Selasa, 17 Juni 2014

Janji-janji Calon Presiden

Janji-janji Calon Presiden

Effnu Subiyanto  ;   Pembina Yayasan Cikal AFA; Pendiri Koridor
KOMPAS,  16 Juni 2014

                                                                                         
                                                      
Kontestasi calon presiden antara kubu Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa sebetulnya tidak ketat dan presisi di bidang gagasan dan program kerja. Antara keduanya jika diurai mempunyai program serupa. Jika akhirnya ditemukan perbedaan, hal itu terletak pada kuantifikasinya. Misalnya, Jokowi-JK menawarkan membuat jalan baru 2.000 kilometer, sementara Prabowo-Hatta berjanji membuat 3.000 km jalan baru.

Perhatian mereka di bidang program kerja juga hampir sama, umumnya menyangkut bidang pangan, energi, pendidikan, kesejahteraan sosial, hukum, serta pemerintahan dan birokrasi. Bisa dikatakan, kedua kontestan miskin ide dan gagasan baru, karena program tersebut sebenarnya sudah dijalankan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun.
Butuh panduan

Persoalannya, jika setiap calon presiden memandang permasalahan bangsa dari horizon yang sama, muara persoalan bangsa ini juga berangkat dari indikator yang sama. Jika demikian, pemenang suksesi presiden 9 Juli nanti dapat dipastikan juga akan menghadapi hambatan yang sama.

Kerangka besar persoalan bangsa kita adalah defisit APBN, utang, subsidi bahan bakar minyak, dan pajak. Persoalan turunannya adalah defisit neraca berjalan, infrastruktur, korupsi, penegakan hukum, keamanan, pangan, pendidikan, kesehatan, dan masih banyak lagi. Sekarang tergantung dari kecerdasan setiap calon presiden dalam menilai situasi, dan ini persis seperti ungkapan mana yang lebih dahulu antara telur dan ayam.

Semua program kerja tersebut pasti membutuhkan kriteria prioritas dan harus dikerjakan terlebih dulu. Tidak mungkin semuanya serentak dikerjakan bersama-sama, karena di samping akan menghabiskan energi pasti juga akan menghabiskan uang negara.

Untuk menyelesaikan defisit APBN pun alur pikirnya bisa beragam. Satu calon presiden mempunyai ide meningkatkan pajak, sementara yang lain memangkas subsidi dan berikutnya melambatkan belanja. Persoalannya, seberapa besar spektrum dampaknya.

Pajak yang ditingkatkan akan membuat image pemerintah tidak pro poor, pro growth atau pro job, karena pasti akan mendapatkan resistensi dari berbagai pihak. Letak keberatan utama adalah tidak ada transparansi penggunaan pajak, terbukti uang pajak malah dikorupsi oleh pejabat pajak.

Memangkas subsidi pun tidak kalah gejolaknya di masyarakat. Harga-harga akan terseret naik, tidak terkendali, spekulan bermain. Maka, pilihan lain adalah melambatkan belanja modal. Namun, hal ini pun akan menimbulkan dampak, misalnya meningkatnya pengangguran, kemiskinan, keamanan, dan banyak lagi implikasi sosialnya.

Kini, rakyat mengharapkan panduan dari para calon presiden untuk bisa diikuti. Calon presiden harus yakin dan optimistis akan langkahnya, harus mampu melihat dari kacamata berbeda akan masalah bangsa ini. Rakyat kini sudah buntu penglihatannya, tidak tahu lagi ke mana akan berjalan.

Terobosan

Histori latar belakang presiden yang pernah memimpin negeri ini bisa dikatakan lengkap dari berbagai bidang keahlian. Setelah Orde Baru lengser digantikan oleh BJ Habibie, estafet perubahan presiden menjadi sangat dinamik. Presiden Abdurrahman Wahid mengusung semangat kiai, pesantren, dan sekitarnya. Presiden Megawati Soekarnoputri membawa spirit kebangsaan dan dilanjutkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, selama dua periode, yang menawarkan gagasan ekonomi dan infrastruktur.

Masing-masing bisa dikatakan gagal dan tidak konsisten jika dilihat dari platform politik yang diusungnya. Habibie terperosok soal referendum Timor Timur, Gus Dur terjebak soal uang hibah dan sumbangan, Megawati soal privatisasi badan usaha milik negara, dan kini SBY terdistorsi kredibilitasnya karena maraknya korupsi di segala bidang. Pada era SBY, koruptornya tidak hanya dilakukan oleh elite Partai Demokrat asal partai presiden, tetapi di seluruh lini dan seluruh partai. Ironisnya, Presiden SBY sama sekali tidak efektif melakukan terobosan untuk memberantas korupsi.

Kandidat presiden Pemilu 9 Juli 2014 memang tidak sempurna, masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan. Maka, pemilu 9 Juli nanti akan menjadi ujian bagi rakyat Indonesia, masihkah tetap konsisten cerdas sebagaimana pemilu legislatif April lalu, yang bisa menghukum partai-partai yang mencederai amanah rakyat, atau kembali mudah diperdaya.

Harapannya tentu saja rakyat tidak terdistorsi oleh pengaruh apa pun. Negeri ini tidak bisa diperbaiki dengan pemerintahan normatif, kontemporer, dan biasa-biasa saja. Butuh pemimpin baru yang bersih, jujur, dan mau bekerja keras, karena kenyataannya kondisi sosial ekonomi rakyat belum banyak berubah pasca reformasi.

Negeri ini memerlukan figur pemantik perubahan yang dramatik dan tidak penuh polesan atau kampanye citra dan kemartabatan. Indonesia periode 2014-2019 memerlukan presiden yang penuh gagasan segar dan siap melakukan terobosan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar