Euforia
Putu Setia ; Pengarang, Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO,
13 Juli 2014
Yang saya cintai, segenap
anak bangsa. Pekan lalu, di kolom Cari
Angin ini, saya mendapat kiriman sepucuk surat yang baru pada alinea
terakhir saya ngeh bahwa surat itu ditujukan kepada saya. Perkenankan saya
membalasnya saat ini.
Inisial nama saya memang
PS. Tentu saja bukan Prabowo Subianto, calon presiden yang kini menunggu
pengumuman dari Komisi Pemilihan Umum. Tak ada hubungan saya dengan beliau
sekecil apa pun, bahkan serambut dibelah tujuh pun tak ada. Prabowo seorang
jenderal dan kebetulan pula kaya raya. Modal yang cukup untuk menjadi seorang
calon presiden.
Saya pernah berpikir untuk
mencoblos pada pemilu presiden, semata menghormati orang yang mau repot jadi
calon presiden. Tapi saya diingatkan oleh istri, niat mencoblos itu-siapa pun
yang dicoblos-harus diurungkan. Sejak pemilu 1971, saya mencoblos dengan
berdarah-darah-ini bukan kiasan-kenapa Pemilu 2014 ini saya harus golput?
Saya diingatkan, pemilu di Indonesia-negeri saya tercinta-masih primitif
dengan syarat mencelupkan jari ke tinta. Tujuannya, agar pemilih tidak
curang, mencoblos berkali-kali.
Sekarang saya jadi makhluk
ajaib, di mana setiap benda yang mau melekat atau masuk ke tubuh saya harus
dalam wujud suci sesuai dengan keyakinan agama saya. Ini merepotkan kalau
saya mencoblos. Tentu saya ditertawai jika datang ke TPS membawa sesajen
untuk "menyucikan tinta" itu. Lagi pula, dengan aturan bahwa saya
harus mencelupkan jari ke tinta, berarti kejujuran saya
diragukan-jangan-jangan saya berniat curang nyoblos di tempat lain lagi.
Saya membatin: "Siapa pun presidennya, pemilu nanti
harus lebih modern, misalnya dengan sistem e-voting. Minimal administrasi
kependudukan diperketat sehingga orang bisa memilih tanpa harus mencelupkan
jari ke tinta." Belum sempat pikiran ini dirumuskan sebagai usul,
tiba-tiba anak saya sudah memamerkan kedua jarinya yang bertoreh tinta ungu.
Cucu saya usia empat tahun juga ikut-ikutan jarinya berisi tinta sambil
teriak: "Salam dua jari,
Kakek."
Astaga, ada euforia baru pada pemilu presiden sekarang.
Orang yang dulu cuek ramai-ramai mencoblos dan memamerkan jari bertinta
termasuk meng-upload di media
sosial. Tinta itu tiba-tiba jadi lambang dukungan.
Teman yang saya cintai.
Inisial nama saya memang PS, tapi bukan Prabowo Subianto. Saya orang
sederhana dan bahkan pada dasarnya pelit. Saking pelitnya saya bertanya
kepada anak saya, untuk apa pulang kampung hanya mencoblos dua kertas-bersama
istrinya-padahal harus membeli bensin Rp 150 ribu, belum lagi makanan? "Untuk Jokowi, presiden yang bukan
siapa-siapa. Kalau dia menjadi presiden maka anak-anak desa terbuka
peluangnya menjadi presiden, meski ayahnya bukan jenderal, bukan pengusaha
minyak, bukan berdarah keraton." Jawaban anak saya ini terganggu
oleh teriakan cucu saya: "Salam
dua jari, Kakek."
Entah anak saya bergurau
atau serius. Tapi kata-kata yang mirip seperti itu menjadi magnet
berbondong-bondongnya orang mendukung Jokowi, padahal mereka tak pernah
disapa partai banteng moncong putih. Megawati boleh saja menangis menyambut
kemenangan (versi hitung cepat) Jokowi, tetapi saya kira ia harus secepatnya
membenahi partainya. Surya Paloh, Wiranto, Muhaimin Iskandar, juga harus
memperbaiki pengkaderan di partainya. Lima tahun lagi, belum tentu ada "wabah relawan" seperti
euforia orang yang mendukung Jokowi saat ini. Apalagi sistem pemilu
diserentakkan antara legislatif dan presiden. Kalau saat itu mesin partai
mandek, jangan diharapkan calon presidennya terpilih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar