Rabu, 18 Juni 2014

Mendiskusikan Syarat Kemenangan Capres

Mendiskusikan Syarat Kemenangan Capres

Wiwin Suwandi  ;   Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Hasanuddin;
Peneliti Pusat Kajian Konstitusi (PKK) Unhas
MEDIA INDONESIA,  17 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
PERSIAPAN perhelatan pemilu presi den pada 9 Juli nanti sedikit `terganggu' dengan ketentuan syarat kemenangan pasangan capres-cawapres sebagaimana tertera dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 159 UU Pilpres No 42 Tahun 2008. Sejak jauh hari KPU telah mengkhawatirkan ini dengan mengundang dan meminta pendapat sejumlah pengamat dan pakar tata negara.

Menjadi pertanyaan untuk didiskusikan bersama, apakah syarat `...lebih dari 50% dari jumlah suara keseluruhan dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah dari jumlah provinsi di Indonesia...' itu harus dipenuhi (secara bersamaan) oleh pasangan capres-cawapres? Atau bisa saja ketentuan satu bisa menegasikan ketentuan lainnya, dalam arti syarat 20% itu tidak berlaku jika syarat 50% terpenuhi, maupun sebaliknya?

Tafsir konstitusi

Karena syarat ini berasal dari Pasal 6A UUD 1945, kita akan mendiskusikan masalah itu menggunakan metode penafsiran konstitusi (constitutional interpretation). Penafsiran konstitusi merupakan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konstitusi atau undang-undang dasar atau interpretation of the basic law (AHY Chen: 2000).

Ada dua macam penafsiran yang bisa digunakan untuk mendiskusikan ini; dengan model penafsiran gramatikal (grammatical interpretation) atau model penafsiran argumentum a contrario. Keduanya ialah model penafsiran konstitusi yang sering dipakai untuk menafsirkan konstitusi. Metode itu juga yang sering dipakai oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam pengujian undang-undang.

Jika memakai penafsiran gramatikal, teks yang termuat dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 159 UU Pilpres No 42/2008 ialah teks autentik yang tidak bisa diubah atau ditafsirkan lain. Ketentuan `Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden' yang tertera dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 159 UU Pilpres No 42 Tahun 2008 ialah `satu kesatuan napas' yang saling terikat/terhubung serta tidak dapat dipisahkan.

Tidak bisa ditafsirkan lain dengan menegasikan satu dengan lainnya (bahwa syarat 20% itu tidak usah terpenuhi jika syarat 50% sudah terpenuhi, maupun sebaliknya). Karena kata `dengan' yang tertera dalam kedua pasal tersebut `mengikat' ketentuan 50% dan 20% itu.

Sementara itu, jika menggunakan penafsiran argumentum a contrario, kita bisa menegasikan ketentuan satu dengan lainnya. Bahwa syarat lebih dari 50% suara tersebut sudah bisa mengantar capres-cawapres terpilih tanpa terikat dengan syarat 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Maupun sebaliknya, jika syarat 2 0 % itu terpenuhi, syarat 5 0 % tidak perlu terpenuhi.

Posisi sulit

KPU dihadapkan pada posisi sulit. Pilpres 2009 yang diikuti tiga pasangan caprescawapres (SBY-Boediono, Megawati-Prabowo, dan JK-Wiranto), yang juga mengacu ke UU No 42/2008, tidak merepotkan KPU saat itu karena pasangan SBY-Boediono lang sung menang satu putaran dengan memperoleh lebih dari 50% suara (60,8%).

Mungkin tidak akan menjadi sulit bagi KPU saat ini seandainya kemenangan 50% lebih pasangan SBY Boediono tersebut tidak diikuti dengan perolehan 20% suara pada lebih dari setengah jumlah provinsi di seluruh Indonesia sebagai syarat tambahan. Jika demikian, pasangan capres-cawapres pada Pilpres 2014 yang memperoleh suara lebih 50% sekalipun tidak memperoleh 20% suara sebagai syarat lainnya itu (maupun sebaliknya) bisa langsung ditetapkan sebagai pasangan pemenang pilpres. Hal tersebut bisa menjadi preseden bagi KPU saat ini.

Namun, nyatanya, tidak demikian. Pada Pilpres 2009, pasangan SBY-Boediono selain memperoleh lebih dari 50% (60,8%) juga memenuhi syarat 20% suara yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di seluruh Indonesia.
Kekeliruan para perumus Pasal 6A UUD 1945 dan Pasal 159 UU Pilpres No 42/2008 ialah terlalu yakin bahwa pilpres akan selalu diikuti lebih dari dua pasangan caprescawapres, jika berkaca pada Pemilu 2004 dan 2009. Barangkali keyakinan itu bisa dihubungkan dengan realitaa sistem multipartai yang berlaku, yakni pasangan caprescawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol. 
Mereka tidak memperkirakan hanya akan ada dua pasangan capres-cawapres seperti pada Pemilu 2014 ini.

Dengan menggunakan penafsiran gramatikal pada teks autentik Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 159 UU Pilpres No 42/2008, pihak yang kalah nanti bisa menjadikan ketentuan itu sebagai `pintu sengketa' untuk menuntut diadakannya pemilu ulang. Ini bisa menjebak KPU, dipakai oleh pihak yang kalah untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) menuntut dilakukan pemilu ulang. Jika demikian, pilpres akan diadakan berulang kali sampai terpenuhinya dua syarat itu secara bersamaan. Berapa energi dan biaya yang harus dikeluarkan?

Fatwa MK

Setelah mencermati kondisi demikian, tidak ada jalan lain bagi KPU selain meminta pendapat (fatwa) MK. Mengapa? Alasan pertama, KPU `terjebak' dalam rumusan Pasal 6A ayat (3) dan Pasal 159 UU Pilpres No 42/2008. KPU tidak bisa memberikan pendapat atau tafsir sendiri atas kedua pasal itu karena status KPU ialah `pelaksana undang-undang', bukan lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa atau mengartikan lain sebuah teks undang-undang atau UUD.

Pendapat pengamat pun tidak bisa dijadikan fatwa bagi KPU untuk mengikuti yang mana di antara kedua pilihan itu karena pengamat bukan hakim atau juri yang pendapatnya bisa menjadi hukum. Pendapat pengamat sebatas pertimbangan, bukan hukum.

Kedua, MK adalah satusatunya lembaga yang berwenang menafsirkan konstitusi. MK adalah pengawal (the guardian) dan penafsir tunggal konstitusi. Oleh karena ketentuan itu bersumber dari konstitusi (Pasal 6A UUD 1945), hanya MK yang berwenang menafsirkan makna dari Pasal 6A UUD 1945. Apakah pemenang pilpres ditentukan dari perolehan suara lebih 50% dengan 20% suara yang tersebar pada lebih dari jumlah provinsi di Indonesia sesuai dengan teks tersebut, atau pemenang bisa ditentukan dari perolehan suara yang menegasikan syarat lainnya; syarat lebih dari 50% suara tersebut tidak perlu diikuti dengan 20% suara dari setengah jumlah propinsi di seluruh Indonesia, maupun sebaliknya.

Fatwa tersebut akan menjadi hukum yang akan meng-clear-kan tafsir rancu dari Pasal 6A UUD 1945 dan Pasal 159 UU Pilpres No 42/2008 itu, sekaligus untuk mencegah masuknya sengketa ke MK dari pasangan yang kalah yang ingin menuntut diadakannya pemilu ulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar