Memaknai
Kebahagiaan
Sonny
Harry B Harmadi ; Kepala Lembaga Demografi FEUI;
Ketua Umum Koalisi Kependudukan
|
KOMPAS,
21 Juni 2014
BADAN
Pusat Statistik baru saja merilis Indeks Kebahagiaan 2013. Kesimpulannya
sederhana, penduduk Indonesia cenderung bahagia dengan nilai indeks mencapai
65,11 menggunakan skala 0 (paling tidak bahagia) hingga 100 (paling bahagia).
Indeks
Kebahagiaan diukur berdasarkan 10 indikator yang bersifat material dan
nonmaterial mencakup pekerjaan, pendapatan rumah tangga, kondisi rumah dan
aset, pendidikan, kesehatan, keharmonisan keluarga, hubungan sosial,
ketersediaan waktu luang, kondisi lingkungan, dan kondisi keamanan. Rumah
tangga yang tinggal di perkotaan, berpendapatan tinggi, berpendidikan tinggi,
berusia di bawah 65 tahun, dan tidak berstatus cerai dapat disimpulkan
sebagai rumah tangga paling bahagia.
Indeks
kebahagiaan harus dimaknai dengan tepat sehingga dapat menjadi informasi
berguna bagi para calon pemimpin untuk menerjemahkan kebahagiaan dalam
kebijakan yang ditawarkan.
Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) menganggap kebahagiaan penting sebagai ukuran
keberhasilan pembangunan. Sejak 2011, PBB mengajak negara-negara anggotanya
menyusun konsep pengukuran kebahagiaan sebagai indikator basis bagi formulasi
kebijakan pembangunan. Sejak 1980, Butan telah mengembangkan konsep gross national happiness (GNH) untuk
menggantikan gross domestic product
(GDP). Inggris, Perancis, Australia, Brasil, dan Jerman, misalnya, sejak
beberapa tahun terakhir juga mengembangkan pengukuran indikator kebahagiaan.
Mereka menyadari ukuran keberhasilan pembangunan tidak hanya hal-hal yang
bersifat material saja, tetapi juga nonmaterial.
Mendefinisikan kebahagiaan
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga (2002), bahagia didefinisikan
sebagai keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang
menyusahkan). Kebahagiaan sendiri diartikan sebagai kesenangan dan
ketenteraman hidup.
Secara
ilmiah, kebahagiaan didefinisikan berbeda oleh masing-masing ahli. Sebagian
literatur menyebutkan happiness merupakan subjective well-being
(kesejahteraan individu yang sifatnya subyektif). Kebahagiaan bersifat
subyektif karena dimaknai berbeda oleh setiap orang, terkait penilaian
seseorang apakah dirinya senang atau susah. Kesenangan atau kesusahan
bergantung pada persepsi apakah dirinya mampu berfungsi dengan baik (bagi
dirinya sendiri, keluarga, dan masyarakat).
Psikolog dari
Universitas Illinois, Ed Diener (2004), mengatakan, kebahagiaan merupakan komponen utama dari good life. Kebahagiaan
dimaknai sebagai kesenangan, kepuasan diri, emosi positif, dan hidup yang
penuh arti. Bagi sebagian ekonom seperti Yew Wang Ng dan Andrew J Oswald,
kebahagiaan dianggap identik dengan kesejahteraan.
Para antropolog
membedakan kebahagiaan ke dalam dua dimensi, yakni individu dan sosial.
Dimensi individu terkait perasaan yang
menyelimuti individu itu, sedangkan dimensi sosial melihat kebahagiaan sebagai hasil dari interaksi
antarindividu. Kebahagiaan dapat
meningkat jika interaksi antarindividu mampu menciptakan efek positif.
Prasyarat terpenuhinya kebahagiaan secara sosial adalah rendahnya kesenjangan
di antara individu yang saling berinteraksi.
Bruno
Frey (2008), dalam bukunya Happiness: A
Revolution in Economics, mengungkapkan, istilah happiness, well-being, dan life
satisfaction sering digunakan secara bersamaan untuk terminologi
kebahagiaan. Faktor penentu kebahagiaan
seseorang bukanlah sekadar faktor material, melainkan juga nonmaterial
seperti keharmonisan dalam keluarga dan hubungan dengan teman, tetangga,
ataupun masyarakat.
Determinan kebahagiaan
Kebahagiaan
tidak terjadi secara instan, tetapi merupakan akumulasi dari berbagai faktor
dan kejadian yang dialami seseorang. Kebahagiaan juga tidak bersifat statis
karena persepsi kebahagiaan bagi setiap orang dapat berubah menurut waktu
sesuai kejadian yang dialaminya. Kebahagiaan dapat berubah karena ada
perubahan aspirasi dalam diri seseorang. Aspirasi mencerminkan sesuatu yang
ingin dicapai.
Lalu
bagaimana kita mengaitkan kebahagiaan dengan kebijakan pembangunan? Berbagai
literatur menunjukkan bahwa meski bersifat subyektif, tingkat kebahagiaan
dapat dipengaruhi oleh beberapa hal.
Pertama,
rasa aman. Kejadian yang tidak menyenangkan ataupun menimbulkan khawatir
(takut) dapat menurunkan kebahagiaan. Butuh pemerintahan yang mampu
menghadirkan rasa aman dan melindungi penduduknya. Bisa dihubungkan dengan
kebijakan keamanan, pertahanan, menjaga stabilitas harga-harga, mencegah
munculnya krisis ekonomi, dan menekan tingkat kriminalitas. Rasa aman menurun
seiring adanya ketidakpastian dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Hal
ini dapat menurunkan tingkat kebahagiaan mereka.
Kedua,
membangun ekspektasi dan harapan yang positif bagi masyarakat sesuai
kemampuan yang kita miliki. Para capres dan cawapres dituntut tak hanya
menciptakan ekspektasi untuk kehidupan lebih baik, tetapi juga mampu
mewujudkan kelak.
Ketiga,
meningkatnya pendapatan berkorelasi positif dengan peningkatan kebahagiaan.
Namun, penelitian di beberapa negara menunjukkan adanya korelasi tidak
linier. Tambahan kebahagiaan cenderung tidak sebesar tambahan pendapatan.
Keempat,
menurunnya kesenjangan. Meski perbedaan merupakan hal yang alamiah,
kesenjangan dapat memicu ketidakbahagiaan dalam masyarakat. Data menunjukkan
adanya peningkatan kesenjangan pengeluaran di Indonesia dalam beberapa tahun
terakhir di mana rasio gini naik dari 0,36 (2007) menjadi 0,41 (2012).
Kesenjangan dapat menimbulkan eksploitasi dari pihak yang mampu terhadap
mereka yang kurang mampu. Penilaian subyektif kebahagiaan seseorang juga
didasarkan pada kondisi hidupnya secara relatif dibandingkan dengan orang
lain.
Kelima,
berhubungan dengan modal sosial. Hubungan antarindividu yang baik dan saling
mendukung dalam masyarakat memegang peran penting guna meningkatkan
kebahagiaan. Pembangunan harus mampu menggerakkan modal sosial dan tidak
sekadar mengandalkan modal fisik (material) semata.
Keenam,
mengoptimalkan fungsi keluarga. Keluarga menjadi wahana pertama dan utama
dalam membangun manusia Indonesia yang produktif, harmonis, dan bahagia.
Berbagai
faktor yang memengaruhi kebahagiaan di atas perlu menjadi perhatian kita
bersama. Meski bersifat subyektif, kebahagiaan tidak terlepas dari kebijakan
pembangunan. Sebagian orang mungkin bertanya apakah kebahagiaan menjadi
tujuan hidup setiap orang? Kita dapat sependapat dengan Bruno Frey untuk
menjawabnya dengan bertanya kembali, apakah ada orang yang tidak ingin bahagia
di dunia ini? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar