Rabu, 18 Juni 2014

Kuasa Angka

Kuasa Angka

M Nafiul Haris  ;   Peneliti
TEMPO.CO,  17 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Survei dan hasil hitung cepat belakangan menjadi bisnis yang tumbuh subur menjelang dan saat pemilu. Keduanya menjadi penentu kebijakan dan terkadang menentukan nasib seorang calon presiden ataupun badan legislatif. Tak ayal, meski dibutuhkan, survei dan hitung cepat kerap menjadi momok menakutkan bagi partai dan para kadernya.

Membandingkan budaya politik yang terbangun di Indonesia, di negara demokrasi mapan seperti Amerika Serikat, survei bukanlah tolok ukur utama dalam menentukan kebijakan. Survei yang dilakukan lebih bersifat kualitatif, bukan persentase elektabilitas. Warga Amerika lebih percaya issues, telaah kualitatif.

Dalam Pemilu 1955, ketika parpol masih berpanglimakan ideologi, kemampuan berpidato serta menyusun propaganda dan mesin politik mobilisasi sangat menentukan. Tapi ini zaman kapitalisme mutakhir. Jadi, urusan politik pun menjadi urusan angka-angka. Kenyataan politik telah direduksi menjadi statistik, angka-angka hasil survei, dan jajak pendapat. Persepsi politik rakyat cukup dipandang sebagai "indeks kepuasan dan ketidakpuasan publik". Preferensi politik rakyat dituntun bukan lagi dengan program perjuangan, melainkan oleh survei dan politik pencitraan. Jangan merasa heran, orang lebih percaya kepada seorang artis tampan ketimbang aktivis partai yang sudah puluhan tahun bekerja di lapangan politik.

Sikap merakyat seorang calon pemimpin, misalnya, digambarkan dengan kedatangan calon pemimpin tersebut ke perkampungan kumuh dan berbincang-bincang dengan rakyat setempat, seraya memobilisasi media massa agar bisa meliput aksinya. Mungkin ini yang disebut oleh Jean Baudrillard sebagai simulacra: tiruan, imitasi, tidak nyata, tidak sesungguhnya. Selain media massa, lembaga survei banyak memainkan peran dalam membentuk "politik penuh kedangkalan ini".

Hal itu berkontribusi merusak demokrasi. Pertama, kecenderungan survei semacam itu berfungsi untuk menggiring opini rakyat mengenai kandidat terkuat. Dengan begitu, calon pemilih mengambang-yang jumlahnya sangat besar-cenderung memilih kandidat yang terkuat. Kedua, survei tersebut terkadang bias dan tidak sesuai dengan kenyataan di tengah-tengah rakyat, bahkan bergerak atas sponsor atau kelompok kepentingan yang mendanai surveinya. Dalam banyak kasus, metode dan teknik survei bisa dimodifikasi sesuai dengan kepentingan lembaga survei.

Ketiga, pertanyaan dan kategori yang dipergunakan lembaga survei mengerdilkan aspirasi dan sikap politik rakyat yang sangat beragam. Survei kandidat, misalnya, terkadang mengunci pilihan rakyat pada figur-figur yang ada. Padahal, belum tentu mereka mencerminkan atau sesuai dengan figur yang diinginkan oleh rakyat.

Terakhir, kecenderungan memunculkan "sosok pemenang" sebelum pemilu sangat membuka peluang terjadinya kecurangan masif dalam pemilu. Dengan adanya nama pemenang sebelum pemilu, pemilih pun tidak akan terlalu mempersoalkan kenapa dan bagaimana ia bisa menang. Padahal, bisa saja si pemenang ala lembaga survei ini menggunakan kecurangan dan memanipulasi hasil pemilu.

Akibatnya, politik semakin jauh dari realitas. Realitas politik makin tergantikan oleh indeks, statistik, dan angka-angka. Akibatnya, kebiasaan membaca persentase ini membuat seorang pemimpin mengabaikan rakyatnya. Kalau indeks ketidakpuasan masih di bawah 50 persen, hal itu dianggapnya masih normal. Padahal, sebagai negara ber-Pancasila dan ber-UUD 1945, tak seorang pun warga negara yang boleh diabaikan di negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar