Belajar
dari Trotoar Washington DC
Parni
Hadi ; Wartawan
dan Aktivis Sosial
|
SINAR
HARAPAN, 17 Juni 2014
Benar
kata pepatah Minang, “Alam terkembang menjadi guru”. Ya, kita dapat belajar
dari semua isi alam ini, tak terkecuali dari sebuah trotoar di Washington DC,
ibu kota Amerika Serikat (AS). Bukan belajar untuk menata pedagang kaki lima
(PKL) seperti di Jakarta, melainkan belajar tentang hidup dan jalan
kehidupan.
Akhir
Mei, tanpa sengaja mata saya menatap sesuatu di trotoar pojok kiri depan
Hotel Washington, tak jauh dari White House (Gedung Putih), istana Presiden
AS. Sebuah monumen warna perunggu dipasang di trotoar itu dengan inskripsi
yang berbunyi, “The extra mile-points
of light volunteer pathway.”.
Hal
pertama yang menohok perhatian saya adalah kata-kata volunteer pathway atau jalan relawan. Maklum, saya sedang memikul
amanah sebagai Ketua Umum Ikatan Relawan Sosial Indonesia (IRSI).
“Two journeys lie ahead.(Dua perjalanan terbentang
di depan).” Begitu bunyi prasasti itu lebih lanjut. Karena
tertarik, saya kemudian berjongkok agar bisa membaca lebih jelas. Di samping
hurufnya kecil-kecil, sebagian tertutup debu. Maklum, monumen itu dipasang
menyatu dengan trotoar dan diinjak-injak orang yang ramai lalu lalang dan apa
saja yang lewat di sana.
Agar
tidak mengganggu pejalan kaki (juga biar tidak tertabrak), saya harus membaca
cepat-cepat. Pesan yang saya tangkap dari monumen itu, terutama tentang kedua
perjalanan itu adalah sebagai berikut.
Pertama
adalah perjalanan yang tampak (tangible),
yakni mengunjungi monumen ini dan mengambil inspirasi dari capaian-capaian
luhur lelaki dan perempuan yang memperoleh medali kehormatan perunggu
tersebut.
Hal yang
lain—kurang tampak (less tangible)—adalah
perjalanan hidup (journey of life).
Nasib dan ketetapan hati membentuk perjalanan ini dan bersama memberi makna
atas waktu seseorang di atas Bumi.
Kedua
perjalanan ini bertemu bila seseorang menyingkirkan kepentingan pribadi dan
menempuh perjalanan lebih jauh, extra
mile, untuk membantu orang-orang lain.
Kisah Orang-orang Besar
Monumen
ini menceritakan orang-orang besar AS yang melalui kepedulian dan pengorbanan
pribadi dalam menjangkau orang lain, membangun mimpi-mimpi mereka menjadi
gerakan besar yang membantu orang-orang di seluruh pelosok AS dan dunia.
Tindak kerelawanan mereka telah membantu membentuk bangsa AS dan membuat
dunia menjadi tempat yang lebih baik.
Monumen
yang peresmiannya dihadiri presiden ke-41 AS, George Bush, pada 14 Oktober
2005 ini mencatat, aksi kerelawanan
merupakan sarana mengatasi problem-problem sosial serius.
Extra mile diduga berasal dari Injil,
mengutip sabda Nabi Isa ketika berkhotbah di atas bukit. Sementara itu, points of light adalah sebuah
organisasi nirlaba, nonpartisan internasional, yang didirikan pada 1990 dan
bermarkas di Atlanta, Georgia, AS.
Saya heran, prasasti sepenting
itu dipasang di kaki lima. Jika di Indonesia, hal tersebut pasti ditulis
dengan tinta warna emas di bangunan megah dan anggun, walau mungkin jarang
dibaca, apalagi ditiru untuk dilaksanakan.
Tercatat,
33 tokoh AS mendapatkan medali perunggu itu, di antaranya Clara Barton selaku
pendiri American Red Cross (Palang
Merah AS), Ballington and Moud Booth selaku pendiri Volunteers of America (Relawan AS), William D Boyce selaku
pendiri Boy Scouts of America
(Pandu/Pramuka AS), Hellen Keller selaku pendiri American Foundation for the Blind (Yayasan Amerika untuk
Tunanetra), dan Martin Luther King Jr (pemimpin hak-hak sipil AS).
Mereka
adalah pejuang sekaligus relawan untuk kemanusiaan yang mendedikasikan waktu,
tenaga, pikiran, dan harta untuk kepentingan orang lain.
Volunteers of Amerika,
misalnya, dalam sebuah situs disebut sebagai organisasi kedermawanan (charity) yang selalu melangkah ke
depan guna membantu orang-orang yang paling rentan. Lebih dari seabad
organisasi ini telah mengambil tugas yang dianggap paling sulit untuk
membantu mereka yang paling tidak terlayani.
Kerelawanan
adalah isu universal, menyangkut semua orang dan menarik perhatian siapa saja
yang terpanggil untuk peduli, tanpa melihat suku, ras, bangsa, budaya, agama,
dan ideologi. Contohnya Muhammad Ali, petinju legendaris asal AS mengatakan, “Melayani orang lain adalah uang sewa yang
kamu bayar untuk kamarmu di atas bumi ini.”
Sementara
itu, Aristoteles, filsuf besar dunia, mengajarkan, “Apakah esensi kehidupan? Melayani orang lain dan melakukan
kebaikan.”
Kemiskinan
adalah sumber penderitaan umat manusia di seluruh dunia. Untuk memerangi
keiskinan, Kofi Annan, mantan Sekjen PBB, pernah menyatakan, “Jika harus membuat kemiskinan menjadi
sejarah, kita perlu partisipasi aktif dari negara, masyarakat madani, dunia
usaha, serta relawan-relawan individu.”
Melebihi Panggilan Tugas
Perjalanan
lebih jauh atau extra mile merujuk kepada pelayanan atau kepedulian terhadap
orang lain yang melebihi apa yang diperlukan dan diharapkan, sebuah tindak
kerelawanan yang didasarkan keikhlasan, tanpa pamrih.
Sambil
berjongkok dan mengamati inskripsi itu, pikiran saya melayang ke Tanah Air,
mengingat pemilihan legislatif (pileg), pemilihan kepala daerah (pilkada),
dan pemilihan presiden (pilpres). Sungguh kerelawanan atau go extra mile
adalah sesuatu yang kini langka di Indonesia, sebuah negara yang berdasarkan
Pancasila, yang jika diperas intinya adalah gotong royong atau
tolong-menolong satu sama lain.
Sekarang
yang marak terjadi di Tanah Air adalah transaksionalisme, serbajual beli atau
wani piro (berani bayar berapa). Praktik ini berlangsung untuk mendapatkan
proyek lewat tender, menjadi legislator lewat pileg, menjadi bupati dan
gubernur melalui pilkada, dan menjadi presiden dan wakil presiden melalui
pilpres. Semuanya serbauang.
Kini
memang banyak orang menyebut dirinya relawan, tapi bukan relawan dalam
pengertian kesiapan membantu orang lain tanpa pamrih. Akan tetapi, “relawan
politik” untuk memenangkan calon legislator dan pejabat, termasuk bupati,
gubernur, presiden, serta para wakil mereka.
Mungkin
ada juga “relawan politik” karena kesamaan ideologi. Tapi, diduga lebih
banyak karena kepentingan pribadi, baik jangka pendek, yakni uang, atau
jangka panjang, yakni jabatan dan/atau proyek.
Sebagai
Ketum IRSI, yang dideklarasikan pada 17 Agustus 2011, saya harus mengakui,
tidak mudah membentuk relawan sejati di Indonesia sekarang ini. Namun belajar
dari monumen di trotoar itu, saya menyemangati pengurus IRSI untuk selalu
optimistis, ever cheer up, never give
up.
Mari
tetap ceria dan pantang menyerah untuk berbuat kerelawanan, berdasarkan
semboyan IRSI, “Siap, sukarela,
sukacita, menolong sesama sepanjang masa dengan dan karena cinta kepada Allah
sebagai ibadah.” Alasannya jelas, jumlah orang miskin atau kaum duafa,
termasuk disabilitas, di Indonesia yang harus diberdayakan masih puluhan
juta. Tentu saja, miskin di Indonesia sangat berbeda ukurannya dengan di AS. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar