Kamis, 19 Juni 2014

Piala Dunia dan Bola Api Pilpres

Piala Dunia dan Bola Api Pilpres

Tom Saptaatmaja  ;   Kolumnis,
Alumnus STFT Widya Sasana Malang dan Seminari St Vincent de Paul
SINAR HARAPAN,  18 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Sepak bola memang olahraga terfavorit dan paling populer sejagat raya. Salah satu buktinya, bisa kita saksikan betapa publik dunia, termasuk publik kita, hari-hari ini tengah dilanda euforia, bahkan kegilaan akan sepak bola Piala Dunia (PD) resmi dimulai Jumat 13 Juni dini hari dengan tuan rumah Brasil menjamu Kroasia.

Secara keseluruhan, PD di Brasil berlangsung pada 13 Juni-14 Juli 2014. Total pesta bola bernilai Rp 129 triliun ini akan menyajikan 64 pertandingan dari 32 negara peserta. PD di Brasil ini merupakan Piala Dunia yang ke-20.

Piala Dunia pertama diadakan di Uruguay dari 13-30 Juli 1930. Pesertanya 13 negara. Uruguay mengalahkan Argentina 4-2 di final di depan 93.000 penonton di Montevideo untuk menjadi negara pertama yang merebut piala tersebut.

Sepanjang sejarah Piala Dunia, negeri ini pernah sekali berpartisipasi, yakni pada Piala Dunia ketiga di Prancis pada 1938. Waktu itu negeri kita bernama Dutch East Indies atau Hindia Belanda yang menjadi negara Asia pertama yang masuk ke putaran final Piala Dunia.

Para pemainnya, antara lain Isaak Patiwael, Anwar Soetan, Nawir, Soedarmadji, Moheng, dan Hong Djin. Di babak pertama, tim kita dilibas Hungaria 0-6.

Setelah merdeka, prestasi bola kita justru merosot. Pada 19 April 2014, PSSI, yang mewadahi sepak bola kita berultah ke-84, tapi apa yang bisa ditorehkan PSSI? Paling hanya dua medali emas SEA Games 1987 dan 1991. Saat ini, peringkat bola kita masih berada di posisi 154 dari 208 anggota FIFA.

PD kali ini jelas menjadi blessing in disguise bagi kita. PD ibarat ''kompres'' pendingin di tengah kondisi memanas di Tanah Air, seiring kampanye pilpres. Tanpa PD, jelas suhu politik kian memanas.

Boleh jadi kita sudah tahu, yang menarik dari fenomena sepak bola adalah fakta betapa daya pesonanya bukan hanya berlangsung di dalam lapangan, melainkan juga ke luar lapangan, yakni mendorong bola ke ranah lain di luar dirinya, seperti ke wilayah politik atau agama. Karena itu, muncullah sepak bola politik atau ''agama sepak bola''.

Sepak bola politik kita, misalnya, hanya dipenuhi pemain yang egois sehingga tidak ada kerja sama untuk mewujudkan kesejahteraan bersama sebagaimana makna politik pada awalnya, yakni untuk bonum commune atau kebaikan bersama.

Para politikus kita hanya menjadikan politik sebagai ajang malum commune atau keburukan bersama.

Untuk ''agama sepak bola'' yang terkenal pernah diungkapkan Robert N Bellah. Dalam perspektifnya tentang civil religion, sepak bola juga sebuah agama. Civil religion, menurut Bellah, tidak dalam arti agama konvensional, seperti Islam atau Kristen.

Namun, itu suatu bentuk kepercayaan dan gugusan nilai dan praktik yang memiliki semacam ''teologi'' dan ritual tertentu yang di dalam realisasinya menunjukkan kemiripan dengan agama.

Thomas Mitchell juga punya pemikiran menarik soal agama sepak bola itu. Dalam tulisannya, “Is Soccer Europe's Substitute Religion?”, dia memaparkan bahwa agama Kristen di Eropa saat ini sudah diganti agama sepak bola. Lihat, bangku-bangku gereja di Eropa semakin sepi pengunjung, sedangkan bangku-bangku di stadion bola kian penuh sesak.

Akan tetapi, hal seperti diungkapkan Mitchell itu tidak terjadi di dalam sepak bola Brasil. Meski bagi orang Brasil sepak bola sudah menjadi agama nomor dua, agama yang utama tetap dilibatkan dalam urusan sepak bola. Sukses tim Brasil yang sudah menjuarai Piala Dunia untuk kelima kali, konon, juga tak terlepas dari keyakinan atau agama mayoritas negeri itu.

Agama dan Politik

Hal yang menarik, jelang pilpres ini, agama dijadikan bola api politik. Kalau Rinus Michel, pelatih timnas Belanda 1974, suka menyebut sepak bola adalah perang, dalam kancah perpolitikan, kita justru sedang berlangsung perang urat saraf antara pasangan capres cawapres nomor 1 dan 2.

Perang urat saraf menggunakan propaganda dan tindakan lain secara sistematis dan taktis dengan maksud memengaruhi opini, emosi, sikap, dan perilaku lawan, kelompok netral, maupun sahabat dalam rangka mencapai goal atau sasaran serta tujuan. Itu seperti terlihat dari maraknya propaganda berupa iklan politik atau kampanye hitam.

Menurut pakar komunikasi politik Amerika Harold Lasswell (1977:48), propaganda tidak lain merupakan diseminasi informasi secara sistematis dan tanpa henti guna mengubah pandangan, sikap, dan emosi lawan supaya akhirnya berpihak kepada pihak penyampai propaganda.

Tidak heran jika beragam cara dimanfaatkan para kandidat capres guna menyongsong Pilpres 9 Juli 2014. Lihat, beragam propaganda dan metode guna memikat perhatian publik dilakukan.

Misalnya, beragam bentuk propaganda di Facebook atau Twitter untuk mempromosikan capres pilihannya. Tentu saja iklan politik di televisi atau koran serta di spanduk dan gambar yang dipajang di sepanjang jalan.

Semua cara propaganda memang sah-sah saja. Namun yang disayangkan adalah jika persoalan SARA terus di-blow up untuk jadi isi propaganda. Cara-cara tak etis ini jelas bukan merupakan pendidikan politik yang baik bagi rakyat.

Itu sudah masuk kategori fitnah dan menyudutkan! Ini jelas sudah menjadikan agama sebagai bola api politik. Ini sangat berbahaya bagi keutuhan dan persatuan bangsa. Lagipula, cara-cara itu akan meninggalkan luka panjang, padahal gelaran pilpres hanya sebentar.

Selain berbahaya bagi keutuhan bangsa, cara kampanye dengan fitnah mengingatkan kita akan ulah pemain Italia di Euro 2004, Fransesco Totti, yang meludahi pemain Denmark sehingga akhirnya dia diskors.

Seperti Totti, para penggagas atau penyebar selebaran gelap sebenarnya sudah meludahi dan menghina keluhuran martabat manusia dan agama.

Kalau itu terus digunakan, cara-cara tersebut hanya akan berbuah kekalahan bagi kemanusiaan. Kekalahan bagi kemanusian seperti inilah yang seharusnya kita ratapi daripada sekadar kekalahan dalam berebut kekuasaan.

Mari kita tidak menjadikan agama sebagai bola yang bisa disepak atau ditendang dengan kaki yang kotor. Mari kita belajar berdemokrasi dengan menjunjung sportivitas atau prinsip fair play sebagaimana di PD.

Yang paling penting, mari kita kembalikan agama ke jati dirinya sebagai pembawa perdamaian dan perekat antarmanusia, bukan sepatu untuk melegimitasi birahi akan kekuasaan dengan menginjak-injak martabat sesama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar