Pengelolaan
Batubara
Singgih
Widagdo ; Ketua Sumber Daya Alam Ikatan Ahli Geologi Indonesia
|
KOMPAS,
11 Juni 2014
KRITIK
Komisi Pemberantasan Korupsi atas buruknya pengelolaan mineral dan batubara
di Indonesia harus menjadi arah perbaikan nasional. Untuk batubara, tidak
saja dilihat atas hilangnya potensi pajak, tetapi terpenting mengembalikan
manfaat batubara sebagai energi untuk menggerakkan pertumbuhan bangsa. Harus
dipahami, batubara jadi satu-satunya mineral berunsur karbon sebagai
pengganti minyak bumi.
Sikap
tegas memperbaiki tata kelola batubara melalui konsolidasi nasional harus
dimulai saat ini. Tanpa itu, kita
hanya dapat menyesali hancurnya negeri ini. Lantas siapa yang punya nyali dan
jadi pionir membuat peta tata kelola pengelolaan itu?
Pemerintah
harus mengakui, munculnya ribuan izin usaha pertambangan (IUP) adalah akibat
kesalahan yang dibuat sendiri. Embrio hancurnya tata kelola pertambangan
batubara diawali dengan hilangnya nilai vital dan strategis dalam UU Mineral
dan Batubara (Minerba). Akibatnya, sebagian besar pertambangan batubara
sebatas menjadi permainan skala personal dengan IUP yang dimilikinya.
Pemerintah
daerah yang mestinya bisa berpikir lebih nasional pun terjebak pada
”kenikmatan sesaat” dengan memberikan izin, yang atas nama UU jadi haknya.
Dengan begitu, pemilik IUP dan pemerintah daerah sebatas melihat batubara
sebagai komoditas untuk memperbesar pundi-pundi dengan roh keserakahan tanpa
peduli krisis energi yang akan terjadi dan rusaknya lingkungan yang akan
membawa kehancuran negeri ini.
Pemerintah pusat pun seolah seperti penonton, tak punya daya
memperbaikinya.
Kewenangan
pemerintah yang dijamin UU Minerba untuk mengendalikan produksi dan ekspor
batubara per tahun tiap provinsi tak juga dimanfaatkan pemerintah. Rakyat yang notabene pemilik sumber daya
alam (batubara) tak berdaya melihat kekayaan yang dimilikinya jadi ajang
keserakahan berbagai pihak.
Kritik
KPK jadi angin segar bagi rakyat di mana agar batubara lebih dikelola untuk
kepentingan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Harus disadari,
pemerintah (pusat dan daerah) bukan
pemilik sumber daya batubara. Pemerintah hanya sebatas menerima amanah
mengelola sumber daya batubara yang dimiliki oleh negara.
Saat
ini, ekspor batubara menjadi pilihan utama semua pelaku usaha pertambangan.
Pemerintah yang telah memperbesar keran izin tanpa mengimbangi percepatan
pertumbuhan pemanfaatan batubara di dalam negeri menjadi penyebab ekspor
batubara tumbuh dengan cepat. Bisa jadi, dengan koreksi yang dilakukan,
sumber daya batubara ekonomis yang kita miliki jauh lebih kecil daripada
perkiraan semula. Benar adanya, kritik KPK agar ada perbaikan radikal dalam
pengelolaan pertambangan batubara memang harus menjadi prioritas pemerintah
saat ini dan juga pemerintah mendatang.
Melangkah ke depan
Dalam
satu wawancara dengan salah satu televisi nasional, capres Jokowi mengatakan
bahwa salah satu visi yang akan diimplementasi ke depan adalah revolusi
mental nasional. Menurut dia, revolusi mental nasional menjadi dasar untuk
membangun negeri ini, mengingat Indonesia memiliki kekayaan luar biasa berupa
sumber daya alam, sumber daya manusia, dan bahkan bonus demografi ke depan.
Menarik
ide revolusi mental ini. Ia dapat dijadikan modal memperbaiki tata kelola
pertambangan batubara ke depan. Hal
yang sama, untuk mengelola sumber daya energi (batubara) diperlukan visi
panjang. Dan, perbaikan radikal yang ditawarkan KPK harus menjadi langkah
secepatnya tanpa harus menunggu pemerintahan baru.
Untuk
memperbaiki tata kelola pertambangan batubara harus diawali kemauan politik
pemerintah pusat, khususnya komunikasi dengan pemerintah daerah. Mengubah
mental cara pandang terhadap sumber daya batubara harus jadi dasar dan
pilihan. Kebanggaan sebagai eksportir terbesar dunia harus segera dihapus.
Harus
disadari, kebutuhan batubara di dalam negeri enam tahun mendatang baru
sebatas separuh dari produksi tahun ini.
Besarnya ekspor yang hampir 80 persen dari produksi nasional harus
terus diperkecil. Sebaliknya,
pemanfaatan batubara di dalam negeri harus terus diperbesar. Batubara harus dimanfaatkan untuk menggerakkan
ekonomi nasional melalui percepatan pembangunan PLTU batubara berbagai skala
dan penggunaan batubara di berbagi industri, melalui teknologi yang telah
ada.
Melihat
kenyataan yang terjadi dalam industri pertambangan batubara, khususnya untuk
menjawab kritik KPK terhadap tata pengelolaan industri pertambangan batubara,
langkah konsolidasi nasional yang jadi
pekerjaan rumah pemerintah, antara lain, sebagai berikut.
Pertama,
pengendalian produksi dan ekspor harus jadi tangga pertama dalam memperbaiki
tata kelola pertambangan batubara. Dalam renegosiasi kontrak serta tuntutan UU
Minerba, rencana produksi jangka panjang sampai berakhirnya kontrak harus
diserahkan kepada pemerintah (ESDM).
Menjadi pertanyaan, apakah pengendaliaan produksi atas dasar data
tersebut berujung di Kementeriaan ESDM ataukah Dewan Energi Nasional (DEN) yang
berwenang dalam membuat blue print
pengelolaan energi nasional?
Dalam
kenyataan, DEN sama sekali tidak dilibatkan dalam renegosiasi yang terkait dengan perencanaan
produksi batubara nasional.
Sebaliknya, Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang dibuat DEN dan telah
disetujui DPR dengan tegas menyatakan sumber daya energi tidak dijadikan
komoditas ekspor semata, tetapi sebagai modal pembangunan nasional. Mengingat
Menteri ESDM sebagai ketua harian DEN, semestinya masalah ini dapat dengan
cepat terjawab.
Kedua,
pemerintah, setelah berkonsultasi dengan DPR, berwenang mengendalikan jumlah
produksi dan ekspor batubara per tahun di setiap provinsi. Atas tuntutan UU
Minerba tersebut, seharusnya pemerintah (ESDM) segera melakukan penataan IUP
dengan berkoordinasi langsung dengan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.
Bagaimanapun,
kritik KPK harus dijawab melalui kemauan keras pemerintah dalam melakukan
konsolidasi untuk mengembalikan batubara sebagai sumber daya energi nasional
demi membangun kesejahteraan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar