MASALAH KETIMPANGAN KESEJAHTERAAN
Pertanian
yang Terlupakan
Laporan
Diskusi Panel Ahli Ekonomi
|
KOMPAS,
13 Juni 2014
ISU
tentang petani gurem, yaitu petani dengan pemilikan lahan kurang dari 0,5
hektar, sudah lama muncul. Petani kecil dan yang tak memiliki lahan makin
banyak dan makin marjinal. Tekanan di desa tak terselesaikan. Ketika lari ke
kota mereka hanya mendapat pekerjaan sebagai buruh murah, sementara mereka
tak punya lagi aset produksi di desa. Akses terhadap pendidikan, kesehatan,
dan pekerjaan perlu diperluas di pedesaan guna menurunkan kesenjangan
kesejahteraan.
Problem
petani di desa pasti memerlukan penyelesaian langsung: mencukupi kebutuhan
sarana produksi pertanian, mulai dari irigasi, pupuk dan benih, hingga
pemasaran dan harga. Setelah era Reformasi banyak masalah tak tertangani.
Harga pupuk mudah bergejolak, kualitas benih tak memadai, dan jaringan
irigasi rusak. Harga produk pertanian juga tak lagi menguntungkan petani
karena diserahkan pada mekanisme pasar: bersaing bebas dengan produk impor.
Akar
kesenjangan muncul sejak pemerintah tak memperhatikan petani secara memadai.
Biaya produksi yang tinggi dan harga tak layak memarjinalkan hidup mereka.
Pada saat yang sama akses terhadap pendidikan, kesehatan, irigasi, dan
transportasi yang makin buruk membuat kesenjangan kemakmuran membesar. Untuk
mengakses layanan itu, petani dan warga pedesaan harus membayar mahal.
Data BPS
2012 menunjukkan ketimpangan kesempatan terhadap akses kesehatan: 96,76
persen anak umur 12-59 bulan di kota sudah diimunisasi, sementara di desa
hanya 92,93 persen. Balita yang kelahirannya ditolong dokter di perkotaan
24,27 persen, di pedesaan hanya 9,97 persen.
Ketimpangan
sangat mencolok terlihat pula dalam akses terhadap pendidikan. Survei pada
2012 memperlihatkan, di perkotaan anak-anak lelaki bisa mengenyam pendidikan
hingga 9,8 tahun, sedangkan di desa rata-rata hanya 7,2 tahun. Anak-anak
perempuan di kota mengenyam pendidikan 9,0 tahun, sedangkan di desa hanya 6,3
tahun.
Semakin gurem
Berbagai
media melaporkan buruknya infrastruktur desa, mulai dari jalan, air bersih,
irigasi, hingga pengangkutan, yang menambah kesenjangan antara penduduk desa
dan kota. Semua ini memperlihatkan biaya mahal yang harus dikeluarkan
penduduk desa untuk mengakses fasilitas yang seharusnya disediakan
pemerintah. Keadaan ini membuat kesenjangan antara upah riil dan upah nominal
makin melebar dalam tiga tahun terakhir. Upah riil akan tergerus karena biaya
kesehatan, pendidikan, dan transportasi kian mahal. Sebagai contoh, upah
nominal petani tahun lalu Rp 41.895 per hari, sementara upah riil hanya Rp
27.502.
Masuk
akal jika 60 persen responden Bank Pembangunan Asia berpendapat, menurunkan
ketimpangan kesempatan mengakses pendidikan dan kesehatan lebih penting
daripada menurunkan ketimpangan pendapatan.
Inovasi
yang diharapkan meningkatkan peran pertanian dalam produk domestik bruto
ternyata tak muncul. Data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi 2013 memperlihatkan
sektor pertanian jadi wadah terbesar bagi sumber daya manusia berpendidikan
rendah. Ini berbanding terbalik dengan industri keuangan, jasa, dan energi
yang dipenuhi sumber daya manusia berpendidikan tinggi dengan daya inovasi
tinggi. Di sektor pertanian 30,7 persen tenaga kerja tidak dibayar.
Dampak
sangat buruk adalah mereka menjual aset produksi untuk membiayai hidup
sehari-hari. Masalah ini sambung-menyambung hingga mereka harus keluar dari
desa ke kota, bahkan ke luar negeri, untuk mendapat penghasilan.
Jika
kemudian ada pejabat yang bangga karena jumlah tenaga kerja di sektor
pertanian menurun, kebanggaan itu sesungguhnya semu. Tenaga kerja pertanian,
terutama petani gurem yang menurut data BPS terbaru angkanya menurun, beralih
dari sektor pertanian ke sektor lain bukan karena perbaikan pendidikan dan
daya saing. Mereka lari dari pertanian karena pertanian tak menarik lagi.
Masuknya mereka ke sektor industri dan informal pelarian belaka.
Dilupakan
Ketimpangan
merupakan akibat pembangunan pedesaan yang lama dilupakan, terutama setelah
reformasi. Di daerah dengan jumlah petani gurem sangat signifikan akan
terlihat keparahan kemiskinan yang melebihi indeks nasional. Pertumbuhan
sektor pertanian 2009-2013 hanya sekitar 3 persen dan industri pengolahan
sedikit di atas 4 persen, jauh di bawah sektor pengangkutan dan komunikasi
yang tumbuh sekitar 11 persen. Akibatnya, kesempatan menciptakan lapangan
kerja secara masif juga hilang, kemakmuran di pedesaan lambat naik, dan
kesenjangan melebar.
Untuk
mengurangi ketimpangan, bangunlah desa, tingkatkan produktivitas sektor
pertanian, permudah warga pedesaan mengakses layanan pendidikan dan
kesehatan, serta perbaiki infrastruktur di pedesaan. Tenaga kerja yang
menumpuk di pertanian harus digeser ke industri lewat percepatan pengembangan
agroindustri di pedesaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar