Politisasi
Nama Soeharto
Ardi
Winangun ; Pengamat Politik
|
OKEZONENEWS,
19 Juni 2014
Janji
calon Presiden Prabowo Subianto untuk mengangkat Presiden Soeharto sebagai
pahlawan nasional memunculkan kehebohkan tersendiri di tengah bersliwerannya
isu soal SARA dan pelanggaran HAM yang menimpa kedua calon Presiden. Bagi
yang masa lalunya mempunyai masalah yang tidak enak dengan kebijakan
Soeharto, pasti janji Prabowo itu akan ditentang bahkan janji itu dianggap
sebagai upaya untuk membangkitkan kembali Orde Baru, sebuah masa di mana
Soeharto memerintahnya dengan gayanya sendiri. Namun bagi pendukungnya,
Partai Golkar misalnya, janji Prabowo itu pastinya didukung secara total.
Isu mengangkat
atau menyebut Soeharto sebagai seorang pahlawan, ini bukan isu pertama yang
muncul. Pada Tahun 2009, PKS dalam sebuah iklannya menyebut Soeharto sebagai
seorang pahlawan berdiri sejajar dengan Soekarno, Ahmad Dahlan, Hasyim
Ashary. Apa yang dilakukan oleh PKS pastinya juga menimbulkan polemik, pro
dan kontra, mengiringi tayangan iklan kampanye itu.
Soeharto
bagi rakyat Indonesia merupakan sosok yang tak akan habis-habisnya untuk
dikupas, sama dengan Soekarno. Sebagai Presiden yang memerintah Indonesia
dalam 3 dasa warsa, banyak hal yang dilakukan oleh pria kelahiran Kemusuk,
Bantul, Jogjakarta, itu. Jejak positif di masa lalu beriringan dengan hal-hal
yang kontroversial pada diri Soeharto. Sebagai rakyat ada yang merasa enak
hidup di jamannya, sebagaian rakyat yang lain mengalami hal yang sebaliknya.
Ketika
era reformasi tidak memberikan harapan yang lebih baik di masyarakat, di mana
kalangan masyarakat di bawah merasa saat ini elit politik bertikai,
masyarakat tawuran, harga kebutuhan sehari-hari naik, harga pupuk jadi mahal,
harga bensin selangit, irigasi susah, maka masyarakat merindukan sebuah masa
lalu, di mana stabilitas politik dan keamanan terjaga, pupuk tersedia
melimpah, dan harga bensin murah. Situasi yang demikian dirasakan di masa pemerintahan
Soeharto.
Kontradiksi
pada masa sekarang, era yang disebut era reformasi, dan masa Orde Baru itu
benar nyata menjadi ratapan masyarakat, khususnya di Jawa Tengah dan
Jogjakarta. Ratapan itu dituangkan dalam bentuk sticker, kaos, atau lukisan
di bagian belakang truk yang bertuliskan, “Piye
Kabare? Enak Jamanku To. Tulisan itu dibarengi dengan gambar Soeharto
yang sedang tersenyum manis.
Orang
yang merasa hidup nikmat di jaman Soeharto, jumlahnya sekarang banyak. Mereka
biasanya adalah kaum petani, di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Jogjakarta, Bali, dan di tempat lainnya. Mereka merasa enak hidup pada masa
Soeharto sebab semua kebutuhan yang ada, seperti pupuk, bendungan, dan sarana
lainnya dicukupi.
Era
reformasi adalah era yang digerakkan oleh kaum terdidik, mahasiswa, dan
masyarakat elit perkotaan. Apa yang dimaui mereka sepertinya tidak dimengerti
oleh masyarakat bawah. Masyarakat bawah ini jumlahnya lebih banyak daripada
yang demo di tahun 1998.
Tahu
bahwa massa Soeharto banyak, maka seluruh kekuatan politik yang ada selalu
mempolitisasi bahwa dirinya adalah menghormati dan menghargai jasa-jasa
Soeharto. Tak hanya itu, bila mereka dipilih oleh rakyat maka mereka akan
mengembalikan ke sebuah masa seperti masa Soeharto, di mana hidup serba enak
dan murah serta stabilitas keamanan yang mantap.
Meski
untuk mempahlawankan Soeharto tak semudah membalikkan telapak tangan, proses
mempahlawankan Soekarno saja memerlukan waktu puluhan tahun, namun upaya itu
tak akan berhenti. Tujuan utamanya mempahlawankan Soekarno sebenarnya lebih
pada untuk mencari dukungan kepada massa di bawah untuk kepentingan Pemilu
daripada yang lainnya.
Mempolitisasi
nama seseorang untuk kepentingan politik suatu hal yang sering terjadi dan
itu tak hanya Soeharto. PDIP yang mengusung Jokowi dalam Pilpres 2014 ini pun
juga mengumandangkan ajaran Tri Sakti, ajaran Soekarno. Dengan mengangkat
nama Soekarno, diharapkan massa marhaens bisa memilih Jokowoi dalam pilpres.
Pun dalam menyukseskan calon Presiden yang diusung, kedua kubu tim sukses
baik Kubu Jokowi maupun Kubu Prabowo, selalu mencatut dan mempolitisasi sosok
dan nama-nama besar kiai, tokoh masyarakat, cendekiawan, olahragawan, dan
musisi serta artis.
Sikap
masyarakat kita yang masih berpatron, mencari tuntunan dalam hidup, dan
memuja-muja idola, mengakibatkan sosok dan nama besar itu mempunyai pengikut
dan massa yang tidak sedikit jumlahnya. Sosok dan nama besar itu bisa
menyadari, bisa pula tidak, bahwa dirinya mempunyai massa dan pengikut yang
jumlahnya jutaan.
Bila
sosok dan nama besar itu mengkapitalisasikan pendukung dan massanya, entah
dengan tujuan harta atau kekuasaan, maka ia akan menego kekuataanya itu
dengan orang-orang yang mempunyai kepentingan dengan dirinya. Bila deal
dengan orang yang mempunyai kepentingan maka orang yang mempunyai kepentingan
itu menyetir akan sosok dan tokoh besar itu mengarahkan dukungan kepada salah
satu kubu, A atau B.
Atas
arahan maka nama dan sosok besar itu akan mengatakan pilihlah A, dan sebab
masyarakat kita masih berpatron maka serta merta yang di bawah akan mengikuti
pilihan itu. Pun bila ia mengatakan B, maka massa di bawahnya akan
berduyun-duyun ke B. Padahal pilihan itu bisa salah sebab dilandasi hal-hal
yang sifatnya pragmatis, seperti kekuasaan dan uang. Bila demikian, rakyat
bisa rugi bila orang yang dipilih berdasarkan ‘petunjuk’ itu ternyata tak
sesuai dengan harapannya.
Untuk
itu di sini pentingnya merasionalkan pilihan masyarakat. Masyarakat
diharapkan bisa cermat untuk memilih calon Presiden berdasarkan jejak rekam
riwayat hidupnya dan program yang disajikan. Pilihan yang demikian tentu juga
mempunyai risiko namun risiko ini adalah risiko paling kecil bila dibanding
dengan memilih calon Presiden yang berdasarkan kebutuhan pragmatis atau
ketokohan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar