Minggu, 15 Juni 2014

Anak

Anak

Samuel Mulia  ;   Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
KOMPAS,  15 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
”Nanti mbak masukin ke dalam lift kalau terus nangis aja.” Demikian kalimat yang keluar dari seorang mbak-mbak kepada seorang anak kecil di suatu sore, saat saya sedang melaksanakan tugas memelihara kesehatan diri sendiri alias berolahraga.

Kecil sengsara

Mbak-mbak yang saya lihat pada sore itu, tak berpenampilan seperti seorang pengasuh anak kecil yang bersertifikat. Ia tampak hanya seperti pembantu rumah tangga biasa, dan dalam usianya yang saya yakini tak lebih dari dua puluh lima tahun. Ia juga tampak seperti remaja yang tak terlalu peduli dengan apa yang sedang ia kerjakan.

Melihat kejadian itu, sambil berjalan cepat dan di akhir berlari, tiba-tiba saya berpikir, apakah saya yang sekarang ini juga merupakan hasil dari mereka yang mengasuh saat saya masih kecil dahulu? Maksud saya di luar asuhan dari orangtua.

Peristiwa yang terjadi di sore itu, melambungkan lamunan saya kepada masa kecil dahulu. Tak berbeda dengan si anak kecil, saya diasuh pembantu dan tumbuh sebagai ’anak pembantu’. Ia bekerja selama empat puluh tahun pada keluarga kami saat ia masih remaja seperti mbak-mbak di sore itu.

Saya tak ingat semua yang terjadi selama pertumbuhan masa kecil itu. Hal yang mendalam tersimpan di dalam benak saya, hanya beberapa peristiwa terutama pembelaan dan proteksi yang diberikannya, ketika saya melalui masa-masa sulit bersama ayah, dan teman-teman yang mencemooh.

Ia bukan seperti pengasuh anak zaman sekarang yang mendapat pendidikan sebelum diterjunkan ke lapangan. Ia hanya seorang pembantu seperti pembantu lainnya di masa enam puluhan yang membantu nyonya rumah untuk memasak sekaligus mengasuh anak.

Saya tak tahu apakah ia pernah mengajukan protes, bahwa upah bulanannya itu seyogianya hanya untuk membantu nyonya rumahnya, dan bukan ditambah dengan mengasuh anak nyonyanya.

Ia seorang yang pandai memasak dan merangkai bunga hanya dengan daun-daun dan beberapa bunga yang tumbuh di pekarangan rumah kami. Mungkin bakat terpendam saya untuk mengerjakan sesuatu yang artistik disetrum olehnya tanpa ia berniat melakukan itu, dan bukan datang dari dukungan orangtua yang melihat dengan jeli bahwa saya suka sesuatu yang artistik.

Dewasa sengsara

Di sore itu saya berpikir lagi, mengapa ya orangtua saya memberikan kepercayaan untuk mengasuhkan anaknya kepada seorang pembantu? Apakah orangtua saya memahami betul bahwa saat mereka menyerahkan kepercayaan itu, mereka mengerti akan risikonya?

Apakah orangtua saya tahu apa arti sesungguhnya mengasuh itu? Dan disadarikah bahwa nilai-nilai pengasuhannya akan berbeda antara yang akan diberikan oleh seorang pembantu dan yang diberikan mereka?

Kalau saya mengambil contoh kejadian di atas, apakah orangtua akan mengatakan atau bereaksi yang sama ketika anaknya menangis dengan mengancamnya memasukkan ke dalam lift? Apakah suatu hari anak itu akan takut masuk ke dalam lift, karena itu hanya mengingatkannya kepada sebuah hukuman?

Karena perkataan ”nanti mbak masukin ke dalam lift”, itu mengandung makna si pembantu pernah melakukan itu, dan melihat bahwa eksekusi itu ternyata sangat efektif dalam menghentikan tangisan yang pasti saya yakini merepotkannya.

Jadi, ia menemukan sebuah cara jitu mengurangi kerepotannya dengan memasukkan si anak ke dalam lift, tanpa berpikir bahwa itu bisa jadi akan berefek negatif terhadap perkembangan anak di masa depan. Itu hanya satu kejadian yang kebetulan saya lihat, saya tak tahu kejadian lainnya.

Selama ini saya berpikir yang namanya beban berat kehidupan itu hanya untuk saya yang sudah dewasa, tetapi kejadian di sore itu membuka pikiran saya, kalau ternyata saya keliru besar. Di balik senyum bocah kecil, bisa jadi menyimpan beban yang mungkin sama beratnya seperti saya.

Beban yang datang dari mulut dan perilaku orangtua, dari pengasuh, dan manusia di luar lingkungan rumah tangga itu. Salah seorang istri dari paman saya pernah mengatakan kepada saya di masa kecil ketika melihat saya begitu flamboyannya. ”Kamu mending masuk lagi saja ke perut ibumu.”

Hal yang paling sengsara dari menjadi anak kecil, mereka hanya bisa menerima dan menyerap semua kejadian tanpa mampu untuk memproteksi diri, dan disimpan sebagai sebuah beban perjalanan menuju dunia yang dewasa.

Dan kalau di masa dewasa mereka menunjukkan perilaku yang negatif, maka akan ada sejuta manusia yang mengetok palu, dan mungkin justru yang paling keras datang dari mereka yang sekali waktu, pernah memberi pengasuhan yang mungkin keliru.

Seorang teman bercerita, ada seorang perempuan mengeluh mengapa ia tak pernah bisa menduduki posisi tinggi. Di masa kecilnya dahulu, ayahnya meminta seorang peramal untuk meramalkan masa depan si anak kecil ini. Si peramal mengatakan bahwa ia anak pandai, bahwa ia memiliki masa depan yang luar biasa.

Tetapi satu hal yang diingat si gadis kecil, justru bukanlah hal-hal positif itu, tetapi sebuah kalimat penutup yang meluluhlantakkan keberaniannya untuk menjadi nomor satu sampai di masa dewasa ini. Begini kata si tukang ramal itu. ”Sayang, ia perempuan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar