Cinta
yang Buta, Kegembiraan yang Menyatukan
Sindhunata
; Wartawan, Pemimpin Redaksi Majalah Basis,
Yogyakarta
|
KOMPAS,
11 Juni 2014
AKU
jatuh cinta pada sepak bola seperti aku jatuh cinta kepada perempuan.
Semuanya terjadi dengan tiba-tiba, tak dapat diterangkan dalam kata. Otak
yang kritis berhenti seketika. Aku tak berpikir sama sekali tentang kesakitan
dan kekacauan yang mungkin terjadi karenanya.
Itulah
kata Nick Hornby, warga Inggris, penggila bola dan penulis buku terkenal
tentang bola. Ungkapan itu tak terbantahkan. Di mana-mana bola membuat orang
terjerumus ke dalam cinta buta. Demikian juga kali ini ketika hampir semua
mata manusia mengarah ke Brasil, tempat dihelat pesta akbar Piala Dunia 2014.
Nai vai ter copa! Tak akan
ada Piala Dunia! Kata-kata ini digemborkan oleh para pemrotes yang tak setuju
Brasil jadi tuan rumah Piala Dunia 2014. Maklum, ekonomi Brasil tidak terlalu
baik. Masih banyak orang miskin di sana, mengapa uang dihamburkan untuk Piala
Dunia? Memang, Piala Dunia terganggu karena berbagai protes itu. Namun,
diperkirakan orang Brasil yang menolak itu segera lupa akan protes mereka
begitu peluit Piala Dunia ditiup dan para pemain Brasil berlari di lapangan
menghibur mereka. Bola selalu bisa menciptakan kejutan dan kejutan itu bisa
membuat orang Brasil terlena dari persoalan dan beban hidup mereka.
Maka,
kali ini pun orang-orang Brasil tetap mengharapkan kejutan yang bisa
menggembirakan mereka seperti yang terjadi dalam Piala Dunia 1958 di Swedia.
Menjelang Piala Dunia 1958, Brasil terseok-seok, baik dalam hal bola maupun
ekonomi. Persatuan sepak bola Brasil di bawah Joao Havelange nyaris
memutuskan Brasil tidak usah ikut Piala Dunia. Lebih baik tinggal di rumah
daripada bikin malu negara.
Namun,
Havelange berubah pikiran dan membuat putusan mengejutkan dengan menunjuk
Vicente Fiola jadi pelatih. Padahal, nama Fiola sudah dicoret. Fiola sendiri
mengambil langkah tak terduga. Ia membawa Garrincha dan Pele. Keputusan itu
dikecam habis-habisan. Alasannya, Pele yang baru berumur 17 tahun itu masih
bau kencur, sedangkan Garrincha, si kaki pengkor, terlalu bodoh untuk dibawa.
Nyatanya
penonton di Swedia terpesona. Pele dan Garrincha bermain bola dengan sangat
indah dan tak ada duanya. Sampai penonton berkata, kedua pemain itu, juga
pemain Brasil lainnya, bukanlah makhluk-makhluk bola dari dunia ini. Mereka
seperti malaikat dari langit yang bermain bola di dunia. Brasil bukan hanya
keluar sebagai juara, melainkan juga terkenal dengan sepak bola indahnya.
Jogo bonito lahir! Orang-orang Brasil pun melupakan segala masalah mereka.
Kiranya itu pula yang bakal terjadi jika Brasil menjadi juara di Piala Dunia
tahun ini.
Di Tanah
Air tercinta kita ini pun orang-orang sedang ditimpa cinta buta terhadap
bola. Tidak hanya mereka yang berada, tetapi juga warga sederhana bahkan
miskin sedang dilanda gila bola. Tukang becak, buruh bangunan, pensiunan, dan
warga kampung padat penduduk, semua menanti pesta akbar itu. Di emperan toko,
di gardu ronda, di stasiun, bahkan di desa terpencil, orang-orang siap
mendiskusikan dan mengevaluasi pertandingan, meramalkan siapa menang, siapa
kalah.
Dalam
hal menghibur, bola memang adil. Kaya atau miskin, di rumah mewah atau di
pondok sederhana, di kafe mahal atau di gardu kampung, semua orang, tak
terkecuali, bisa dan boleh menonton Piala Dunia 2014, dari awal sampai final.
Dalam hal bola, si kaya atau si miskin sama-sama mengalami kenikmatan.
Hiburan dan kenikmatan bola tidak hanya jadi monopoli mereka yang kaya. Yang
miskin pun boleh bersenang-senang seperti yang kaya. Begitulah, karena
pemerataannya itu, bola mengikat manusia dalam persatuan, bukan hanya
persatuan di masyarakat atau negara, melainkan juga kesatuan yang global dan
mendunia.
Dewasa
ini kesatuan lokal dan global sedang terancam untuk terpecah-pecah. Entah
karena perbedaan ideologi, agama, atau budaya, entah karena jurang antara
kaya dan miskin, entah karena egoisme individu atau kelompok. Memang sulit
mengidentifikasi faktor penyebab perpecahan itu. Mungkin karena kesulitan
mengidentifikasi itu, legenda bola Franz Beckenbauer pernah melukiskan,
kemanusiaan di bumi sedang terancam untuk dihancurkan oleh makhluk-makhluk
alien dari luar planet kita. Apakah kita akan selamat? Apakah bumi ini masih
akan ada?
Kita
sungguh sedang menghadapi masalah serius. Dan, menurut Beckenbauer, kita
hanya mempunyai satu kesempatan, yakni menantang musuh bumi kita itu
bertanding bola. Itulah pertandingan final antara manusia di bumi dan makhluk
di luar bumi. Jika kita menang melawan agresor, kita akan selamat. Jika
kalah, ya, kita mesti mengucapkan ”selamat
malam”, dan selesai sudah riwayat kita. Maka, kata Beckenbauer, ”We have no chance, we have to win,”
dan hanya bola yang dapat menyelamatkan dunia. Kata-kata Beckenbauer dianggap
sangat pas bagi posisi bola di dunia yang terancam terpecah belah ini. Tak
heran jika sebuah perusahaan di Korea Selatan memakai kata-kata itu sebagai
reklamenya menjelang Piala Dunia 2014.
Kini,
negeri kita juga terancam oleh alien yang memecah belah kita dengan kampanye
hitam dan menajamkan perbedaan dua kelompok yang saling bersaing menjelang
pemilu presiden, Juli. Syukur di tengah ancaman ini kita disatukan dalam
kegembiraan Piala Dunia 2014. Biarlah kegembiraan dan fairness bola yang
adil, merata, dan tak membeda-bedakan itu menyatukan kita dalam satu kata we have no chance, we have to win
terhadap siapa pun lawan yang hendak menghancurkan kesatuan kita sebagai
bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar