Janji-janji
Calon Presiden
Effnu
Subiyanto ; Pembina
Yayasan Cikal AFA; Pendiri Koridor
|
KOMPAS,
16 Juni 2014
Kontestasi
calon presiden antara kubu Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta
Rajasa sebetulnya tidak ketat dan presisi di bidang gagasan dan program
kerja. Antara keduanya jika diurai mempunyai program serupa. Jika akhirnya
ditemukan perbedaan, hal itu terletak pada kuantifikasinya. Misalnya,
Jokowi-JK menawarkan membuat jalan baru 2.000 kilometer, sementara
Prabowo-Hatta berjanji membuat 3.000 km jalan baru.
Perhatian
mereka di bidang program kerja juga hampir sama, umumnya menyangkut bidang
pangan, energi, pendidikan, kesejahteraan sosial, hukum, serta pemerintahan
dan birokrasi. Bisa dikatakan, kedua kontestan miskin ide dan gagasan baru,
karena program tersebut sebenarnya sudah dijalankan melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun.
Butuh
panduan
Persoalannya,
jika setiap calon presiden memandang permasalahan bangsa dari horizon yang
sama, muara persoalan bangsa ini juga berangkat dari indikator yang sama.
Jika demikian, pemenang suksesi presiden 9 Juli nanti dapat dipastikan juga
akan menghadapi hambatan yang sama.
Kerangka
besar persoalan bangsa kita adalah defisit APBN, utang, subsidi bahan bakar
minyak, dan pajak. Persoalan turunannya adalah defisit neraca berjalan,
infrastruktur, korupsi, penegakan hukum, keamanan, pangan, pendidikan,
kesehatan, dan masih banyak lagi. Sekarang tergantung dari kecerdasan setiap
calon presiden dalam menilai situasi, dan ini persis seperti ungkapan mana
yang lebih dahulu antara telur dan ayam.
Semua
program kerja tersebut pasti membutuhkan kriteria prioritas dan harus
dikerjakan terlebih dulu. Tidak mungkin semuanya serentak dikerjakan
bersama-sama, karena di samping akan menghabiskan energi pasti juga akan
menghabiskan uang negara.
Untuk
menyelesaikan defisit APBN pun alur pikirnya bisa beragam. Satu calon
presiden mempunyai ide meningkatkan pajak, sementara yang lain memangkas
subsidi dan berikutnya melambatkan belanja. Persoalannya, seberapa besar
spektrum dampaknya.
Pajak
yang ditingkatkan akan membuat image pemerintah tidak pro poor, pro growth atau
pro job, karena pasti akan mendapatkan resistensi dari berbagai pihak.
Letak keberatan utama adalah tidak ada transparansi penggunaan pajak,
terbukti uang pajak malah dikorupsi oleh pejabat pajak.
Memangkas
subsidi pun tidak kalah gejolaknya di masyarakat. Harga-harga akan terseret
naik, tidak terkendali, spekulan bermain. Maka, pilihan lain adalah
melambatkan belanja modal. Namun, hal ini pun akan menimbulkan dampak,
misalnya meningkatnya pengangguran, kemiskinan, keamanan, dan banyak lagi
implikasi sosialnya.
Kini,
rakyat mengharapkan panduan dari para calon presiden untuk bisa diikuti.
Calon presiden harus yakin dan optimistis akan langkahnya, harus mampu
melihat dari kacamata berbeda akan masalah bangsa ini. Rakyat kini sudah
buntu penglihatannya, tidak tahu lagi ke mana akan berjalan.
Terobosan
Histori
latar belakang presiden yang pernah memimpin negeri ini bisa dikatakan
lengkap dari berbagai bidang keahlian. Setelah Orde Baru lengser digantikan
oleh BJ Habibie, estafet perubahan presiden menjadi sangat dinamik. Presiden Abdurrahman
Wahid mengusung semangat kiai, pesantren, dan sekitarnya. Presiden Megawati
Soekarnoputri membawa spirit kebangsaan dan dilanjutkan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono, selama dua periode, yang menawarkan gagasan ekonomi dan
infrastruktur.
Masing-masing
bisa dikatakan gagal dan tidak konsisten jika dilihat dari platform politik
yang diusungnya. Habibie terperosok soal referendum Timor Timur, Gus Dur
terjebak soal uang hibah dan sumbangan, Megawati soal privatisasi badan usaha
milik negara, dan kini SBY terdistorsi kredibilitasnya karena maraknya
korupsi di segala bidang. Pada era SBY, koruptornya tidak hanya dilakukan
oleh elite Partai Demokrat asal partai presiden, tetapi di seluruh lini dan
seluruh partai. Ironisnya, Presiden SBY sama sekali tidak efektif melakukan
terobosan untuk memberantas korupsi.
Kandidat
presiden Pemilu 9 Juli 2014 memang tidak sempurna, masing-masing memiliki
kekuatan dan kelemahan. Maka, pemilu 9 Juli nanti akan menjadi ujian bagi
rakyat Indonesia, masihkah tetap konsisten cerdas sebagaimana pemilu
legislatif April lalu, yang bisa menghukum partai-partai yang mencederai
amanah rakyat, atau kembali mudah diperdaya.
Harapannya
tentu saja rakyat tidak terdistorsi oleh pengaruh apa pun. Negeri ini tidak
bisa diperbaiki dengan pemerintahan normatif, kontemporer, dan biasa-biasa
saja. Butuh pemimpin baru yang bersih, jujur, dan mau bekerja keras, karena
kenyataannya kondisi sosial ekonomi rakyat belum banyak berubah pasca
reformasi.
Negeri
ini memerlukan figur pemantik perubahan yang dramatik dan tidak penuh polesan
atau kampanye citra dan kemartabatan. Indonesia periode 2014-2019 memerlukan
presiden yang penuh gagasan segar dan siap melakukan terobosan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar