Bergantung
pada Cawapres
Fachry
Ali ; Salah
Satu Pendiri Lembaga Studi dan
Pengembangan
Etika Usaha (LSPEU)Indonesia
|
REPUBLIKA,
17 Juni 2014
Jika syarat menjadi presiden adalah
memahami ekonomi dengan komprehensif, maka kedua calon presiden (capres)
Prabowo Subianto dan Joko Widodo (Jokowi) yang berdebat dua malam lalu sulit
dinyatakan memenuhi syarat. Dengan caranya masing-masing, kedua tokoh ini melakukan
simplifikasi masalah. Pertama, keduanya memulai dengan jargon "ekonomi kerakyatan"
yang diajukan Prabowo di satu pihak, dan "kemandirian ekonomi" yang
di ajukan Jokowi di pihak lain. Apa spesifikasi atau hal-hal spesifik yang
memberi makna dan membedakan masing-masing jargon itu tidak dijelaskan.
Sebagai akibatnya, bukan saja penjabaran jargon ke dalam program menjadi
terkesan sebagai "daftar keinginan", melainkan juga terkesan exchangeable (bisa saling bertukar).
Contoh terang dalam hal changeable ini adalah program Prabowo
tentang pengembangan koperasi dan usaha kecil yang tampaknya juga "cocok"
ditempatkan sebagai program "kemandirian ekonomi" Jokowi.
Sementara, program pembangunan pasar tradisional dan pedagang kaki lima
Jokowi dengan mudah bisa dipindahkan ke dalam jargon "ekonomi kerakyatan"
Prabowo.
Kedua, tampaknya, pangkal "kerancuan"
ini adalah karena Prabowo dan Jokowi tidak bertolak dari sebuah paradigma
pandangan ekonomi tertentu.
Electronic
Oxford American Dictionary menyatakan bahwa paradigma
adalah pandangan yang mendasari teori atau metodologi subjek ilmu pengetahuan
tertentu. Dalam konteks ekonomi, asumsi yang harus diajukan adalah apakah
masing-masing capres tersebut lebih melihat sistem atau mekanisme pasar
sebagai sesuatu yang independen di dalam kinerja perekonomian nasional? Jika
ya, apa konsekuensinya terhadap peran negara? Apakah negara dipandang sebagai
bagian dari aktor ekonomi --jika ya, bagaimana keduanya harus mereduksi efek
distorsi di dalam mekanisme pasar? Mengingat negara adalah juga non-market actor (aktor bukan pasar)--
Atau, keduanya menggunakan asumsi eklektik, atau menggunakan frasa Prof Didin
Damanhuri, "heterodoks". Dalam arti bahwa keduanya berpandangan
tidak terlalu penting menekankan mekanisme pasar atau perlunya intervensi
negara ke dalam perekonomian. Keduanya bukan pilihan, melainkan akan
dijalankan sepanjang mencapai tujuan.
Dengan pemaparan menggunakan
asumsi-asumsi paradigmatik ini memungkinkan Prabowo dan Jokowi melihat
persoalan secara lebih jernih. Yaitu, selain mampu melakukan evaluasi atas
kecenderungan kebijakan ekonomi dan produk-produknya selama 10 tahun belakangan
ini di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, juga melihat tempat Indonesia
di tengah-tengah dinamika perekonomian global. Dan, berdasarkan penilaian
ini, keduanya membuat kebijakan-kebijakan dan program-program pembangunan
ekonomi andai salah satu di antara mereka terpilih menjadi presiden
mendatang.
Akan tetapi, seperti kita saksikan
bersama, kerangka pandangan paradigmatik ini tidak terdengar dari Prabowo dan
Jokowi. Sebagai akibatnya, dalam konteks program, kita tidak tahu apa arti
paradigmatiknya pembangunan infrastruktur, pasar tradisional, penyediaan
tempat pedagang kaki lima (program Jokowi) dan membentuk tabung haji,
investasi anggaran kesehatan dan pendidikan, alokasi dana umum (DAU) dan dana
khusus (DAK) dalam program ekonomi Prabowo bagi tahap-tahap pembangunan Indonesia
ke depan. Maka, seperti telah disinggung di atas, sulit menghilangkan kesan
bahwa program-program yang diajukan keduanya lebih terlihat sebagai
"daftar keinginan" daripada susunan atau rancangan untuk mencapai
suatu perkembangan ekonomi bersifat strategis bagi bangsa Indonesia ke masa
depan.
Hal penting yang tak boleh luput
untuk dicatat adalah jargon ideologis yang bersifat asal jadi: "nasionalisme
ekonomi". Di sini, Prabowo berkali-kali menyatakan bahwa sebagian besar
kekayaan Indonesia telah dibawa keluar oleh aktor-aktor asing. Anehnya,
pernyataan ini dikaitkan dengan defisit perdagangan --yang secara teknikal sebenarnya
berarti lebih sedikit ekspor Indonesia daripada impor.
Sementara, Jokowi bertekad menciptakan
barriers (halangan-halangan) yang
diperlukan melalui regulasi dan kebijakan Bank Indonesia (BI) terhadap aktor
asing yang bermaksud menanamkan modal langsung (foreign direct investment) di sektor riil atau keuangan.
Pernyataan-pernyataan di atas
menjadi contoh gamblang sifat "asal jadi" ideologi
"nasionalisme ekonomi" di atas. Hal yang membuat dahi berkerenyit
ini hanya mungkin terjadi karena secara konseptual mereka tidak membuat
evaluasi paradigmatik tentang letak Indonesia di dalam perekonomian global.
Bahwa, perkembangan (lepas dari maju atau stagnan) perekonomian Indonesia
adalah akibat langsung dari pergeseran-pergeseran paradigma, kebijakan,
perkembangan, dan krisis yang berlangsung pada tingkat global. Dalam arti
kata lain, secara struktural Indonesia telah menjadi salah satu "pemain"
di tingkat global.
Dan sebagai "pemain",
bukan saja Indonesia terikat dengan aturan-aturan yang telah disepakati pada
tingkat global, melainkan juga tidak terisolasi dari lainnya -kecuali
bersedia mengambil risiko bersifat destruktif.
Secara
"politik-praktis", pernyataan-pernyataan di atas hanya mungkin
keluar untuk tujuan jangka pendek: sekadar mendulang simpati rakyat agar terpilih
sebagai presiden. Kita ketahui semua, rakyat kebanyakan akan lebih mudah
memahami jargon "gagah" dan "galak" daripada berusaha
memahami realitas rumit perekonomian Indonesia.
Apa yang "menguntungkan"
Prabowo dan Jokowi adalah bahwa
pengetahuan kompre- hensif tentang ekonomi tidak menjadi syarat bagi
seseorang untuk menjadi capres. Karena itu, aktivitas kampanye keduanya bisa
diteruskan secara absah dan tidak "melanggar" tata tertib
pencapresan. Akan tetapi, jika pengetahuan ekonomi tak komprehensif mereka
miliki, lalu bagaimana nasib Indonesia di masa depan --ketika salah satu di
antara keduanya terpilih menjadi presiden. Di sinilah peran penting calon
wakil presiden (cawapres).
Lepas dari apakah Jusuf Kalla
dan Hatta Rajasa dipilih sebagai cawapres Jokowi dan Prabowo secara
"kebetulan", keduanya telah mempunyai pengalaman mengurus ekonomi
secara riil untuk sebuah bangsa sebesar Indonesia. Kalla, kita ketahui, bukan
saja berlatar belakang pendidikan ekonomi, melainkan pengusaha sukses.
Gabungan antara teori dan praktik telah membuat Kalla jauh lebih
"matang" dibandingkan pejabat-pejabat negara yang mengurus ekonomi
hanya dengan mengandalkan pengetahuan teoretis.
Apa yang membuat posisi Kalla
tampak lebih istimewa adalah sepanjang pemerintah Yudhoyono pertama (2004-2009),
Kalla, yang menjabat wakil presiden, bisa dinyatakan sebagai "arsitek
utama" kebijakan ekonomi Indonesia. Keistimewaan Kalla kian dikukuhkan
karena kinerjanya sebagai "arsitek utama" tersebut dilakukan ketika
ia berada dalam posisi "puncak", yaitu wakil presiden. Karena
Presiden Yudhoyono lebih berkonsentrasi di dalam bidang politik dan keamanan
serta diplomasi internasional, maka secara praktis Kalla yang sepenuhnya
bertanggung jawab di bidang kebijakan ekonomi. Karena itu, betapapun tak komprehensif
pengetahuan Jokowi dalam bidang ini, jika keduanya terpilih, ia akan bisa
mengandalkan Kalla dalam bidang yang pelik ini.
Hatta, di pihak lain, adalah
ahli perminyakan dalam konteks latar belakang pendidikan. Pengetahuan
ekonominya diperoleh melalui praktik langsung sebagai pengusaha skala
menengah dalam bidang perminyakan. Karena partai politik, Hatta terintegrasi
ke dalam elite negara dengan jabatan yang berpindah-pindah. Terakhir, sepanjang
2009-2014, Hatta menjadi arsitek kebijakan ekonomi sebagai Menteri
Koordinator Ekonomi. Karena itu, Prabowo, andai terpilih, bisa mengandalkan
pengetahuan Hatta tentang ekonomi yang diperoleh melalui praktik langsung.
Kendatipun demikian, semua ini
bukan alasan bahwa kedua capres tersebut menghindar dari "pelajaran” ekonomi.
Sebab, pada instansi terakhir, keduanya lah, andai terpilih, yang diminta
pertangungjawabannya oleh rakyat. Wapres, secara konstitusional, hanya
berfungsi sebagai pendamping. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar