Minggu, 22 Juni 2014

Sang Jenderal Terbang ke Luar Negeri

Sang Jenderal Terbang ke Luar Negeri

Teuku Kemal Fasya  ;   Antropolog asal Aceh, Mantan aktivis 1998
SINAR HARAPAN,  20 Juni 2014
                                               
                                                                                         
                                                      
Tak banyak orang mengira Jusuf Kalla akan membuat pertanyaan seberani itu dalam forum debat calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) di Balai Sarbini, Jakarta, 9 Juni. Pertanyaan “bagaimana Anda menyelesaikan masalah pelanggaran HAM di masa lalu?” telah mendorong publik saat ini untuk berhasrat mengetahui kebenaran seputar masa lalu yang kelam dan buram itu.

Kisah yang jarang dieksplorasi saat ini adalah pascaputusan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) ABRI 21 Agustus 1998. Keputusan itu sendiri adalah lanjutan proses “pelucutan jabatan” Pangkostrad Prabowo oleh Habibie 22 Mei 1998.

Pelucutan itu didasarkan pada pergerakan ilegal pasukan Kostrad ke Ibu Kota dan berkonsentrasi ke kediaman pribadi presiden baru itu. Kisah itu diulas Habibie dalam memoarnya, Detik-detik yang Menentukan (2006). Meskipun demikian, keputusan DKP lebih pada kasus penculikan yang melibatkan Prabowo saat menjabat Danjen Kopassus.

Tak lama setelah itu, Prabowo akhirnya “menghilang” dari Indonesia dan “terbang” ke Yordania. Di sana, bertahun-tahun ia mengembangkan bisnis berkat jasa baik koleganya, Pangeran Abdullah yang kemudian menjadi raja. Pelarian ke luar negeri tanpa izin itu pula yang akhirnya menyebabkan Prabowo dipecat Habibie dari kemiliteran berdasarkan SK bertanggal 20 November 1998.

Kisah Fujimori

Kisah Prabowo ini memiliki kesamaan dengan kisah diktator Peru, Alberto Fujimori. Seperti dituliskan pengacara kasus HAM Peru, Ronald Gamarra, A Leader Takes Flight: The Indictment of Alberto Fujimori (dalam Ellen L Lutz dan Caitlin Reiger, 2009).

Peru adalah negara yang memiliki problem pelanggaran HAM dan korupsi terparah pada era 1980-2000. Seperti dicatat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Peru, pada masa itu tercatat 69.280 jiwa menjadi korban kekerasan, penculikan paksa, dan pembunuhan.

Kekerasan dipicu kebijakan pemerintah memberlakukan operasi militer demi meredam pemberontakan maois, The Shining Path. Kekerasan dan kebrutalan pemberontakan melahirkan reaksi militeristis dari pemerintah sehingga jatuh banyak korban di kalangan sipil. Sebagian besar korban adalah masyarakat pedesaan dan berbahasa Quechua, yang direpresentasikan dengan etnis pemberontak.

Namun, tindakan peredaman pemberontakan telah berubah menjadi skenario pelanggaran HAM sistematis oleh negara. Kasus penculikan dan penghilangan paksa, eksekusi tanpa peradilan, pemerkosaan, dan penyiksaan kerap dialami masyarakat sipil yang dilakukan aparat militer.

Pemerintahan Fujimori bukanlah yang pertama melancarkan operasi militer. Ia adalah pemerintah ketiga setelah rezim Fernando Belaunde (1980-1985) dan Alan Garcia (1985-1990).

Fujimori adalah politikus keturunan Jepang yang berlatar belakang sipil. Ia profesor matematika yang menjadi rektor di Universitas Pertanian Nasional Peru. Ketika menjadi presiden pada 1990, ia didukung kekuatan minoritas di parlemen. Meskipun pemerintahan sipil, Fujimori banyak menggunakan kekuatan militer untuk mempertahankan kekuasaannya.

Pilihannya itu seperti dibenarkan publik pada lima tahun pertamanya. Itu karena slogan populis memberantas terorisme dan penanganan hiperinflasi yang mengaburkan rasionalitas publik.

 Ia pernah melakukan kudeta dirinya sendiri (1992), melaksanakan pemilu setelah itu (1995) yang dimenangi dengan kecurangan, melakukan tindakan nondemokratis seperti memengaruhi kewenangan peradilan, membubarkan Mahkamah Konsitusi, dan membatasi organisasi serta partai politik.

Namun, tindakan kerasnya semakin menjauhkannya dari simpati publik dan dukungan politik internasional. Di tengah gencarnya masyarakat sipil mendesak hukuman atas Fujimori terkait kejahatan HAM dan korupsi, ia memanfaatkan kesempatan pertemuan APEC di Brunei, 14 November 2000, untuk terbang ke Jepang. Jepang akhirnya mengeluarkan status kewarganegaraan bagi Fujimori sehingga ia tak bisa diekstradisi (Lutz and Reger, Prosecuting Heads of State, 2009: 96-98).

Lepas Tanggung Jawab

Kasus Fujimori terjadi dua tahun setelah Prabowo. Beberapa tokoh pelaku pelanggaran HAM tercatat pernah melarikan diri dari negaranya untuk lepas dari tanggung jawab. Di Uganda ada Idi Amin yang melarikan diri ke Libya dan memperoleh suaka politik di Arab Saudi pada 1979.

Presiden Filipina, Ferdinand Marcos, melarikan diri ke Hawaii, AS pada 1986, beberapa saat setelah memenangi pemilu yang ditengarai curang. Presiden Tunisia, Zine al-Abidin ben Ali, melarikan diri ke Arab Saudi pada 2011. Kasus Zine al-Abidin menandakan awal era demokratisasi Arab (Arab spring).

Jika Fujimori melakukan tindakan melarikan diri dan menandakan akhir sejarahnya, Prabowo melakukan itu dan menandakan kelahiran kembali karier politiknya. Setelah kembali dari pengasingan, Prabowo membentuk Partai Gerindra pada 2008 dan terus mengembangkan potensi politiknya. Pertama, sebagai calon wakil presiden (cawapres) dalam Pilpres 2009. Kini, sebagai capres pada Pilpres 2014.

Namun, tetap saja opini tentang keterlibatan kasus pelanggaran HAM dan tindakannya ke luar negeri telah menjadi pohon besar masalah pada saat ini. Saat ini, Prabowo tetap tersandera kasus masa lalu, berbeda jika ia tetap di dalam negeri.

Kita tak mungkin merekayasa sejarah karena kronologi waktu tak mungkin diputar. Namun, jika saja ia tetap di dalam negeri, bersikap kesatria, menuntut keadilan, menghadapi hukum, dan membuktikan ia korban dari skenario institusi militer, tentu bacaan sejarah akan lain. Ia akan menuai simpati dari publik.

Inilah yang membedakan bagaimana sejarah akhirnya memberikan nilai berbeda antara sosok Sumitro Djojohadikusumo dan Muhammad Natsir. Orang yang satu memilih mengasingkan diri ke Singapura, yang satunya lagi rela dipenjara koleganya sendiri. Tinta emas sejarah akan tertoreh kepada yang berani dan tak akan berpihak kepada sang oportunis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar