Minggu, 22 Juni 2014

Memaknai Kebahagiaan

Memaknai Kebahagiaan

Sonny Harry B Harmadi  ;   Kepala Lembaga Demografi FEUI;
Ketua Umum Koalisi Kependudukan
KOMPAS, 21 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
BADAN Pusat Statistik baru saja merilis Indeks Kebahagiaan 2013. Kesimpulannya sederhana, penduduk Indonesia cenderung bahagia dengan nilai indeks mencapai 65,11 menggunakan skala 0 (paling tidak bahagia) hingga 100 (paling bahagia).

Indeks Kebahagiaan diukur berdasarkan 10 indikator yang bersifat material dan nonmaterial mencakup pekerjaan, pendapatan rumah tangga, kondisi rumah dan aset, pendidikan, kesehatan, keharmonisan keluarga, hubungan sosial, ketersediaan waktu luang, kondisi lingkungan, dan kondisi keamanan. Rumah tangga yang tinggal di perkotaan, berpendapatan tinggi, berpendidikan tinggi, berusia di bawah 65 tahun, dan tidak berstatus cerai dapat disimpulkan sebagai rumah tangga paling bahagia.

Indeks kebahagiaan harus dimaknai dengan tepat sehingga dapat menjadi informasi berguna bagi para calon pemimpin untuk menerjemahkan kebahagiaan dalam kebijakan yang ditawarkan.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menganggap kebahagiaan penting sebagai ukuran keberhasilan pembangunan. Sejak 2011, PBB mengajak negara-negara anggotanya menyusun konsep pengukuran kebahagiaan sebagai indikator basis bagi formulasi kebijakan pembangunan. Sejak 1980, Butan telah mengembangkan konsep gross national happiness (GNH) untuk menggantikan gross domestic product (GDP). Inggris, Perancis, Australia, Brasil, dan Jerman, misalnya, sejak beberapa tahun terakhir juga mengembangkan pengukuran indikator kebahagiaan. Mereka menyadari ukuran keberhasilan pembangunan tidak hanya hal-hal yang bersifat material saja, tetapi juga nonmaterial.

Mendefinisikan kebahagiaan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga (2002), bahagia didefinisikan sebagai keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan). Kebahagiaan sendiri diartikan sebagai kesenangan dan ketenteraman hidup.

Secara ilmiah, kebahagiaan didefinisikan berbeda oleh masing-masing ahli. Sebagian literatur menyebutkan happiness merupakan subjective well-being (kesejahteraan individu yang sifatnya subyektif). Kebahagiaan bersifat subyektif karena dimaknai berbeda oleh setiap orang, terkait penilaian seseorang apakah dirinya senang atau susah. Kesenangan atau kesusahan bergantung pada persepsi apakah dirinya mampu berfungsi dengan baik (bagi dirinya sendiri, keluarga, dan masyarakat).

Psikolog dari Universitas Illinois, Ed Diener (2004), mengatakan, kebahagiaan merupakan komponen utama dari good life. Kebahagiaan dimaknai sebagai kesenangan, kepuasan diri, emosi positif, dan hidup yang penuh arti. Bagi sebagian ekonom seperti Yew Wang Ng dan Andrew J Oswald, kebahagiaan dianggap identik dengan kesejahteraan.

Para antropolog membedakan kebahagiaan ke dalam dua dimensi, yakni individu dan sosial. Dimensi individu terkait perasaan yang menyelimuti individu itu, sedangkan dimensi sosial melihat kebahagiaan sebagai hasil dari interaksi antarindividu. Kebahagiaan dapat meningkat jika interaksi antarindividu mampu menciptakan efek positif. Prasyarat terpenuhinya kebahagiaan secara sosial adalah rendahnya kesenjangan di antara individu yang saling berinteraksi.

Bruno Frey (2008), dalam bukunya Happiness: A Revolution in Economics, mengungkapkan, istilah happiness, well-being, dan life satisfaction sering digunakan secara bersamaan untuk terminologi kebahagiaan. Faktor penentu kebahagiaan seseorang bukanlah sekadar faktor material, melainkan juga nonmaterial seperti keharmonisan dalam keluarga dan hubungan dengan teman, tetangga, ataupun masyarakat.

Determinan kebahagiaan

Kebahagiaan tidak terjadi secara instan, tetapi merupakan akumulasi dari berbagai faktor dan kejadian yang dialami seseorang. Kebahagiaan juga tidak bersifat statis karena persepsi kebahagiaan bagi setiap orang dapat berubah menurut waktu sesuai kejadian yang dialaminya. Kebahagiaan dapat berubah karena ada perubahan aspirasi dalam diri seseorang. Aspirasi mencerminkan sesuatu yang ingin dicapai.

Lalu bagaimana kita mengaitkan kebahagiaan dengan kebijakan pembangunan? Berbagai literatur menunjukkan bahwa meski bersifat subyektif, tingkat kebahagiaan dapat dipengaruhi oleh beberapa hal.

Pertama, rasa aman. Kejadian yang tidak menyenangkan ataupun menimbulkan khawatir (takut) dapat menurunkan kebahagiaan. Butuh pemerintahan yang mampu menghadirkan rasa aman dan melindungi penduduknya. Bisa dihubungkan dengan kebijakan keamanan, pertahanan, menjaga stabilitas harga-harga, mencegah munculnya krisis ekonomi, dan menekan tingkat kriminalitas. Rasa aman menurun seiring adanya ketidakpastian dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Hal ini dapat menurunkan tingkat kebahagiaan mereka.

Kedua, membangun ekspektasi dan harapan yang positif bagi masyarakat sesuai kemampuan yang kita miliki. Para capres dan cawapres dituntut tak hanya menciptakan ekspektasi untuk kehidupan lebih baik, tetapi juga mampu mewujudkan kelak.

Ketiga, meningkatnya pendapatan berkorelasi positif dengan peningkatan kebahagiaan. Namun, penelitian di beberapa negara menunjukkan adanya korelasi tidak linier. Tambahan kebahagiaan cenderung tidak sebesar tambahan pendapatan.

Keempat, menurunnya kesenjangan. Meski perbedaan merupakan hal yang alamiah, kesenjangan dapat memicu ketidakbahagiaan dalam masyarakat. Data menunjukkan adanya peningkatan kesenjangan pengeluaran di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir di mana rasio gini naik dari 0,36 (2007) menjadi 0,41 (2012). Kesenjangan dapat menimbulkan eksploitasi dari pihak yang mampu terhadap mereka yang kurang mampu. Penilaian subyektif kebahagiaan seseorang juga didasarkan pada kondisi hidupnya secara relatif dibandingkan dengan orang lain.

Kelima, berhubungan dengan modal sosial. Hubungan antarindividu yang baik dan saling mendukung dalam masyarakat memegang peran penting guna meningkatkan kebahagiaan. Pembangunan harus mampu menggerakkan modal sosial dan tidak sekadar mengandalkan modal fisik (material) semata.

Keenam, mengoptimalkan fungsi keluarga. Keluarga menjadi wahana pertama dan utama dalam membangun manusia Indonesia yang produktif, harmonis, dan bahagia.

Berbagai faktor yang memengaruhi kebahagiaan di atas perlu menjadi perhatian kita bersama. Meski bersifat subyektif, kebahagiaan tidak terlepas dari kebijakan pembangunan. Sebagian orang mungkin bertanya apakah kebahagiaan menjadi tujuan hidup setiap orang? Kita dapat sependapat dengan Bruno Frey untuk menjawabnya dengan bertanya kembali, apakah ada orang yang tidak ingin bahagia di dunia ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar