Rabu, 18 Juni 2014

Panggung Multikulturalisme Piala Dunia

Panggung Multikulturalisme Piala Dunia

Thomas Koten  ;   Direktur Social Development Center
SINAR HARAPAN,  17 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Perhelatan akbar empat tahunan Piala Dunia ke-20 sedang berlangsung di Brasil mulai 12 Juni hingga 13 Juli 2014. Sebanyak 32 kontestan Piala Dunia 2014 sedang unjuk kehebatan untuk menjadi yang terbaik di kolong langit. Para kontestan itu menggelorakan semangat nasionalisme dan memperjuangkan harga diri dan kehormatan bangsanya masing-masing.

Jutaan, bahkan miliaran pasang mata di seantero dunia kini tertuju pada panggung Piala Dunia. Seluruh warga bangsa di dunia seperti terlibat dalam perhelatan akbar tersebut. Piala Dunia semakin dijadikan momentum untuk menggalang persatuan, persaudaraan, solidaritas, perdamaian, dan memupuk spirit toleransi.

Jika dikerling lebih elegan, Piala Dunia tidak lain merupakan panggung pengekspresian spirit multikulturalisme. Sebagai perhelatan akbar, Piala Dunia mampu mendamaikan berbagai jalur agama dan sosial kemasyarakatan dunia yang sering bertentangan.

Piala Dunia bukan saja menyuguhkan permainan demi pertandingan 2 x 45 (plus extra time dan adu pinalti), melainkan sebagai sumber pembelajaran dus refleksi terhadap kehebatan bangsa-bangsa di tataran global. Piala Dunia yang menghipnotis dan menghibur itu juga sungguh telah sukses mengobrak-abrik sekat-sekat agama, sosial, kultural, etnis, dan ideologi.

Cermin multikulturalisme Piala Dunia dapat terlihat dari kehadiran para bintang lapangan hijau yang tidak hanya terdiri atas suku, agama, dan ras tertentu. Semua pemain dari latar belakang suku, agama, ras, dan golongan berbeda menyatu dalam kerja sama dengan spirit fair play, saling menghormati. Tidak berlebihan jika panggung Piala Dunia menjadi media yang sangat efektif untuk menciptakan pembauran antarwarga (melting spot) dari berbagai belahan dunia.

Panggung pematrian multikulturalisme itu diperindah slogan resmi Piala Dunia 2014, All One Rhythm, slogan yang menumbuhkan spirit multikulturalisme atau slogan yang mengajarkan tentang toleransi. Apalagi, ditambah lagu resmi Piala Dunia, “We Are One” yang dinyanyikan duet penyanyi Pitbull dan Claudia Leitte, menegaskan pentingnya spirit kebersamaan dalam keberagaman nan pluralistik.

Multikulturalisme dapat diterjemahkan sebagai pengakuan terhadap pluralitas, sebuah keniscayaan yang tidak dapat terbantahkan. Dengan demikian, menumbuhkan sikap peduli kepada kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas merupakan suatu keharusan.

Kelompok mayoritas harus mengintegrasikan kelompok minoritas dalam bentuk pengakuan dan kerja sama, supaya kekhasan minoritas tetap diakui dan dilindungi. Kelompok mayoritas berkewajiban moral menciptakan kebersamaan dan memberikan kemungkinan kelompok minoritas untuk berkembang menuju kesejatian dirinya.

Ada sejumlah alasan yang menjadikan pembahasan mengenai multikulturalisme penting untuk dilakukan. Pertama, kita hidup di sebuah dunia global yang tidak lagi memungkinkan hidup terisolasi dari dunia lain.

Kemajuan teknologi informasi yang sangat pesat telah memberikan kontribusi luar biasa bagi interkonektivitas seluruh masyarakat dunia dari berbagai suku, agama, dan budaya. Batas-batas negara, budaya, dan etnis tradisional telah “mencair” akibat kuatnya arus informasi dan teknologi.

Kedua, meningkatnya gelombang imigrasi dan integrasi yang melintasi batas-batas negara, tidak terkecuali bangsa kita. Gelombang imigrasi dan integrasi ini memaksa warga negara bangsa mainstream yang lebih moderat untuk mengakui, negara-negara di dunia tidak lagi hanya terkurung dalam partikularitas yang bersekat-sekat, bahwa penyingkiran terhadap keanekaragaman hanya akan merusak kebersamaan yang telah terbangun.

Keanekaragaman merupakan keagungan semesta yang hanya bisa diterima untuk dilestarikan. Sikap diskriminatif hanya akan menjadi momok yang menodai keagungan semesta.

Ketiga, semakin besarnya perhatian dunia terhadap persoalan pluralisme atau persoalan kewarganegaraan multikultural. Ini ditunjukkan dengan sangat jelas dalam dunia sepak bola, seperti terus dikumandangkanya penghapusan rasisme di lapangan hijau oleh FIFA. Banyak pelaku rasisme dalam sepak bola telah mendapat hukuman keras dari FIFA, baik itu pemain maupun penonton.

Beriringan dengan itu, dunia pun semakin menyadari sikap dan pandangan partikularis sudah tidak relevan lagi pada zaman modern yang semakin berkeadaban ini, bahkan berbahaya dan mengancam kebersamaan, kemanusiaan, serta keadaban-keadaban nan luhur. Sikap eksklusif dan partikularitas yang terus terpupuk akan dapat menyulut konflik yang merusak toleransi, kebersamaan, dan persaudaraan.

Dengan demikian, pantas dan patut jika Piala Dunia dapat dijadikan sebagai panggung untuk menumbuhkan spirit multikulturalisme dan momentum untuk membongkar segala sekat perbedaan agama, suku, ras, dan golongan yang hanya mengekspresikan kesombongan kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah, atau kaum mayoritas terhadap kaum minoritas.

Pelajaran untuk Indonesia

Jelas Piala Dunia telah mengajarkan banyak hal soal kehidupan antarumat, terutama sebagai panggung perajutan multikulturalisme bangsa-bangsa di dunia. Lewat sepak bola dalam Piala Dunia, kita bisa melihat semua pemain bahu-membahu membangun kerja sama menggapai impian bersama, yakni kemenangan dengan mengangkat trofi Piala Dunia.

Penonton juga bersemangat dalam kebersamaan untuk mendukung timnya masing-masing, meski mereka juga sebenarnya memiliki perbedaan agama, suku, ras, dan golongan di negaranya masing-masing.

Bagi Indonesia, hendaknya perhelatan Piala Dunia dapat dijadikan cermin untuk bercermin diri soal keragaman di Tanah Air, yang hingga kini masih menjadi kerikil-kerikil tajam yang merusak kebersamaan dalam keberbangsaan kita. Bila kita tidak sanggup menjadikan Piala Dunia sebagai media untuk menumbuhkan kesadaran akan multikulturalisme di Tanah Air, perhelatan itu hanyalah hampa makna.

Atau, kita masing-masing hanya ikut terserang virus Piala Dunia akibat terpaan media (media exposure) dan/atau terbius daya sihir komunikasi berbentuk kampanye FIFA yang serentak, global, dan penetratif.

Atau, kita sekadar warga dunia yang tereksploitasi dalam satu dimensi emosi yang penuh gegap gempita pesta bola, hingga lupa tidur malam dan mengantuk pada jam kerja keesokan harinya. Selamat begadang dan berpesta bola!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar