Jumat, 20 Juni 2014

Pemimpin dan Keaulatan Sumber Daya

Pemimpin dan Keaulatan Sumber Daya

Muliawan Margadana ;   Ketua Bidang Pertambangan dan Dewan Pengurus Harian Asosiasi Pengusaha Indonesia
TEMPO.CO,  19 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Dalam dua dekade terakhir, paradigma shareholder value yang dianut perusahaan mineral dan energi kini berkembang menjadi stakeholder value dengan berbagai pendekatan, seperti clean energy, good mining practices, green mining, dan sebagainya. Sedangkan di sisi lain, perundang-undangan terkadang dinilai tidak menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pelaku usaha tambang, baik penambang lokal maupun asing. Misalnya, penerapan aturan perundang-undangan mineral yang baru, UU Nomor 4 Tahun 2009, yang mulai secara tegas dijalankan sejak 12 Januari lalu. Meski dari sisi nasionalisme UU ini memberikan harapan baru bagi peningkatan kualitas jual produk mineral dalam negeri, di sisi lain tambang-tambang yang tidak memiliki kesiapan, baik dari sisi biaya maupun teknis, terpaksa harus menghentikan operasi yang mengakibatkan gelombang PHK massal di berbagai wilayah tambang di Indonesia.

Dalam rangka transformasi natural resources productivity menjadi human productivity, semua pihak perlu mendorong nilai tambah melalui hilirisasi industri pertambangan dengan mewajibkan perusahaan tambang membangun smelter. Namun hal ini tidak dapat dilepaskan dan dibebankan sepenuhnya kepada pelaku usaha. Pemerintah perlu menyiapkan paket regulasi yang mendorong pertumbuhan tersebut dan menyediakan infrastruktur yang memadai. Karena, bila hal ini tidak dilakukan, hampir mustahil mineral hasil pengolahan dan pemurnian tersebut dapat bersaing dengan negara lain, seperti Cina dan Jepang.

Target pemerintah mencapai 100 juta ton ekspor base metal pada 2050 patut didukung, namun "kebijakan" pelarangan ekspor mineral mentah sebaiknya ditinjau ulang. Menurut data Apemindo, sudah 585.527 karyawan dari 1.954 perusahaan tambang dan kontraktornya yang sudah berstatus clear and clean (perizinan tidak bermasalah) melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), belum lagi adanya kemungkinan menempatkan karyawan dalam status standby di rumah (bukan PHK, tapi ditempatkan di rumah dengan tidak bekerja dan dikurangi pendapatannya) seperti yang akan dilakukan oleh PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara kepada karyawannya. Status standby ini tentunya hanya dapat dilakukan untuk sementara waktu. Jika perusahaan tidak dapat beroperasi optimal terus-menerus, akhirnya akan berujung pada PHK juga. PHK ini akan membawa dampak ganda karena banyak masyarakat di daerah terpencil penghasil tambang yang hidupnya bergantung pada komoditas ini, dari penjaja makanan, guru, dan berbagai profesi lainnya. Misalnya Timika, Soroako, Sumbawa, dan Kutai Timur yang lebih dari 80 persen pendapatan asli daerahnya dihasilkan dari sektor pertambangan.

Agar masalah lonjakan pengangguran ini dapat dituntaskan, paling tidak harus dibuka 3,7 juta peluang kerja setiap tahun, yang merupakan tugas tidak mudah mengingat pada 2013 lembaga pemeringkat investasi internasional Standard & Poor's (S&P) merevisi outlook perekonomian Indonesia dari positif menjadi stabil. S&P kini menempatkan sovereign credit rating Indonesia di peringkat BB+ untuk jangka panjang dan B untuk jangka pendek. Rating tersebut satu tingkat di bawah BBB- atau biasa disebut investment grade rating (layak investasi). Dengan kata lain, Indonesia makin menjauh dari peringkat investment grade di mata para investor.

Untuk itu, rencana relaksasi yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia sangatlah bijak. Karena, bila industri yang menopang pendapatan nasional maupun daerah ini kolaps, dampaknya akan luar biasa bagi rakyat di daerah maupun reputasi Indonesia di mata internasional.

Dampak negatif ikutan dari kebijakan seperti ini sebenarnya haruslah dikelola dengan memperhatikan risk control mechanism terlebih dulu sehingga tidak menimbulkan distorsi sosial dan politik yang berkepanjangan dan mengganggu produktivitas bangsa. Industri pertambangan memiliki ciri khas, yaitu high risk, long term, and capital intensive. Karena itu, pemerintah baru nantinya perlu melakukan serangkaian pendekatan, yaitu satu, menjaga konsistensi kebijakan; dua, mengganti secara bertahap semua regulasi yang menimbulkan dampak negatif; tiga, melakukan perampingan birokrasi guna meningkatkan iklim investasi; empat, memperbaiki mekanisme otonomi daerah di bidang pertambangan.

Pada akhirnya pelaku usaha dan pemerintah haruslah mengambil kebijakan yang mengutamakan salus populi suprema lex esto atau the welfare of the people shall be the supreme law. The people yang dimaksud di sini haruslah juga termasuk rakyat yang bermukim dan bekerja pada perusahaan-perusahaan tambang dan berada di lokasi tempat tambang-tambang itu beroperasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar