“Groupthink”
dan Kritik Diri
Kristi Poerwandari ;
Kolumnis “Konsultasi
Psikologi” Kompas
|
KOMPAS,
13 Juli 2014
Hampir
semua keputusan di dunia ini merupakan hasil dari proses pengambilan
keputusan kolektif. Karena itu, kita perlu memahami, bukan saja bagaimana
sistem keyakinan para individu pemimpin, melainkan juga matriks hubungan
sosial dan dinamika yang melingkupi para tokoh kunci itu dalam mengambil
keputusan.
Mencoba
lebih memahami berbagai halangan bagi proses pengambilan keputusan kelompok
secara efektif dan etis, berbagai bacaan mengarahkan saya pada konsep
groupthink. Istilah groupthink pertama kali ditelurkan Irving Janis (1972,
1982). Istilah itu menunjuk pada situasi ketika kelompok mengambil keputusan
secara salah karena tekanan dalam kelompok telah sedemikian rupa mengarahkan
kelompok pada menurunnya ”efisiensi mental, kemampuan menguji realitas, dan
penilaian moral” dari anggota-anggotanya.
Groupthink
adalah fenomena psikologis di mana tekanan dalam kelompok telah sedemikian
rupa menyebabkan individu-individu mengesampingkan keyakinan personalnya
sendiri dan kemudian mengadopsi opini dari kelompok. Individu yang
berpandangan berbeda akan berusaha diam, memilih menjaga kedamaian dalam
kelompok daripada mengganggu kesepakatan atau keseragaman yang diciptakan
kelompok.
Janis
menjelaskan bahwa tuntutan keseragaman dan loyalitas dapat ditumbuhkan dalam
kelompok sedemikian rupa sehingga hal tersebut mengganggu efisiensi kognitif
dan penalaran moral. Janis meneliti beberapa kasus pengambilan keputusan
politik dan menemukan dalam kasus-kasus tersebut, anggota kelompok dimotivasi
untuk mempertahankan kehormatan kelompok sehingga menjadi sulit untuk
melontarkan pandangan berbeda dan kritis terhadap satu sama lain.
Proses
dalam kelompok menciptakan situasi sedemikian rupa sehingga anggota kelompok
terhalang untuk berhubungan dengan pihak-pihak luar yang kompeten dan
berkualifikasi baik. Karena itu, kelompok gagal mengembangkan prosedur yang
sistematis untuk mencari dan mengevaluasi fakta-fakta baru. Pemimpin-pemimpin
kelompok mempromosikan pandangan mereka saja dan kurang memotivasi analisis
terbuka terhadap situasi. Keputusan diambil dalam tekanan yang menyulitkan
hadirnya proses berpikir yang jernih sehingga para anggota meragukan ada
pilihan lain yang lebih baik selain daripada yang dipikirkan kelompok secara
tertutup.
Janis
mendokumentasi beberapa gambaran gejala groupthink, antara lain ilusi
mengenai kehebatan kelompok yang akan menciptakan optimisme berlebihan,
rasionalisasi kolektif di mana anggota-anggota tidak mempertanyakan kembali
asumsinya dan tidak peduli pada petunjuk mengenai fakta yang berbeda. Sering
pula tampil keyakinan bahwa kelompok secara inheren (dari awalnya) lebih
benar atau bermoral dan karena itu berhak mengambil tindakan-tindakan
tertentu, sementara kelompok lain lebih negatif. Dengan cara pandang
hitam-putih tersebut, tuntutan untuk selalu mengambil keputusan dengan
mempertimbangkan sisi etis jadi berkurang, bahkan mungkin terlupakan. Ada
penekanan terhadap anggota kelompok yang menunjukkan sikap dan pandangan
berbeda, mereka dipaksa atau memaksa diri untuk diam karena anggota kelompok
diharuskan berpandangan seragam.
Terakhir
yang juga penting, ada self-appointed mindguards, yakni anggota-anggota
kelompok yang mengambil sikap untuk menutup atau melindungi kelompok dan
pemimpinnya dari informasi yang problematik atau bertentangan dari pandangan
atau keyakinan kelompok. Maka, yang terjadi adalah meski fakta berbicara
berbeda, yang diyakini dan dianggap sebagai kebenaran adalah opini kelompok.
Kritik diri dan sikap etis
Knowledge
is power, pengetahuan adalah kekuasaan. Sayangnya, sekarang yang dianggap
sebagai pengetahuan dan kebenaran sudah tidak jelas lagi akibat kecanggihan
pemanfaatan teknologi informasi. Media memegang kendali sangat besar mengenai
apa yang dapat diberitakan, di mana fakta dan opini dapat dicampur aduk
sedemikian rupa sehingga menyulitkan kita mengerti apa yang sesungguhnya
terjadi. Rekayasa dapat disusun bertumpuk-tumpuk sedemikian rupa sehingga
untuk menelusur yang aslinya diperlukan upaya yang luar biasa.
Semua
kelompok rentan terhadap berkembangnya groupthink. Untuk menghindarinya,
diperlukan keterbukaan dan kritik diri. Pemimpin perlu menugaskan anggota
kelompok yang pekerjaannya adalah menjadi evaluator kritis terhadap kelompok.
Pemimpin perlu mendengarkan suara anggota-anggotanya, tidak hanya menetapkan
preferensinya sendiri. Untuk menghindari blunder dari groupthink, perlu ada
mekanisme di dalam kelompok untuk secara rutin mengevaluasi kebijakan dan
programnya, dalam perbandingan dengan fakta empiris yang terus dikumpulkan di
lapangan, dan dengan menyimak narasumber dari luar yang kompeten dan
tepercaya untuk memperoleh masukan kritis terhadap kelompok.
Kita
mengasumsikan dan harus terus memperjuangkan agar sikap etis menjadi panglima
utama, justru karena itu sikap kritis pada diri sendiri merupakan hal sangat
penting. Apabila kelompok telah menggiring kita untuk berbuat tidak etis dan
membahayakan masyarakat, biarlah kita keluar dari kelompok itu. Biarlah
orangtua memberikan teladan bagi anak-anaknya, guru menjadi teladan bagi
murid-muridnya, pemimpin menghadirkan contoh bagi anak buahnya untuk menjadi
manusia yang menjunjung tinggi etika dan integritas diri.
Biarlah
kita membawa diri sendiri dan kelompok agar dalam persaingan dapat menjadi
pemenang yang rendah hati dan santun. Apabila gagal, tetap tersenyum tegak
menatap ke depan karena telah menjunjung etika dan integritas diri. Pada
akhirnya, ketika semua mengambil sikap kritis pada diri sendiri dan
menjunjung integritas diri dan kelompok, sesungguhnya tidak ada yang kalah,
semua adalah pemenang, semua bekerja sama untuk hal yang lebih penting
daripada kotak-kotak kelompok. Semoga
Yang Maha Kuasa memberkati kita semua dan memberkati negara kita tercinta,
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar