Jurnalisme
Fitnah dan Kampanye Hitam
Asmadji
As Muchtar ; Dosen
Pascasarjana UII Yogyakarta ,
Wakil
Rektor III Unsiq Wonosobo Jawa Tengah
|
SINAR
HARAPAN, 18 Juni 2014
Media
seperti tabloid bisa disebut sebagai produk jurnalisme fitnah, jika isinya
tidak berdasarkan fakta dan sangat tendensius membunuh karakter pihak-pihak
tertentu yang diberitakannya.
Jika
tabloid seperti itu muncul menjelang pilpres berisi data-data terkait capres
yang tidak benar, bisa juga dianggap sebagai bentuk kampanye hitam.
Begitulah.
Menjelang pilpres, kampanye hitam atau kampanye gelap semakin marak, lazimnya
berisi fitnah terhadap capres. Publik hanya bisa menduga-duga pelakunya dari
masing-masing tim sukses atau bisa jadi dari pihak lain.
Hal ini
bisa menjadi preseden buruk bagi pembangunan demokrasi di negeri ini jika
tidak ada upaya untuk melawannya.
Seharusnya,
masing-masing capres bersama tim suksesnya bersedia duduk bersama memberikan
penjelasan kepada publik kampanye hitam atau kampanye gelap berisi fitnah
tidak usah dipercaya. Jadi, ini bisa menjadi pencerahan bagi semua pihak
khususnya bagi rakyat.
Namun
sayang sekali, sejauh ini masing-masing capres dan tim suksesnya malah cenderung
saling bersikap defensif dan cuci tangan sehingga kampanye hitam justru
semakin marak.
Korban Fitnah
Layak
ditegaskan, rakyat bisa menjadi korban kampanye hitam atau kampanye gelap
jika sampai memercayainya karena memercayai fitnah sama dengan tersesat atau
terjerumus ke dalam lingkaran setan yang bernama labirin fitnah-memfitnah.
Misalnya,
jika si A percaya terhadap fitnah, cenderung akan cenderung ikut menyebarkan
fitnah. Padahal, menyebarkan fitnah bisa dikategorikan dosa dan juga
melanggar hukum positif.
Dalam
rumus sosiologi, fitnah atau pembunuhan karakter memang sering lebih kejam
daripada pembunuhan dalam arti yang sebenarnya. Konkretnya, korban fitnah
atau korban pembunuhan karakter tetap hidup, tetapi citra kepribadiannya
telah hancur di mata masyarakat.
Meski
demikian, korban fitnah tetap berpeluang memperbaiki citra pribadinya, jika
sejarah membuktikan fitnah yang menimpa dirinya betul-betul fitnah.
Dalam
hal ini, jika korban fitnah ternyata memang difitnah, publik akan mengerti
pihak yang memfitnah memang jahat dan karenanya tercela, bahkan layak
dikutuk.
Data
empiris membuktikan, sejumlah tokoh yang pernah difitnah rezim Orde Baru
sebagai komunis atau subversif, kemudian dijebloskan ke dalam tahanan atau
dipenjara dalam waktu lama, ternyata bisa membuktikan dirinya hanya korban
fitnah.
Publik
pun mengerti rezim Orde Baru ternyata sangat jahat karena suka memfitnah anak
bangsa sendiri untuk memperpanjang kekuasaan.
Politik Fitnah
Dalam
ranah politik, fitnah-memfitnah bukan hal baru lagi. Pasalnya, masing-masing
pihak selalu bersaing atau sama-sama berhak untuk berkuasa. Sejarah pun
mencatat, Ken Arok bisa menjadi raja karena berhasil memfitnah Kebo Ijo
dengan kelicikan yang sempurna.
Bahkan,
Kebo Ijo bukan hanya sebagai korban fitnah, melainkan juga dibunuh Arya
Penangsang dalam arti yang sebenarnya sehingga tak punya peluang lagi untuk
membuktikan fitnah yang menimpanya. Namun, akhirnya sejarah kemudian tetap
mencatat Kebo Ijo difitnah dan dibunuh Ken Arok yang berambisi menjadi
penguasa.
Fitnah
memang kejam, itu pasti. Namun, fitnah yang paling kejam adalah fitnah
politik atau bisa dibalik menjadi politik fitnah. Selain itu, politik fitnah bisa
melibatkan banyak pihak sehingga fitnah politik bisa meluas dan menjelma
konspirasi-konspirasi yang keji.
Kerena
itu, politik fitnah sebaiknya tidak dikembangkan di Indonesia, terutama atas
nama demokrasi yang sedang berkembang. Terlalu sayang jika demokrasi
dibiarkan menjadi perang fitnah yang menimbulkan kekejaman politik yang
kontraproduktif dan destruktif.
Risiko Demokrasi
Namun,
politik fitnah sering dianggap wajar dalam negara demokrasi atau politik
fitnah dianggap termasuk risiko demokrasi yang tidak perlu dibawa ke
pengadilan. Dalam hal ini, korban fitnah politik harus berjiwa besar
sebagaimana lazimnya pemimpin di negara-negara demokrasi.
Dengan
kata lain, capres tidak perlu memenjarakan pihak-pihak yang memfitnahnya
karena mereka bisa berdalih tidak memfitnah, tetapi hanya ingin
mengekspresikan aspirasinya sesuai spirit demokrasi.
Di
negara demokrasi, setiap pemimpin harus berjiwa besar menerima risiko
demokrasi. Kita tidak bisa membayangkan apa jadinya jika misalnya capres yang
terpilih nanti suka memenjarakan anak-anak bangsa hanya karena
mengekspresikan demokrasi.
Harus
ditegaskan juga, maraknya praktik politik fitnah memang bisa berbahaya bagi
demokrasi jika tidak diterima sebagai risiko yang wajar terutama oleh
penguasa. Misalnya saja, jika capres terpilih nanti menghukum mereka yang
melakukan fitnah dengan pasal subversi atau pencemaran nama baik, seluruh
rakyat akan ketakutan.
Pada
titik ini, Indonesia bisa mundur dan menjadi negara terbelakang yang
berpeluang dipimpin diktator yang sangat kejam.
Karena
itu, maraknya praktik politik fitnah dalam demokrasi tak perlu dibenturkan
dengan hukum berdasarkan pasal-pasal karet yang sangat menakutkan bagi
anak-anak bangsa agar negara ini tidak terus-menerus dicemari sejarah tentang
kekejaman rezim-rezim otoriter yang suka membungkam lawan-lawan politiknya.
Biarlah
rakyat bebas menikmati ekspresi demokrasi. Yang suka memfitnah dengan keji
pasti akan ditampik rakyat yang notabene sudah cerdas.
Dalam
hal ini, upaya melawan fitnah dalam kampanye hitam harus dilakukan capres
bersama tim sukses masing-masing sebatas keterangan resmi yang jujur dan
terbuka di depan publik agar semua pihak mengerti, fitnah dalam kampanye
hitam ternyata dari pihak-pihak lain yang tidak bertanggung jawab. Karena
itu, fitnah tidak perlu dipercaya atau disebarluaskan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar