Rabu, 18 Juni 2014

Belajar dari Trotoar Washington DC

Belajar dari Trotoar Washington DC

Parni Hadi  ;   Wartawan dan Aktivis Sosial
SINAR HARAPAN,  17 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Benar kata pepatah Minang, “Alam terkembang menjadi guru”. Ya, kita dapat belajar dari semua isi alam ini, tak terkecuali dari sebuah trotoar di Washington DC, ibu kota Amerika Serikat (AS). Bukan belajar untuk menata pedagang kaki lima (PKL) seperti di Jakarta, melainkan belajar tentang hidup dan jalan kehidupan.

Akhir Mei, tanpa sengaja mata saya menatap sesuatu di trotoar pojok kiri depan Hotel Washington, tak jauh dari White House (Gedung Putih), istana Presiden AS. Sebuah monumen warna perunggu dipasang di trotoar itu dengan inskripsi yang berbunyi, “The extra mile-points of light volunteer pathway.”.

Hal pertama yang menohok perhatian saya adalah kata-kata volunteer pathway atau jalan relawan. Maklum, saya sedang memikul amanah sebagai Ketua Umum Ikatan Relawan Sosial Indonesia (IRSI).

“Two journeys lie ahead.(Dua perjalanan terbentang di depan).” Begitu bunyi prasasti itu lebih lanjut. Karena tertarik, saya kemudian berjongkok agar bisa membaca lebih jelas. Di samping hurufnya kecil-kecil, sebagian tertutup debu. Maklum, monumen itu dipasang menyatu dengan trotoar dan diinjak-injak orang yang ramai lalu lalang dan apa saja yang lewat di sana.

Agar tidak mengganggu pejalan kaki (juga biar tidak tertabrak), saya harus membaca cepat-cepat. Pesan yang saya tangkap dari monumen itu, terutama tentang kedua perjalanan itu adalah sebagai berikut.

Pertama adalah perjalanan yang tampak (tangible), yakni mengunjungi monumen ini dan mengambil inspirasi dari capaian-capaian luhur lelaki dan perempuan yang memperoleh medali kehormatan perunggu tersebut.

Hal yang lain—kurang tampak (less tangible)—adalah perjalanan hidup (journey of life). Nasib dan ketetapan hati membentuk perjalanan ini dan bersama memberi makna atas waktu seseorang di atas Bumi.

Kedua perjalanan ini bertemu bila seseorang menyingkirkan kepentingan pribadi dan menempuh perjalanan lebih jauh, extra mile, untuk membantu orang-orang lain.

Kisah Orang-orang Besar

Monumen ini menceritakan orang-orang besar AS yang melalui kepedulian dan pengorbanan pribadi dalam menjangkau orang lain, membangun mimpi-mimpi mereka menjadi gerakan besar yang membantu orang-orang di seluruh pelosok AS dan dunia. Tindak kerelawanan mereka telah membantu membentuk bangsa AS dan membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik.

Monumen yang peresmiannya dihadiri presiden ke-41 AS, George Bush, pada 14 Oktober 2005 ini mencatat, aksi kerelawanan merupakan sarana mengatasi problem-problem sosial serius.

Extra mile diduga berasal dari Injil, mengutip sabda Nabi Isa ketika berkhotbah di atas bukit. Sementara itu, points of light adalah sebuah organisasi nirlaba, nonpartisan internasional, yang didirikan pada 1990 dan bermarkas di Atlanta, Georgia, AS.

Saya heran, prasasti sepenting itu dipasang di kaki lima. Jika di Indonesia, hal tersebut pasti ditulis dengan tinta warna emas di bangunan megah dan anggun, walau mungkin jarang dibaca, apalagi ditiru untuk dilaksanakan.

Tercatat, 33 tokoh AS mendapatkan medali perunggu itu, di antaranya Clara Barton selaku pendiri American Red Cross (Palang Merah AS), Ballington and Moud Booth selaku pendiri Volunteers of America (Relawan AS), William D Boyce selaku pendiri Boy Scouts of America (Pandu/Pramuka AS), Hellen Keller selaku pendiri American Foundation for the Blind (Yayasan Amerika untuk Tunanetra), dan Martin Luther King Jr (pemimpin hak-hak sipil AS).

Mereka adalah pejuang sekaligus relawan untuk kemanusiaan yang mendedikasikan waktu, tenaga, pikiran, dan harta untuk kepentingan orang lain.

Volunteers of Amerika, misalnya, dalam sebuah situs disebut sebagai organisasi kedermawanan (charity) yang selalu melangkah ke depan guna membantu orang-orang yang paling rentan. Lebih dari seabad organisasi ini telah mengambil tugas yang dianggap paling sulit untuk membantu mereka yang paling tidak terlayani.

Kerelawanan adalah isu universal, menyangkut semua orang dan menarik perhatian siapa saja yang terpanggil untuk peduli, tanpa melihat suku, ras, bangsa, budaya, agama, dan ideologi. Contohnya Muhammad Ali, petinju legendaris asal AS mengatakan, “Melayani orang lain adalah uang sewa yang kamu bayar untuk kamarmu di atas bumi ini.”

Sementara itu, Aristoteles, filsuf besar dunia, mengajarkan, “Apakah esensi kehidupan? Melayani orang lain dan melakukan kebaikan.”

Kemiskinan adalah sumber penderitaan umat manusia di seluruh dunia. Untuk memerangi keiskinan, Kofi Annan, mantan Sekjen PBB, pernah menyatakan, “Jika harus membuat kemiskinan menjadi sejarah, kita perlu partisipasi aktif dari negara, masyarakat madani, dunia usaha, serta relawan-relawan individu.”

Melebihi Panggilan Tugas

Perjalanan lebih jauh atau extra mile merujuk kepada pelayanan atau kepedulian terhadap orang lain yang melebihi apa yang diperlukan dan diharapkan, sebuah tindak kerelawanan yang didasarkan keikhlasan, tanpa pamrih.

Sambil berjongkok dan mengamati inskripsi itu, pikiran saya melayang ke Tanah Air, mengingat pemilihan legislatif (pileg), pemilihan kepala daerah (pilkada), dan pemilihan presiden (pilpres). Sungguh kerelawanan atau go extra mile adalah sesuatu yang kini langka di Indonesia, sebuah negara yang berdasarkan Pancasila, yang jika diperas intinya adalah gotong royong atau tolong-menolong satu sama lain.

Sekarang yang marak terjadi di Tanah Air adalah transaksionalisme, serbajual beli atau wani piro (berani bayar berapa). Praktik ini berlangsung untuk mendapatkan proyek lewat tender, menjadi legislator lewat pileg, menjadi bupati dan gubernur melalui pilkada, dan menjadi presiden dan wakil presiden melalui pilpres. Semuanya serbauang.

Kini memang banyak orang menyebut dirinya relawan, tapi bukan relawan dalam pengertian kesiapan membantu orang lain tanpa pamrih. Akan tetapi, “relawan politik” untuk memenangkan calon legislator dan pejabat, termasuk bupati, gubernur, presiden, serta para wakil mereka.

Mungkin ada juga “relawan politik” karena kesamaan ideologi. Tapi, diduga lebih banyak karena kepentingan pribadi, baik jangka pendek, yakni uang, atau jangka panjang, yakni jabatan dan/atau proyek.

Sebagai Ketum IRSI, yang dideklarasikan pada 17 Agustus 2011, saya harus mengakui, tidak mudah membentuk relawan sejati di Indonesia sekarang ini. Namun belajar dari monumen di trotoar itu, saya menyemangati pengurus IRSI untuk selalu optimistis, ever cheer up, never give up.

Mari tetap ceria dan pantang menyerah untuk berbuat kerelawanan, berdasarkan semboyan IRSI, “Siap, sukarela, sukacita, menolong sesama sepanjang masa dengan dan karena cinta kepada Allah sebagai ibadah.” Alasannya jelas, jumlah orang miskin atau kaum duafa, termasuk disabilitas, di Indonesia yang harus diberdayakan masih puluhan juta. Tentu saja, miskin di Indonesia sangat berbeda ukurannya dengan di AS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar