena
polisi takut dicemooh: "Jangan
berlagak Pak Polisi, Dul yang nabrak orang saja bebas, kan dia juga tak punya
SIM." Wow, kalau begitu,
hakim yang mengadili Dul semestinya memberi denda lebih dari sekadar Rp 2.000
sebagai pengganti tilang (bukti pelanggaran) tak punya SIM.
Jaksa menuntut Dul telah
melanggar Pasal 310 ayat 4, ayat 3, dan ayat 1 UU Nomor 2 Tahun 2009 tentang
lalu lintas dan angkutan jalan. Hakim pun sepakat. Tapi hakim menerapkan asas
restorative justice UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan anak,
lalu memutuskan Dul "dikembalikan
ke orang tuanya"-padahal Dul tak pernah "dipinjam". Pertanyaan besar saya, bagaimana dengan
tiga anak yang dihukum karena mencuri kerupuk di Bojonegoro? Ketiga anak itu
dihukum penjara 2 bulan 7 hari karena melanggar Pasal 363 ayat 1 KUHP. Mari kita bertanya pada rumput yang
bergoyang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar